Author: IFTAA

Kebocoran Data 6 Juta NPWP: Ancaman Serius bagi Kepercayaan Publik dan Sistem Perpajakan Indonesia

Jakarta, 23 September 2024 – Dugaan kebocoran 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang diperjualbelikan seharga Rp150 juta telah mengguncang sistem perpajakan Indonesia. Insiden ini tidak hanya mengancam keamanan data pribadi wajib pajak, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap otoritas pajak dan berdampak pada penerimaan negara.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif mengungkapkan analisis mendalam tentang implikasi jangka panjang dari insiden ini.

Ancaman terhadap Kepercayaan Publik

“Salah satu tantangan utama bagi Indonesia saat ini adalah membangun dan mempertahankan kepercayaan publik (public trust),” ujar Prianto. “Dalam konteks perpajakan, kepercayaan wajib pajak menjadi sangat esensial untuk menciptakan voluntary compliance (kepatuhan sukarela), bahkan cooperative compliance (kepatuhan kooperatif).”

Prianto menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang menggalakkan kebijakan cooperative compliance, di mana wajib pajak diharapkan tidak hanya patuh tetapi juga kooperatif dalam membayar pajak. “Paradigma yang dibangun dari model kepatuhan ini adalah paradigma pelayanan (service) dan kepercayaan (trust),” tambahnya.

Dampak Hukum dan Kepatuhan

Prianto menekankan bahwa kebocoran data wajib pajak merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). “Pasal 41 UU KUP secara khusus menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain,” jelasnya. “Tujuannya adalah agar wajib pajak tidak ragu-ragu dalam memberikan data dan keterangan sebagai bentuk kepatuhan terhadap Undang-Undang Perpajakan.”

Lebih lanjut, Prianto mengingatkan bahwa UU KUP memungkinkan sanksi pidana diberikan kepada pejabat yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut, baik karena kesengajaan maupun kelalaian.

Potensi Kerugian Negara

Meskipun belum ada perhitungan pasti mengenai kerugian negara akibat insiden ini, Prianto memperkirakan dampaknya bisa signifikan. “Kerugian negara berkaitan dengan kepercayaan yang mungkin menurun. Sebagai konsekuensinya, potensi penurunan penerimaan dapat terjadi,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kebocoran data wajib pajak bisa membuat pemungutan pajak ke depannya akan menurun atau semakin menantang. Alasannya adalah karena distrust (ketidakpercayaan) wajib pajak kepada otoritas pajak.”

Langkah-langkah yang Harus Diambil Pemerintah

Menghadapi situasi ini, Prianto menekankan pentingnya tindakan cepat dan tegas dari pemerintah. “Pemerintah harus segera menuntaskan investigasi kebocoran data wajib pajak tersebut secepat mungkin sebelum peluncuran Core Tax Administration System (CTAS),” sarannya.

CTAS, yang dijadwalkan akan diluncurkan pada akhir Desember 2024, merupakan sistem administrasi perpajakan baru yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan pengelolaan data perpajakan.

“Tujuannya adalah agar ada perbaikan segera untuk keamanan siber yang ada di CTAS. Ini penting untuk mencegah insiden serupa di masa depan dan memulihkan kepercayaan wajib pajak,” tegas Prianto.

Insiden kebocoran data ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keamanan data dan transparansi dalam penanganan informasi sensitif wajib pajak. Pemulihan kepercayaan publik akan menjadi kunci dalam mempertahankan kepatuhan pajak dan menjamin stabilitas penerimaan negara di masa mendatang. Prianto menyimpulkan bahwa tanpa kepercayaan publik yang kuat, sistem perpajakan kita akan menghadapi tantangan besar, “Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk memulihkan kepercayaan ini dan memastikan keamanan data wajib pajak di masa depan.” tegas Prianto.

Indonesia Targetkan Rp945,1 Triliun dari PPN di 2025: Strategi Pergeseran Basis Pajak dan Adopsi Aturan Global

Jakarta, 23 September 2024 – Pemerintah Indonesia membuat langkah berani dengan menetapkan target penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp945,1 triliun untuk tahun 2025. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan sekitar Rp125 triliun dari outlook tahun ini, mengindikasikan perubahan strategi dalam kebijakan perpajakan nasional.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif, mengungkap detail strategi di balik target ambisius ini dan menganalisis langkah terbaru Indonesia dalam arena perpajakan internasional.

Pergeseran Paradigma: Dari PPh ke PPN

“Sejak disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kita menyaksikan pergeseran paradigma dalam basis pemajakan dari Pajak Penghasilan (PPh) ke PPN,” jelas Prianto. Ia menekankan bahwa langkah ini merupakan respons strategis terhadap maraknya praktik perencanaan pajak agresif dalam sistem PPh secara global, termasuk di Indonesia.

Prianto merinci keunggulan sistem PPN: “Basis PPN langsung ke penjualan dengan tarif tertentu. Misalnya, jika tarif PPN 12% dan total penjualan Rp1 miliar, maka PPN yang harus dipungut sebesar Rp120 juta. Perhitungannya sangat simpel dan minim celah untuk aggressive tax planning.” Sebaliknya, ia menjelaskan kelemahan sistem PPh: “Wajib Pajak harus menghitung PPh melalui pengurangan penghasilan dengan beban sebagai pengurang penghasilan bruto. Ini membuka peluang untuk mempraktikkan perlakuan akuntansi yang dapat meminimalkan PPh kurang bayar.”

Adopsi Aturan Pajak Global: MLI STTR

Selain fokus pada peningkatan penerimaan PPN, Indonesia juga mengambil langkah signifikan dalam perpajakan internasional dengan menandatangani kesepakatan Multilateral Instrument Subject-to-Tax Rule (MLI STTR). Prianto menjelaskan bahwa STTR merupakan bagian dari Global Minimum Tax (GMT) dalam Pilar Dua perpajakan internasional. “Melalui Peraturan Pemerintah No. 55/2022, Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk mengatur GMT,” ujarnya. GMT terdiri dari dua komponen utama:

1. Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules: “GloBE rules menetapkan tarif minimum 15% di setiap negara yang mengadopsi Pilar Dua,” Prianto menjelaskan. “Perusahaan multinasional harus membayar pajak tambahan (top-up tax) sebesar selisih antara tarif pajak efektif di setiap yurisdiksi dan tarif minimum 15%, jika tarif efektif tersebut kurang dari 15%.”

2. Subject-to-Tax Rule (STTR): “STTR memungkinkan negara sumber penghasilan mengenakan pajak tambahan hingga 9% atas penghasilan tertentu,” tambah Prianto. Ia merinci bahwa STTR mencakup berbagai jenis penghasilan seperti bunga, royalti, premi asuransi/reasuransi, imbalan jaminan keuangan, biaya pembiayaan, imbalan sewa, dan imbalan atas penyediaan layanan.

Prianto memberikan contoh konkret penerapan STTR: “Jika negara sumber memotong PPh sebesar 5% atas covered income senilai USD 1 juta, dan penerima penghasilan tersebut membayar PPh badan 1% di negara domisilinya, negara sumber masih berhak memotong PPh tambahan berdasarkan STTR sebesar 3% dari USD 1 juta. Perhitungannya adalah (9% – 5% – 1%) x USD 1 juta = 3% x USD 1 juta.”

Tantangan bagi Indonesia

Dengan penandatanganan MLI STTR, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam upaya global menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, Prianto mengingatkan bahwa implementasi aturan baru ini akan memerlukan penyesuaian signifikan dalam sistem perpajakan nasional. “Pemerintah harus mengkaji ulang tarif pemotongan PPh sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang masih di bawah 9%,” ujarnya. “Fokus utama akan diberikan pada tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B.”

Prianto menyimpulkan bahwa kombinasi antara peningkatan target PPN dan adopsi aturan pajak global menunjukkan strategi komprehensif pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dan menjaga keadilan sistem perpajakan. Namun, keberhasilan strategi ini akan bergantung pada implementasi yang cermat dan kemampuan adaptasi sistem perpajakan nasional terhadap standar global yang baru.

Dengan langkah-langkah strategis ini, pemerintah Indonesia tidak hanya berharap dapat mencapai target penerimaan pajak yang ambisius, tetapi juga memperkuat posisinya dalam lanskap perpajakan global yang semakin kompleks. Masyarakat dan pelaku bisnis diharapkan untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan signifikan dalam landscape perpajakan nasional dan internasional ini.

Indonesia Menandatangani MLI STTR: Langkah Strategis Menuju Keadilan Pajak Global

Jakarta, 23 September 2024 – Menteri Keuangan Republik Indonesia baru-baru ini menandatangani perjanjian Multilateral Instrument Subject-to-Tax Rule (MLI STTR) bersama 42 yurisdiksi lainnya. Langkah ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara pionir (early adopter) dalam implementasi Pilar Dua perpajakan internasional, sebuah inisiatif global yang bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil bagi perusahaan multinasional.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif memberikan analisis mendalam tentang implikasi dan signifikansi langkah strategis ini bagi Indonesia.

Memahami STTR dalam Konteks Global Minimum Tax

“Subject-to-Tax Rule (STTR) merupakan komponen integral dari kebijakan pajak internasional Pilar Dua, yang berfokus pada penerapan Global Minimum Tax (GMT),” jelas Prianto. Ia menambahkan bahwa Indonesia telah mempersiapkan landasan hukum untuk ini melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Pemerintah No. 55/2022.

Prianto merinci bahwa GMT terdiri dari dua elemen utama:

  1. Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules: “Aturan ini menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15% di setiap negara yang mengadopsi Pilar Dua,” ujarnya. “Perusahaan multinasional akan dikenakan ‘top-up tax’ atau pajak tambahan, yang besarnya adalah selisih antara tarif pajak efektif di setiap yurisdiksi dan tarif minimum 15%, jika tarif efektif tersebut kurang dari 15%.”
  2. Subject-to-Tax Rule (STTR): “STTR memungkinkan negara sumber penghasilan untuk mengenakan pajak tambahan hingga 9% atas penghasilan tertentu,” Prianto menjelaskan. “Ini berlaku untuk ‘Covered Income’ yang mencakup bunga, royalti, premi asuransi/reasuransi, imbalan jaminan keuangan, biaya pembiayaan, imbalan sewa, dan imbalan atas penyediaan layanan.”

Mekanisme Penghitungan STTR

Prianto memberikan contoh konkret tentang cara kerja STTR: “Misalkan negara sumber memotong PPh sebesar 5% atas covered income senilai USD 1 juta, dan penerima penghasilan tersebut membayar PPh badan 1% di negara domisilinya. Dalam kasus ini, negara sumber masih berhak memotong PPh tambahan berdasarkan STTR sebesar 3% dari USD 1 juta. Perhitungannya adalah (9% – 5% – 1%) x USD 1 juta = 3% x USD 1 juta.”

Potensi Peningkatan Penerimaan Pajak

Meski belum ada perhitungan pasti mengenai potensi peningkatan penerimaan pajak dari penerapan STTR, Prianto menekankan signifikansi langkah ini. “Saat ini, fokus utama Pemerintah Indonesia adalah memastikan kebijakan pajak internasional kita tetap selaras dengan lanskap global,” ujarnya. “Indonesia, sebagai bagian dari G20, berkomitmen untuk mengusung kebijakan pajak internasional berbasis konsensus bersama.”

Implikasi terhadap Kebijakan Pajak Indonesia

Sebagai konsekuensi dari penandatanganan STTR, Prianto menjelaskan bahwa Indonesia perlu melakukan evaluasi menyeluruh. “Pemerintah harus mengkaji ulang tarif pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang masih di bawah 9%,” jelasnya. “Fokus utama akan diberikan pada tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B.”

Langkah Selanjutnya

Prianto mengungkapkan bahwa pemerintah akan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih lanjut tentang implementasi STTR di Indonesia. “Wajib Pajak tinggal menunggu PerMenkeu yang mengatur tentang STTR sebagai bagian dari Global Minimum Tax,” tambahnya.

Kesimpulan

Penandatanganan MLI STTR oleh Indonesia merupakan langkah signifikan dalam upaya global untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Meski dampak finansial belum bisa dipastikan, langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak negara di masa mendatang, terutama dari transaksi lintas batas yang melibatkan perusahaan multinasional.

Dengan menjadi early adopter Pilar Dua, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam memerangi penghindaran pajak dan memastikan perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi. Langkah strategis ini tidak hanya berpotensi meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam arena perpajakan internasional.

PMK Nomor 59/2024: Pembebasan Pajak untuk Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional, Apa Saja yang Baru?

Jakarta, 6 September 2024 – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 59/2024, yang memberikan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk perwakilan negara asing, badan internasional, dan para pejabatnya. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum serta meningkatkan efisiensi dalam tata kelola administrasi dan pelayanan kepada pihak-pihak terkait.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, seorang pakar perpajakan sekaligus ketua Umum IFTAA, menjelaskan beberapa poin penting terkait peraturan ini dan bagaimana peran PMK 59/2024 dalam menyempurnakan kebijakan pajak sebelumnya.

PMK 59/2024: Mengikuti Arahan PP 47/2020

Prianto menegaskan bahwa PMK 59/2024 merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2020. Aturan ini mengatur tata cara pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM yang diberikan kepada:

  1. Perwakilan negara asing,
  2. Badan internasional, dan
  3. Pejabat dari kedua pihak tersebut.

“Peraturan ini fokus pada pengaturan teknis dan administratif untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam proses pembebasan pajak bagi pihak-pihak yang berhak,” jelas Prianto.

Menurutnya, PMK 59/2024 memberikan dua mekanisme utama dalam proses pembebasan pajak:

  1. Tata cara pembebasan pajak dengan SKB (Surat Keterangan Bebas), dan
  2. Tata cara pembebasan pajak dengan mekanisme pengembalian pajak.

Prianto juga menambahkan bahwa PMK ini tidak boleh bertentangan dengan PP 47/2020, melainkan bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan pelayanan bagi perwakilan negara asing dan badan internasional.

Penyempurnaan Aturan Sebelumnya

Salah satu poin penting dari PMK 59/2024 adalah penyempurnaannya terhadap aturan-aturan sebelumnya. Prianto menjelaskan bahwa PMK ini menggabungkan dua aturan terdahulu yang diatur dalam PMK 161/2014 dan PMK 162/2014.

  • PMK 161/2014 mengatur tata cara pengembalian PPN dan PPnBM bagi perwakilan negara asing, badan internasional, serta pejabatnya.
  • PMK 162/2014 mengatur tata cara penerbitan SKB PPN dan PPnBM untuk pihak-pihak yang sama.

“Dengan diterbitkannya PMK 59/2024, kedua PMK tersebut digabungkan dan disempurnakan untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian hukum bagi para pihak yang berhak,” jelas Prianto lebih lanjut.

Efek Positif untuk Pihak Internasional

Kehadiran PMK 59/2024 membawa harapan baru bagi perwakilan negara asing dan badan internasional di Indonesia. Aturan ini diyakini akan memberikan kepastian hukum dan mengurangi kompleksitas administrasi dalam proses pengajuan pembebasan pajak, sehingga dapat memperkuat hubungan diplomatik dan operasional internasional di dalam negeri.

Melalui PMK 59/2024, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus menyempurnakan aturan perpajakan, khususnya bagi pihak asing dan internasional. Selain memberikan kemudahan administrasi, peraturan ini juga memastikan bahwa semua proses perpajakan berjalan transparan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Bagi perwakilan negara asing dan badan internasional, PMK ini menjadi angin segar dalam meningkatkan efisiensi operasional mereka di Indonesia.

PMK 59/2024 diharapkan akan menjadi langkah penting dalam memperkuat kerja sama internasional dan diplomasi Indonesia di kancah global.

Peningkatan Pengeluaran Pajak Kelas Menengah: Penyebab dan Tantangan ke Depan

Jakarta, 6 September 2024 – Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan adanya peningkatan pengeluaran pajak di kalangan masyarakat kelas menengah. Pada tahun 2019, indeks pengeluaran untuk membayar pajak tercatat sebesar 3,48, namun pada tahun 2024, indeks ini melonjak drastis. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai penyebab dan dampak dari peningkatan pengeluaran pajak tersebut terhadap kelas menengah yang dianggap rentan jatuh ke garis kemiskinan.

Menanggapi hal ini, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangan yang mendalam. Dalam wawancaranya, ia menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran masyarakat untuk membayar pajak. Salah satu faktor utamanya adalah perubahan dalam kebijakan perpajakan pemerintah.

Pergeseran Kebijakan Pajak: Dari Pendapatan ke Konsumsi

Prianto menyoroti bahwa pemerintah telah mulai menggeser basis pemajakan dari pajak berbasis penghasilan (PPh) ke arah pajak berbasis konsumsi (PPN). “Pengeluaran masyarakat menjadi salah satu basis pemajakan yang dikenal dengan istilah expenditure-based taxation atau consumption-based taxation,” jelasnya. Pajak berbasis konsumsi ini mencakup tiga jenis pajak utama: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, dan Pajak Daerah (PBJT).

  • PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri.
  • Cukai berlaku untuk hasil tembakau, seperti rokok.
  • Pajak Daerah (PBJT) meliputi pajak atas transaksi barang dan jasa tertentu, termasuk di restoran dan hotel.

“Peningkatan konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa di ketiga objek pajak tersebut secara otomatis meningkatkan penerimaan pajak,” tambahnya.

Hal ini sejalan dengan kebijakan yang tertuang dalam UU APBN 2024, di mana pemerintah mengarahkan basis pemajakan lebih ke konsumsi. Dengan adanya pergeseran ini, konsumsi masyarakat kelas menengah berpengaruh langsung terhadap peningkatan beban pajak mereka.

Tantangan bagi Kelas Menengah: Perlu Insentif Pajak?

Selain membahas penyebab peningkatan pajak, Prianto juga menyentuh isu penting terkait dampak kebijakan pajak terhadap kelas menengah yang rentan. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan insentif pajak untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah, terutama di sektor-sektor yang memiliki efek pengganda besar terhadap perekonomian.

“Saat ini, pemerintah masih memberikan insentif pajak melalui kebijakan Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) secara selektif, terutama di sektor properti,” ungkapnya. Insentif ini bertujuan untuk menjaga ketahanan ekonomi masyarakat dan biasanya akan dicabut kembali setelah ekonomi mulai pulih.

Namun, Prianto menekankan bahwa pemberian insentif harus dilakukan secara hati-hati dan selektif, mengingat tantangan keuangan negara. Pemerintah perlu terus mengevaluasi kebijakan pajak untuk memastikan bahwa kelas menengah tidak semakin terbebani oleh pengeluaran pajak yang meningkat, yang dapat memperparah kerentanan mereka terhadap kemiskinan.

Peningkatan pengeluaran pajak kelas menengah mencerminkan adanya pergeseran kebijakan pajak yang berfokus pada konsumsi, sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Akan tetapi, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah dapat menyeimbangkan antara meningkatkan penerimaan pajak dan menjaga stabilitas ekonomi masyarakat kelas menengah, agar mereka tetap dapat bertahan di tengah ancaman kemiskinan.

“Pemerintah Alokasikan Rp445,5 Triliun untuk Belanja Perpajakan 2025: Strategi dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2023– Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana sebesar Rp445,5 triliun untuk belanja perpajakan. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 11,4% dibandingkan alokasi tahun sebelumnya. Fokus utama alokasi ini ditujukan pada sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), industri manufaktur, serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif memberikan pandangan mendalam mengenai strategi dan tantangan dari kebijakan ini.

Belanja Perpajakan sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal

Prianto menjelaskan bahwa belanja perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran di pos APBN. “Instrumen ini sering disebut sebagai indirect government spending policy,” ujarnya. Salah satu bentuk konkretnya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP).

“Dengan kebijakan DTP, pemerintah tetap mengenakan pajak atas suatu sektor tertentu. Namun, dana untuk membayar pajak tidak ditanggung oleh konsumen, melainkan oleh pemerintah,” Prianto menjelaskan. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mempertahankan daya beli mereka melalui “bantuan pemerintah” secara tidak langsung.

Strategi di Tengah Tantangan Ekonomi

Menanggapi kekhawatiran tentang penurunan jumlah kelas menengah dan pelemahan daya beli masyarakat, Prianto menegaskan bahwa rencana alokasi belanja perpajakan 2025 telah melalui proses pertimbangan yang matang.

“Setiap perencanaan anggaran pasti memiliki ketidakpastian di masa mendatang dan biasanya dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis,” jelasnya. “Secara umum, pilihan moderat seringkali menjadi opsi yang dipilih karena dianggap paling realistis.”

Fokus pada Sektor Manufaktur

Meskipun kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan tren penurunan, pemerintah tetap memilih untuk meningkatkan belanja perpajakan di sektor ini. Prianto menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut:

“Pemilihan sektor manufaktur didasarkan pada potensi multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian. Sektor ini dianggap memiliki dampak ganda karena sebagian besar industrinya padat karya dan padat modal,” tuturnya.

 

Implementasi dan Contoh Konkret

Prianto memberikan beberapa contoh implementasi belanja perpajakan:

  1. PPN DTP untuk percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
  2. PPN DTP di sektor perumahan.

“Melalui kebijakan ini, masyarakat yang terbantu dengan pajak DTP akan memiliki dana lebih untuk belanja barang dan jasa, sehingga diharapkan daya beli masyarakat akan terjaga,” Prianto menjelaskan.

Evaluasi dan Penyesuaian Kebijakan

Prianto menekankan bahwa efektivitas kebijakan ini baru dapat dinilai setelah diimplementasikan. “Suatu perencanaan apapun tidak akan pernah salah atau benar karena belum diimplementasikan,” ujarnya. “Yang penting adalah terus melakukan evaluasi dan penyesuaian kebijakan berdasarkan perkembangan ekonomi yang terjadi.”

Ia juga menambahkan bahwa dalam kebijakan fiskal, seringkali tidak ada posisi ideal (optimum) karena selalu ada pihak yang pro dan kontra ketika proses tersebut berada di posisi perumusan kebijakan fiskal dari sisi anggaran tax expenditure.

Kesimpulan

Dengan strategi belanja perpajakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis, dan mempertahankan daya beli masyarakat di tengah tantangan ekonomi global yang dinamis. Namun, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada implementasi yang tepat dan kemampuan pemerintah untuk melakukan penyesuaian berdasarkan kondisi ekonomi yang berkembang.

“Pemerintah Targetkan Penerimaan Pajak 2025 Rp2.183,9 Trilitun: Antara Optimisme dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2024- Pemerintah Indonesia telah menetapkan target penerimaan pajak yang ambisius untuk tahun anggaran 2025, yaitu sebesar Rp2.183,9 triliun. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya yang belum menembus angka Rp2.000 triliun.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangannya mengenai target tersebut. “Setiap perencanaan anggaran yang memiliki ketidakpastian di masa mendatang dapat dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis. Secara umum, pilihan moderat atau konservatif menjadi opsi yang paling rasional,” jelasnya.

Prianto menilai bahwa target penerimaan pajak sebesar Rp2.183,9 triliun dapat dianggap sebagai pilihan yang moderat dan realistis. Namun, untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu menerapkan strategi yang tepat.

Strategi Pencapaian Target

Kementerian Keuangan, melalui dua instansi vertikalnya yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), akan mengelola penerimaan pajak. DJP bertanggung jawab atas penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan, serta Bea Meterai. Sementara itu, DJBC akan mengelola Bea Masuk, Bea Keluar, dan Cukai.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menerapkan dua strategi utama:

  1. Intensifikasi: Fokus pada pengawasan kepatuhan dengan pendekatan data matching. Data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak akan ditandingkan dengan data dari berbagai sumber yang memasok informasi ke DJP. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi pajak melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).
  2. Ekstensifikasi: Difokuskan pada penambahan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) baru. Strategi ini diimplementasikan melalui pemadanan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Langkah ini akan memudahkan DJP dalam melakukan pengawasan terhadap WPOP baru.

Tantangan dan Pertimbangan

Meskipun target tersebut dianggap moderat, beberapa tantangan tetap perlu diperhatikan. Salah satunya adalah proyeksi lifting migas yang tidak sebagus yang diharapkan, mengingat pajak dari sektor migas dan non-migas merupakan kontributor terbesar dalam penerimaan pajak.

Selain itu, rencana kenaikan PPN menjadi 12% yang masih belum pasti juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan. Menanggapi hal ini, Prianto menegaskan bahwa penyusunan APBN, termasuk penetapan target penerimaan pajak, telah melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pihak terkait.

“Penyusunan APBN melalui proses konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk kementerian, lembaga pemerintah, BUMN, dan kelompok masyarakat terkait. Tujuannya adalah agar Kementerian Keuangan dapat memahami kebutuhan sektor-sektor tertentu dan mendapatkan masukan,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kementerian Keuangan selalu melakukan evaluasi dan membuat pertimbangan di setiap rancangan anggaran, baik di sisi penerimaan maupun di sisi belanja. Proses ini menjadi bagian dari formulasi kebijakan yang bermuara pada RAPBN untuk tahun berikutnya.”

Dengan penetapan target yang ambisius ini, pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, keberhasilan pencapaian target ini juga bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan pelaku usaha dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak.

Modernisasi Administrasi Pajak melalui Core Tax System

Pemerintah Indonesia melakukan upaya strategis dalam memperkuat sistem perpajakan sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional. Pada akhir Juli 2024, Presiden Joko Widodo memimpin rapat internal yang membahas perkembangan Core Tax System, atau yang dikenal sebagai Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP). Sistem ini dirancang untuk membangun layanan perpajakan di Indonesia agar setara dengan negara-negara maju, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi perpajakan.

Pentingnya pengembangan Core Tax System ini menjadi semakin jelas mengingat jumlah wajib pajak dan dokumen yang harus diproses oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkat secara signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah wajib pajak melonjak dari 33 juta menjadi 70 juta, sementara jumlah dokumen e-faktur yang diproses meningkat drastis dari 350 juta menjadi 776 juta. Peningkatan ini menuntut DJP agar mengadopsi teknologi yang lebih canggih dan sistem yang lebih andal agar dapat mengelola beban kerja yang semakin besar.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menegaskan bahwa pembangunan IT system dan database di perpajakan merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, pemerintah sejak tahun 2018 telah membangun system yang canggih dengan mengadopsi sistem Commercial off The Shelf (COTS) yang telah terbukti efektif digunakan di banyak negara dalam modernisasi perpajakan.

Melalui COTS, Core Tax System diharapkan dapat meningkatkan otomatisasi dan digitalisasi di seluruh aspek layanan administrasi perpajakan. Wajib pajak akan lebih dimudahkan dalam mengakses layanan mandiri, termasuk pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang akan semakin otomatis dan transparan. Dengan demikian, wajib pajak dapat memperoleh gambaran menyeluruh tentang kewajiban perpajakan mereka secara real-time, sehingga proses administrasi menjadi lebih cepat dan akurat.

Selain itu, Core Tax System juga bertujuan untuk memperkuat kredibilitas data dan integrasi jaringan di DJP, yang akan memungkinkan pengambilan keputusan berbasis data yang lebih efektif. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan penerimaan pajak negara. Target penerimaan pajak pada tahun 2024, yang ditetapkan sebesar Rp2.309,9 triliun, menunjukkan betapa pentingnya reformasi perpajakan ini dalam mencapai tujuan fiskal negara.

Reformasi Perpajakan Jilid III, yang dimulai sejak tahun 2016, menjadi fondasi bagi modernisasi sistem perpajakan ini. Reformasi ini berfokus pada lima pilar utama: penguatan organisasi, peningkatan kualitas SDM, perbaikan proses bisnis, pembaruan sistem informasi dan basis data, serta penyempurnaan regulasi. Hasil dari reformasi ini dapat dilihat dalam berbagai kebijakan dan regulasi baru, seperti implementasi UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk menyempurnakan regulasi perpajakan di Indonesia.

Di sisi lain, DJP juga telah melakukan berbagai inovasi dalam penggunaan teknologi informasi untuk mempermudah interaksi dengan wajib pajak. Melalui pendekatan 3C (Click, Call, Counter), DJP berupaya menyediakan pelayanan yang lebih cepat dan efisien, baik melalui platform digital, panggilan telepon, maupun pelayanan langsung. Inovasi ini termasuk pengembangan chatbot seperti Fiska dan Fisko, serta WA-bot khusus untuk UMKM, yang memudahkan wajib pajak dalam mendapatkan informasi dan pelayanan perpajakan.

Pada pertengahan tahun 2024, Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Core Tax Administration System (CTAS) diimplementasikan. Sistem ini akan mengembangkan sistem informasi DJP menjadi sistem yang terintegrasi, mencakup seluruh proses bisnis perpajakan dengan basis data yang luas dan akurat. Implementasi CTAS ini tidak hanya akan berdampak pada sisi teknologi, tetapi juga mendorong reformasi di berbagai aspek administrasi perpajakan.

Kesuksesan implementasi CTAS sangat membutuhkan dukungan besar dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga internasional, asosiasi pengusaha, bahkan asosiasi konsultan pajak. Dengan sistem perpajakan yang lebih modern dan efisien, Indonesia diharapkan dapat meningkatkan tax ratio dan mengoptimalkan penerimaan pajak untuk mendukung pembangunan nasional menuju negara berpenghasilan tinggi.

Kontroversi PMK 47/2024: Upaya Pemerintah Perketat Aturan Penghindaran Pajak Menuai Kritik

Jakarta, 12 Agustus 2024 – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47/2024 yang baru-baru ini diterbitkan untuk memperketat aturan Automatic Exchange of Information (AEoI) telah memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dan perpajakan. Aturan ini ditujukan untuk menangani pihak-pihak yang bersekongkol dengan wajib pajak dalam melakukan penghindaran pajak.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam sebuah wawancara eksklusif menjelaskan bahwa PMK 47/2024 merupakan perubahan ketiga dari PMK 70/2017 yang mengatur tentang akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan.

“Pemerintah ingin memasukkan General Anti-avoidance Rules (GAAR) ke dalam aturan ini,” ujar Budi. “Namun, implementasinya menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang perlu diperhatikan.”

Menurut Budi, salah satu konsekuensi dari penambahan pasal tentang GAAR adalah petugas pajak dapat melakukan penilaian subjektif atas kesepakatan yang dilandasi asas kesucian kontrak dalam KUH Perdata. “Ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambahnya.

Lebih lanjut, Budi mengkritisi hierarki hukum dari PMK 47/2024. “Ada indikasi pengaturan yang melebihi kewenangan dari sebuah PMK,” jelasnya. Ia merujuk pada UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang membatasi pendelegasian kewenangan dari UU kepada menteri hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

PMK 47/2024 tampaknya membuat norma hukum baru, termasuk larangan membuat kesepakatan perdata yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak menurut penilaian petugas pajak, serta memberi kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menyatakan kesepakatan tersebut tidak berlaku tanpa proses pengadilan.

Meski demikian, Budi mengingatkan bahwa setiap kebijakan selalu memiliki dua sisi. “Dari sisi pembuat kebijakan, isi perubahan aturan di PMK 47/2024 tetap dapat dianggap sebagai bagian dari petunjuk teknis dari UU No. 9/2017,” katanya.

Kontroversi ini menyoroti ketegangan antara upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dan kebutuhan untuk menjaga kepastian hukum bagi wajib pajak dan pelaku usaha. Para pemangku kepentingan kini menanti kemungkinan pengujian aturan ini di Mahkamah Agung untuk memastikan keabsahannya.

Sementara itu, Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi terkait kritik terhadap PMK 47/2024. Namun, sumber internal menyatakan bahwa aturan ini diperlukan untuk menutup celah penghindaran pajak yang semakin canggih.

Terlepas dari kontroversi, para ahli berharap akan ada dialog lebih lanjut antara pemerintah, pelaku usaha, dan ahli hukum untuk mencapai keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dan kepastian hukum dalam praktik perpajakan di Indonesia

Pakar Ekonomi: Indonesia Perlu Pertimbangkan Matang Saran IMF Terkait Strategi Penerimaan Negara

Jakarta, 12 Agustus 2024– International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini mengeluarkan laporan yang menyoroti perlunya pembaruan Medium Term Revenue Strategy (MTRS) 2017 di Indonesia. Namun, seorang pakar ekonomi memperingatkan bahwa implementasi saran-saran tersebut memerlukan pertimbangan yang cermat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menganalisis beberapa saran kunci IMF dalam sebuah wawancara eksklusif. “Setiap opsi yang muncul dalam proses formulasi kebijakan pasti memunculkan ambivalensi. Dengan kata lain, ada sisi positif dan negatif sehingga ada pihak yang pro dan kontra terhadap usulan IMF tersebut,” ujarnya.

Salah satu saran IMF adalah menurunkan threshold pengusaha kena pajak. Menurut Budi, hal ini bisa meningkatkan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun juga berpotensi meningkatkan biaya administrasi bagi Direktorat Jenderal Pajak dan biaya kepatuhan bagi pengusaha kecil.

Terkait penambahan objek cukai, Budi menjelaskan bahwa meskipun hal ini dapat meningkatkan penerimaan negara, ada risiko pergeseran perilaku konsumsi masyarakat ke produk substitusi yang tidak terkena cukai atau terkena cukai dengan tarif lebih rendah.

Saran IMF untuk meninjau ulang kebijakan tax expenditure juga mendapat perhatian khusus. “Kebijakan belanja pajak seringkali muncul ketika krisis ekonomi terjadi atau terjadi perlambatan ekonomi,” kata Budi. Ia menambahkan bahwa meskipun ada argumen untuk mengalokasikan dana secara lebih produktif, kebijakan belanja pajak dapat membantu menjaga daya beli masyarakat di masa sulit.

Menanggapi pertanyaan tentang kemampuan Indonesia untuk menjalankan saran-saran IMF, Budi menegaskan bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk melakukannya. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai perspektif sebelum mengambil keputusan.

“Pada akhirnya, pemerintah harus mengambil keputusan, yaitu: menjalankan semua saran IMF tanpa modifikasi kebijakan, menjalankan saran IMF dengan modifikasi kebijakan, atau tidak menjalankan saran IMF tersebut,” jelas Budi.

Ia menambahkan bahwa dalam praktiknya, pilihan kebijakan seringkali tidak mencapai titik ideal. “Berdasarkan kompromi, Pemerintah akan menerapkan the second best policies,” tutupnya.

Sementara itu, beberapa saran IMF lainnya, seperti menurunkan threshold UMKM dan memulai cukai BBM, masih memerlukan kajian lebih lanjut. Bahkan, rencana cukai plastik yang pernah diusulkan IMF sebelumnya masih mengalami kemandegan dalam implementasinya.

Dengan berbagai pertimbangan yang kompleks ini, masyarakat dan pelaku ekonomi di Indonesia akan menanti dengan seksama langkah-langkah konkret yang akan diambil pemerintah dalam merespons rekomendasi IMF, sambil tetap menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat