Author: IFTAA

Dilema Tax Holiday vs Global Minimum Tax: Indonesia di Persimpangan Kebijakan Pajak

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Kebijakan perpajakan Indonesia sedang menghadapi transformasi fundamental, terutama terkait fasilitas tax holiday dan rencana implementasi Global Minimum Tax (GMT). Dalam wawancara eksklusif dengan Bisnis Indonesia, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan analisis komprehensif tentang perubahan signifikan dalam landasan hukum kebijakan perpajakan nasional.

Evolusi Landasan Hukum Tax Holiday

Perubahan Kerangka Hukum

Prianto menjelaskan evolusi kerangka hukum tax holiday di Indonesia:

• UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) yang menjadi landasan awal pemberian tax holiday

• PP 94/2010 yang kemudian diubah dengan PP 45/2019 sebagai aturan pelaksana

• PMK No. 130/PMK.010/2020 yang mengatur teknis pemberian fasilitas tax holiday

• UU No. 6/2023 (UU Cipta Kerja 2023) yang mengubah UU PM sebelumnya

Perubahan Fundamental dalam UU PM

“Perubahan signifikan terjadi ketika Pasal 18 ayat (5) UU PM yang menjadi dasar pemberian tax holiday dicabut melalui UU Cipta Kerja 2023,” ungkap Prianto. Pasal tersebut sebelumnya mengatur pemberian pembebasan atau pengurangan PPh badan untuk industri pionir.

Pengalihan ke UU PPh

Sekarang, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU PM yang baru, fasilitas perpajakan harus mengacu pada UU PPh. Prianto merinci empat fasilitas yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU PPh:

• Pengurangan penghasilan neto hingga 30% dari nilai investasi

• Penyusutan dan amortisasi dipercepat

• Kompensasi kerugian hingga 10 tahun

• PPh atas dividen 10% untuk investor asing

Global Minimum Tax: Era Baru Perpajakan

Sementara itu, Indonesia juga bersiap mengimplementasikan Global Minimum Tax sebagai bagian dari kesepakatan internasional. “GMT merupakan bagian dari consensus-based tax policies di Pilar Dua dan Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules,” jelas Prianto.

Implementasi GMT di Indonesia telah memiliki landasan hukum melalui Pasal 32A UU PPh dan PP 55/2022, meskipun PMK teknisnya belum terbit. Ketentuan GMT akan berlaku untuk grup usaha dengan pendapatan konsolidasi minimal €750 juta (sekitar Rp12,75 triliun).

Mencari Keseimbangan Optimal

Dalam menghadapi situasi ini, Prianto menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana Indonesia dapat mengoptimalkan kedua instrumen kebijakan:

1. Tax Holiday untuk Investasi Menengah: “Tax holiday masih dapat diberikan untuk investasi dengan dua syarat,” ujar Prianto. Syarat tersebut meliputi pembenahan regulasi untuk kepastian hukum dan pembatasan pada perusahaan dengan pendapatan gabungan di bawah €750 juta.

2. GMT untuk Perusahaan Besar: Untuk perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta, GMT menjadi instrumen yang lebih relevan.

Dampak terhadap Penerimaan Negara

Dari sisi penerimaan negara, Prianto menegaskan bahwa kedua instrumen memiliki tujuan berbeda:

1. GMT berpotensi memberikan tambahan penerimaan pajak melalui top-up tax

2. Tax holiday lebih fokus pada penarikan investasi asing (FDI) daripada penerimaan pajak

Langkah ke Depan

Menghadapi situasi ini, beberapa langkah krusial perlu diambil:

1. Memberikan kepastian hukum untuk tax holiday yang sudah diberikan

2. Menghentikan pemberian tax holiday baru karena tidak ada dasar hukumnya

3. Menggantinya dengan fasilitas investment allowance sesuai Pasal 31A UU PPh

4. Menerbitkan PMK tentang implementasi GMT

Kesimpulan

Indonesia berada di persimpangan penting dalam kebijakan perpajakan. Keputusan yang diambil dalam mengatur tax holiday dan implementasi GMT akan mempengaruhi daya saing investasi dan penerimaan negara. Diperlukan kebijakan yang cermat untuk memastikan Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari kedua instrumen ini sambil tetap menjaga daya tarik investasi dan kepatuhan terhadap standar perpajakan global.

DJP Siap Luncurkan CoreTax: Strategi Implementasi Sistem Perpajakan Baru

Jakarta, 26 September 2024 – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah mempersiapkan peluncuran sistem perpajakan baru yang disebut CoreTax Administration System (CTAS). Dalam wawancara eksklusif dengan Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan detail persiapan, tantangan, dan strategi implementasi CoreTax yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan kepatuhan Wajib Pajak (WP) di Indonesia.

Persiapan Sebelum Peluncuran

Prianto Budi menekankan dua aspek krusial yang harus dipastikan DJP sebelum meluncurkan CoreTax:

1. Keamanan Data:

“DJP harus memastikan bahwa dugaan kebocoran terhadap data NPWP dan NIK tidak mengganggu rilis CTAS,” ujar Prianto. Ini menunjukkan bahwa DJP sangat serius dalam menangani isu keamanan data, mengingat sensitifitas informasi perpajakan yang akan dikelola oleh sistem baru ini.

2. Sosialisasi Intensif:

“Sosialisasi harus terus digiatkan ke seluruh lapisan Wajib Pajak agar pemahaman mereka ke CTAS memadai,” tambah Prianto. Hal ini mengindikasikan bahwa DJP menyadari pentingnya edukasi dan pemahaman Wajib Pajak terhadap sistem baru untuk memastikan implementasi yang sukses.

Tantangan Adaptasi dan Estimasi Waktu

Ketika ditanya tentang waktu yang dibutuhkan Wajib Pajak untuk beradaptasi dengan CoreTax, Prianto Budi memberikan pandangan yang realistis: “Kebutuhan waktu untuk beradaptasi akan bervariasi. Faktornya ada pada kemauan untuk berubah dari WP itu sendiri,” jelasnya. Prianto mengakui bahwa dalam setiap pembaruan sistem informasi, tantangan “resistance to change” (resistensi untuk berubah) akan selalu muncul.

Akan tetapi, ia memberikan estimasi waktu adaptasi yang cukup optimis: “Waktu adaptasi sekitar 6 12 bulan dianggap cukup memadai bagi internal DJP maupun WP untuk fully adapted dengan CTAS.” Estimasi ini memberikan gambaran konkret bagi semua pihak terkait tentang timeline yang diharapkan untuk implementasi penuh CoreTax.

Strategi Percepatan Efektivitas

Untuk mempercepat efektivitas CoreTax, Prianto Budi mengungkapkan strategi komprehensif yang akan diterapkan oleh DJP. “Sesuatu yang baru pasti harus dikenalkan agar aparat DJP dan WP segera mengenali, beradaptasi, dan memahami secara baik,” ujarnya. “Jadi, sosialisasi dengan berbagai media pembelajaran menjadi penting.” tambahnya.

Prianto merinci beberapa metode sosialisasi yang akan digunakan, seperti: 1. Pelatihan tatap muka 2. Video pembelajaran 3. Buku panduan 4. Video tutorial 5. Video animasi.

Pendekatan multi-channel ini menunjukkan komitmen DJP untuk memastikan bahwa semua pihak, baik internal maupun Wajib Pajak, memiliki akses ke berbagai sumber informasi dan pembelajaran tentang CoreTax.

Dampak yang Diharapkan

Meskipun Prianto Budi tidak secara eksplisit menyebutkan dampak spesifik dari CoreTax, implementasi sistem ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Dengan sistem yang lebih modern dan terintegrasi, DJP berharap dapat meningkatkan transparansi, akurasi, dan kemudahan dalam proses perpajakan di Indonesia.

Kesimpulan

Peluncuran CoreTax merupakan langkah signifikan dalam modernisasi sistem perpajakan Indonesia. Dengan persiapan yang matang, strategi implementasi yang komprehensif, dan pendekatan yang realistis terhadap tantangan adaptasi, DJP menunjukkan komitmen kuat untuk meningkatkan sistem perpajakan nasional.

Pemerintah Tinjau Ulang Kebijakan Cukai Hasil Tembakau untuk 2025

Jakarta, 23 September 2024 – Pemerintah Indonesia mengumumkan perubahan arah kebijakan terkait Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk tahun 2025. Berbeda dengan rencana sebelumnya yang menggunakan sistem tarif multiyears, pemerintah kini memfokuskan diri pada fenomena downtrading rokok yang semakin marak terjadi.

Menurut pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, pemerintah tidak akan melakukan penyesuaian tarif CHT pada tahun 2025. Sebaliknya, fokus akan diarahkan pada penyesuaian harga jual di tingkat industri.

Menanggapi hal tersebut, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menjelaskan bahwa keputusan ini merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2025.

“Pemerintah memang tidak jadi melakukan penyesuaian tarif CHT setelah bersepakat dengan DPR. Fokus pemerintah ada pada fenomena downtrading rokok yang marak saat ini,” ujar Prianto.

Ia menambahkan bahwa setelah adanya penyesuaian tarif CHT di periode sebelumnya, terjadi peralihan konsumsi rokok ke jenis yang lebih murah. “Produksi rokok Golongan I menurun karena terkena tarif cukai lebih tinggi di atas Rp 1.000 per batang atau gram. Sementara itu, terjadi peningkatan produksi rokok Golongan II dan III dengan tarif cukai di bawah Rp 1.000 per batang atau gram,” jelasnya.

Menghadapi situasi ini, pemerintah diperkirakan akan menelaah kembali kebijakan penggolongan rokok yang saat ini berlaku. Langkah yang diambil kemungkinan besar berupa penyesuaian harga jual di level industri. “Tujuannya adalah agar tidak marak terjadi downtrading lagi,” tegas Prianto.

Kebijakan ini diharapkan dapat menyeimbangkan antara upaya pengendalian konsumsi rokok dan penerimaan negara dari sektor cukai. Namun, beberapa pihak mengkhawatirkan dampak kebijakan ini terhadap industri rokok nasional dan petani tembakau.

Sementara itu, Kementerian Keuangan belum merilis detail lengkap mengenai rencana penyesuaian harga jual rokok di tingkat industri. Diperkirakan, informasi lebih lanjut akan diumumkan dalam waktu dekat seiring dengan pembahasan APBN 2025.

Masyarakat dan pelaku industri rokok diharapkan tetap mengikuti perkembangan kebijakan ini, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap ekonomi nasional dan kesehatan masyarakat.

Kebocoran Data 6 Juta NPWP: Ancaman Serius bagi Kepercayaan Publik dan Sistem Perpajakan Indonesia

Jakarta, 23 September 2024 – Dugaan kebocoran 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang diperjualbelikan seharga Rp150 juta telah mengguncang sistem perpajakan Indonesia. Insiden ini tidak hanya mengancam keamanan data pribadi wajib pajak, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap otoritas pajak dan berdampak pada penerimaan negara.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif mengungkapkan analisis mendalam tentang implikasi jangka panjang dari insiden ini.

Ancaman terhadap Kepercayaan Publik

“Salah satu tantangan utama bagi Indonesia saat ini adalah membangun dan mempertahankan kepercayaan publik (public trust),” ujar Prianto. “Dalam konteks perpajakan, kepercayaan wajib pajak menjadi sangat esensial untuk menciptakan voluntary compliance (kepatuhan sukarela), bahkan cooperative compliance (kepatuhan kooperatif).”

Prianto menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang menggalakkan kebijakan cooperative compliance, di mana wajib pajak diharapkan tidak hanya patuh tetapi juga kooperatif dalam membayar pajak. “Paradigma yang dibangun dari model kepatuhan ini adalah paradigma pelayanan (service) dan kepercayaan (trust),” tambahnya.

Dampak Hukum dan Kepatuhan

Prianto menekankan bahwa kebocoran data wajib pajak merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). “Pasal 41 UU KUP secara khusus menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain,” jelasnya. “Tujuannya adalah agar wajib pajak tidak ragu-ragu dalam memberikan data dan keterangan sebagai bentuk kepatuhan terhadap Undang-Undang Perpajakan.”

Lebih lanjut, Prianto mengingatkan bahwa UU KUP memungkinkan sanksi pidana diberikan kepada pejabat yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut, baik karena kesengajaan maupun kelalaian.

Potensi Kerugian Negara

Meskipun belum ada perhitungan pasti mengenai kerugian negara akibat insiden ini, Prianto memperkirakan dampaknya bisa signifikan. “Kerugian negara berkaitan dengan kepercayaan yang mungkin menurun. Sebagai konsekuensinya, potensi penurunan penerimaan dapat terjadi,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kebocoran data wajib pajak bisa membuat pemungutan pajak ke depannya akan menurun atau semakin menantang. Alasannya adalah karena distrust (ketidakpercayaan) wajib pajak kepada otoritas pajak.”

Langkah-langkah yang Harus Diambil Pemerintah

Menghadapi situasi ini, Prianto menekankan pentingnya tindakan cepat dan tegas dari pemerintah. “Pemerintah harus segera menuntaskan investigasi kebocoran data wajib pajak tersebut secepat mungkin sebelum peluncuran Core Tax Administration System (CTAS),” sarannya.

CTAS, yang dijadwalkan akan diluncurkan pada akhir Desember 2024, merupakan sistem administrasi perpajakan baru yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan pengelolaan data perpajakan.

“Tujuannya adalah agar ada perbaikan segera untuk keamanan siber yang ada di CTAS. Ini penting untuk mencegah insiden serupa di masa depan dan memulihkan kepercayaan wajib pajak,” tegas Prianto.

Insiden kebocoran data ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keamanan data dan transparansi dalam penanganan informasi sensitif wajib pajak. Pemulihan kepercayaan publik akan menjadi kunci dalam mempertahankan kepatuhan pajak dan menjamin stabilitas penerimaan negara di masa mendatang. Prianto menyimpulkan bahwa tanpa kepercayaan publik yang kuat, sistem perpajakan kita akan menghadapi tantangan besar, “Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk memulihkan kepercayaan ini dan memastikan keamanan data wajib pajak di masa depan.” tegas Prianto.

Indonesia Targetkan Rp945,1 Triliun dari PPN di 2025: Strategi Pergeseran Basis Pajak dan Adopsi Aturan Global

Jakarta, 23 September 2024 – Pemerintah Indonesia membuat langkah berani dengan menetapkan target penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp945,1 triliun untuk tahun 2025. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan sekitar Rp125 triliun dari outlook tahun ini, mengindikasikan perubahan strategi dalam kebijakan perpajakan nasional.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif, mengungkap detail strategi di balik target ambisius ini dan menganalisis langkah terbaru Indonesia dalam arena perpajakan internasional.

Pergeseran Paradigma: Dari PPh ke PPN

“Sejak disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kita menyaksikan pergeseran paradigma dalam basis pemajakan dari Pajak Penghasilan (PPh) ke PPN,” jelas Prianto. Ia menekankan bahwa langkah ini merupakan respons strategis terhadap maraknya praktik perencanaan pajak agresif dalam sistem PPh secara global, termasuk di Indonesia.

Prianto merinci keunggulan sistem PPN: “Basis PPN langsung ke penjualan dengan tarif tertentu. Misalnya, jika tarif PPN 12% dan total penjualan Rp1 miliar, maka PPN yang harus dipungut sebesar Rp120 juta. Perhitungannya sangat simpel dan minim celah untuk aggressive tax planning.” Sebaliknya, ia menjelaskan kelemahan sistem PPh: “Wajib Pajak harus menghitung PPh melalui pengurangan penghasilan dengan beban sebagai pengurang penghasilan bruto. Ini membuka peluang untuk mempraktikkan perlakuan akuntansi yang dapat meminimalkan PPh kurang bayar.”

Adopsi Aturan Pajak Global: MLI STTR

Selain fokus pada peningkatan penerimaan PPN, Indonesia juga mengambil langkah signifikan dalam perpajakan internasional dengan menandatangani kesepakatan Multilateral Instrument Subject-to-Tax Rule (MLI STTR). Prianto menjelaskan bahwa STTR merupakan bagian dari Global Minimum Tax (GMT) dalam Pilar Dua perpajakan internasional. “Melalui Peraturan Pemerintah No. 55/2022, Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk mengatur GMT,” ujarnya. GMT terdiri dari dua komponen utama:

1. Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules: “GloBE rules menetapkan tarif minimum 15% di setiap negara yang mengadopsi Pilar Dua,” Prianto menjelaskan. “Perusahaan multinasional harus membayar pajak tambahan (top-up tax) sebesar selisih antara tarif pajak efektif di setiap yurisdiksi dan tarif minimum 15%, jika tarif efektif tersebut kurang dari 15%.”

2. Subject-to-Tax Rule (STTR): “STTR memungkinkan negara sumber penghasilan mengenakan pajak tambahan hingga 9% atas penghasilan tertentu,” tambah Prianto. Ia merinci bahwa STTR mencakup berbagai jenis penghasilan seperti bunga, royalti, premi asuransi/reasuransi, imbalan jaminan keuangan, biaya pembiayaan, imbalan sewa, dan imbalan atas penyediaan layanan.

Prianto memberikan contoh konkret penerapan STTR: “Jika negara sumber memotong PPh sebesar 5% atas covered income senilai USD 1 juta, dan penerima penghasilan tersebut membayar PPh badan 1% di negara domisilinya, negara sumber masih berhak memotong PPh tambahan berdasarkan STTR sebesar 3% dari USD 1 juta. Perhitungannya adalah (9% – 5% – 1%) x USD 1 juta = 3% x USD 1 juta.”

Tantangan bagi Indonesia

Dengan penandatanganan MLI STTR, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam upaya global menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, Prianto mengingatkan bahwa implementasi aturan baru ini akan memerlukan penyesuaian signifikan dalam sistem perpajakan nasional. “Pemerintah harus mengkaji ulang tarif pemotongan PPh sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang masih di bawah 9%,” ujarnya. “Fokus utama akan diberikan pada tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B.”

Prianto menyimpulkan bahwa kombinasi antara peningkatan target PPN dan adopsi aturan pajak global menunjukkan strategi komprehensif pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dan menjaga keadilan sistem perpajakan. Namun, keberhasilan strategi ini akan bergantung pada implementasi yang cermat dan kemampuan adaptasi sistem perpajakan nasional terhadap standar global yang baru.

Dengan langkah-langkah strategis ini, pemerintah Indonesia tidak hanya berharap dapat mencapai target penerimaan pajak yang ambisius, tetapi juga memperkuat posisinya dalam lanskap perpajakan global yang semakin kompleks. Masyarakat dan pelaku bisnis diharapkan untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan signifikan dalam landscape perpajakan nasional dan internasional ini.

Indonesia Menandatangani MLI STTR: Langkah Strategis Menuju Keadilan Pajak Global

Jakarta, 23 September 2024 – Menteri Keuangan Republik Indonesia baru-baru ini menandatangani perjanjian Multilateral Instrument Subject-to-Tax Rule (MLI STTR) bersama 42 yurisdiksi lainnya. Langkah ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara pionir (early adopter) dalam implementasi Pilar Dua perpajakan internasional, sebuah inisiatif global yang bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil bagi perusahaan multinasional.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif memberikan analisis mendalam tentang implikasi dan signifikansi langkah strategis ini bagi Indonesia.

Memahami STTR dalam Konteks Global Minimum Tax

“Subject-to-Tax Rule (STTR) merupakan komponen integral dari kebijakan pajak internasional Pilar Dua, yang berfokus pada penerapan Global Minimum Tax (GMT),” jelas Prianto. Ia menambahkan bahwa Indonesia telah mempersiapkan landasan hukum untuk ini melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Pemerintah No. 55/2022.

Prianto merinci bahwa GMT terdiri dari dua elemen utama:

  1. Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules: “Aturan ini menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15% di setiap negara yang mengadopsi Pilar Dua,” ujarnya. “Perusahaan multinasional akan dikenakan ‘top-up tax’ atau pajak tambahan, yang besarnya adalah selisih antara tarif pajak efektif di setiap yurisdiksi dan tarif minimum 15%, jika tarif efektif tersebut kurang dari 15%.”
  2. Subject-to-Tax Rule (STTR): “STTR memungkinkan negara sumber penghasilan untuk mengenakan pajak tambahan hingga 9% atas penghasilan tertentu,” Prianto menjelaskan. “Ini berlaku untuk ‘Covered Income’ yang mencakup bunga, royalti, premi asuransi/reasuransi, imbalan jaminan keuangan, biaya pembiayaan, imbalan sewa, dan imbalan atas penyediaan layanan.”

Mekanisme Penghitungan STTR

Prianto memberikan contoh konkret tentang cara kerja STTR: “Misalkan negara sumber memotong PPh sebesar 5% atas covered income senilai USD 1 juta, dan penerima penghasilan tersebut membayar PPh badan 1% di negara domisilinya. Dalam kasus ini, negara sumber masih berhak memotong PPh tambahan berdasarkan STTR sebesar 3% dari USD 1 juta. Perhitungannya adalah (9% – 5% – 1%) x USD 1 juta = 3% x USD 1 juta.”

Potensi Peningkatan Penerimaan Pajak

Meski belum ada perhitungan pasti mengenai potensi peningkatan penerimaan pajak dari penerapan STTR, Prianto menekankan signifikansi langkah ini. “Saat ini, fokus utama Pemerintah Indonesia adalah memastikan kebijakan pajak internasional kita tetap selaras dengan lanskap global,” ujarnya. “Indonesia, sebagai bagian dari G20, berkomitmen untuk mengusung kebijakan pajak internasional berbasis konsensus bersama.”

Implikasi terhadap Kebijakan Pajak Indonesia

Sebagai konsekuensi dari penandatanganan STTR, Prianto menjelaskan bahwa Indonesia perlu melakukan evaluasi menyeluruh. “Pemerintah harus mengkaji ulang tarif pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang masih di bawah 9%,” jelasnya. “Fokus utama akan diberikan pada tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B.”

Langkah Selanjutnya

Prianto mengungkapkan bahwa pemerintah akan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih lanjut tentang implementasi STTR di Indonesia. “Wajib Pajak tinggal menunggu PerMenkeu yang mengatur tentang STTR sebagai bagian dari Global Minimum Tax,” tambahnya.

Kesimpulan

Penandatanganan MLI STTR oleh Indonesia merupakan langkah signifikan dalam upaya global untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Meski dampak finansial belum bisa dipastikan, langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak negara di masa mendatang, terutama dari transaksi lintas batas yang melibatkan perusahaan multinasional.

Dengan menjadi early adopter Pilar Dua, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam memerangi penghindaran pajak dan memastikan perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi. Langkah strategis ini tidak hanya berpotensi meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam arena perpajakan internasional.

PMK Nomor 59/2024: Pembebasan Pajak untuk Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional, Apa Saja yang Baru?

Jakarta, 6 September 2024 – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 59/2024, yang memberikan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk perwakilan negara asing, badan internasional, dan para pejabatnya. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum serta meningkatkan efisiensi dalam tata kelola administrasi dan pelayanan kepada pihak-pihak terkait.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, seorang pakar perpajakan sekaligus ketua Umum IFTAA, menjelaskan beberapa poin penting terkait peraturan ini dan bagaimana peran PMK 59/2024 dalam menyempurnakan kebijakan pajak sebelumnya.

PMK 59/2024: Mengikuti Arahan PP 47/2020

Prianto menegaskan bahwa PMK 59/2024 merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2020. Aturan ini mengatur tata cara pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM yang diberikan kepada:

  1. Perwakilan negara asing,
  2. Badan internasional, dan
  3. Pejabat dari kedua pihak tersebut.

“Peraturan ini fokus pada pengaturan teknis dan administratif untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam proses pembebasan pajak bagi pihak-pihak yang berhak,” jelas Prianto.

Menurutnya, PMK 59/2024 memberikan dua mekanisme utama dalam proses pembebasan pajak:

  1. Tata cara pembebasan pajak dengan SKB (Surat Keterangan Bebas), dan
  2. Tata cara pembebasan pajak dengan mekanisme pengembalian pajak.

Prianto juga menambahkan bahwa PMK ini tidak boleh bertentangan dengan PP 47/2020, melainkan bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan pelayanan bagi perwakilan negara asing dan badan internasional.

Penyempurnaan Aturan Sebelumnya

Salah satu poin penting dari PMK 59/2024 adalah penyempurnaannya terhadap aturan-aturan sebelumnya. Prianto menjelaskan bahwa PMK ini menggabungkan dua aturan terdahulu yang diatur dalam PMK 161/2014 dan PMK 162/2014.

  • PMK 161/2014 mengatur tata cara pengembalian PPN dan PPnBM bagi perwakilan negara asing, badan internasional, serta pejabatnya.
  • PMK 162/2014 mengatur tata cara penerbitan SKB PPN dan PPnBM untuk pihak-pihak yang sama.

“Dengan diterbitkannya PMK 59/2024, kedua PMK tersebut digabungkan dan disempurnakan untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian hukum bagi para pihak yang berhak,” jelas Prianto lebih lanjut.

Efek Positif untuk Pihak Internasional

Kehadiran PMK 59/2024 membawa harapan baru bagi perwakilan negara asing dan badan internasional di Indonesia. Aturan ini diyakini akan memberikan kepastian hukum dan mengurangi kompleksitas administrasi dalam proses pengajuan pembebasan pajak, sehingga dapat memperkuat hubungan diplomatik dan operasional internasional di dalam negeri.

Melalui PMK 59/2024, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus menyempurnakan aturan perpajakan, khususnya bagi pihak asing dan internasional. Selain memberikan kemudahan administrasi, peraturan ini juga memastikan bahwa semua proses perpajakan berjalan transparan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Bagi perwakilan negara asing dan badan internasional, PMK ini menjadi angin segar dalam meningkatkan efisiensi operasional mereka di Indonesia.

PMK 59/2024 diharapkan akan menjadi langkah penting dalam memperkuat kerja sama internasional dan diplomasi Indonesia di kancah global.

Peningkatan Pengeluaran Pajak Kelas Menengah: Penyebab dan Tantangan ke Depan

Jakarta, 6 September 2024 – Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan adanya peningkatan pengeluaran pajak di kalangan masyarakat kelas menengah. Pada tahun 2019, indeks pengeluaran untuk membayar pajak tercatat sebesar 3,48, namun pada tahun 2024, indeks ini melonjak drastis. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai penyebab dan dampak dari peningkatan pengeluaran pajak tersebut terhadap kelas menengah yang dianggap rentan jatuh ke garis kemiskinan.

Menanggapi hal ini, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangan yang mendalam. Dalam wawancaranya, ia menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran masyarakat untuk membayar pajak. Salah satu faktor utamanya adalah perubahan dalam kebijakan perpajakan pemerintah.

Pergeseran Kebijakan Pajak: Dari Pendapatan ke Konsumsi

Prianto menyoroti bahwa pemerintah telah mulai menggeser basis pemajakan dari pajak berbasis penghasilan (PPh) ke arah pajak berbasis konsumsi (PPN). “Pengeluaran masyarakat menjadi salah satu basis pemajakan yang dikenal dengan istilah expenditure-based taxation atau consumption-based taxation,” jelasnya. Pajak berbasis konsumsi ini mencakup tiga jenis pajak utama: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, dan Pajak Daerah (PBJT).

  • PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri.
  • Cukai berlaku untuk hasil tembakau, seperti rokok.
  • Pajak Daerah (PBJT) meliputi pajak atas transaksi barang dan jasa tertentu, termasuk di restoran dan hotel.

“Peningkatan konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa di ketiga objek pajak tersebut secara otomatis meningkatkan penerimaan pajak,” tambahnya.

Hal ini sejalan dengan kebijakan yang tertuang dalam UU APBN 2024, di mana pemerintah mengarahkan basis pemajakan lebih ke konsumsi. Dengan adanya pergeseran ini, konsumsi masyarakat kelas menengah berpengaruh langsung terhadap peningkatan beban pajak mereka.

Tantangan bagi Kelas Menengah: Perlu Insentif Pajak?

Selain membahas penyebab peningkatan pajak, Prianto juga menyentuh isu penting terkait dampak kebijakan pajak terhadap kelas menengah yang rentan. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan insentif pajak untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah, terutama di sektor-sektor yang memiliki efek pengganda besar terhadap perekonomian.

“Saat ini, pemerintah masih memberikan insentif pajak melalui kebijakan Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) secara selektif, terutama di sektor properti,” ungkapnya. Insentif ini bertujuan untuk menjaga ketahanan ekonomi masyarakat dan biasanya akan dicabut kembali setelah ekonomi mulai pulih.

Namun, Prianto menekankan bahwa pemberian insentif harus dilakukan secara hati-hati dan selektif, mengingat tantangan keuangan negara. Pemerintah perlu terus mengevaluasi kebijakan pajak untuk memastikan bahwa kelas menengah tidak semakin terbebani oleh pengeluaran pajak yang meningkat, yang dapat memperparah kerentanan mereka terhadap kemiskinan.

Peningkatan pengeluaran pajak kelas menengah mencerminkan adanya pergeseran kebijakan pajak yang berfokus pada konsumsi, sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Akan tetapi, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah dapat menyeimbangkan antara meningkatkan penerimaan pajak dan menjaga stabilitas ekonomi masyarakat kelas menengah, agar mereka tetap dapat bertahan di tengah ancaman kemiskinan.

“Pemerintah Alokasikan Rp445,5 Triliun untuk Belanja Perpajakan 2025: Strategi dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2023– Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana sebesar Rp445,5 triliun untuk belanja perpajakan. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 11,4% dibandingkan alokasi tahun sebelumnya. Fokus utama alokasi ini ditujukan pada sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), industri manufaktur, serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif memberikan pandangan mendalam mengenai strategi dan tantangan dari kebijakan ini.

Belanja Perpajakan sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal

Prianto menjelaskan bahwa belanja perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran di pos APBN. “Instrumen ini sering disebut sebagai indirect government spending policy,” ujarnya. Salah satu bentuk konkretnya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP).

“Dengan kebijakan DTP, pemerintah tetap mengenakan pajak atas suatu sektor tertentu. Namun, dana untuk membayar pajak tidak ditanggung oleh konsumen, melainkan oleh pemerintah,” Prianto menjelaskan. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mempertahankan daya beli mereka melalui “bantuan pemerintah” secara tidak langsung.

Strategi di Tengah Tantangan Ekonomi

Menanggapi kekhawatiran tentang penurunan jumlah kelas menengah dan pelemahan daya beli masyarakat, Prianto menegaskan bahwa rencana alokasi belanja perpajakan 2025 telah melalui proses pertimbangan yang matang.

“Setiap perencanaan anggaran pasti memiliki ketidakpastian di masa mendatang dan biasanya dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis,” jelasnya. “Secara umum, pilihan moderat seringkali menjadi opsi yang dipilih karena dianggap paling realistis.”

Fokus pada Sektor Manufaktur

Meskipun kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan tren penurunan, pemerintah tetap memilih untuk meningkatkan belanja perpajakan di sektor ini. Prianto menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut:

“Pemilihan sektor manufaktur didasarkan pada potensi multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian. Sektor ini dianggap memiliki dampak ganda karena sebagian besar industrinya padat karya dan padat modal,” tuturnya.

 

Implementasi dan Contoh Konkret

Prianto memberikan beberapa contoh implementasi belanja perpajakan:

  1. PPN DTP untuk percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
  2. PPN DTP di sektor perumahan.

“Melalui kebijakan ini, masyarakat yang terbantu dengan pajak DTP akan memiliki dana lebih untuk belanja barang dan jasa, sehingga diharapkan daya beli masyarakat akan terjaga,” Prianto menjelaskan.

Evaluasi dan Penyesuaian Kebijakan

Prianto menekankan bahwa efektivitas kebijakan ini baru dapat dinilai setelah diimplementasikan. “Suatu perencanaan apapun tidak akan pernah salah atau benar karena belum diimplementasikan,” ujarnya. “Yang penting adalah terus melakukan evaluasi dan penyesuaian kebijakan berdasarkan perkembangan ekonomi yang terjadi.”

Ia juga menambahkan bahwa dalam kebijakan fiskal, seringkali tidak ada posisi ideal (optimum) karena selalu ada pihak yang pro dan kontra ketika proses tersebut berada di posisi perumusan kebijakan fiskal dari sisi anggaran tax expenditure.

Kesimpulan

Dengan strategi belanja perpajakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis, dan mempertahankan daya beli masyarakat di tengah tantangan ekonomi global yang dinamis. Namun, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada implementasi yang tepat dan kemampuan pemerintah untuk melakukan penyesuaian berdasarkan kondisi ekonomi yang berkembang.

“Pemerintah Targetkan Penerimaan Pajak 2025 Rp2.183,9 Trilitun: Antara Optimisme dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2024- Pemerintah Indonesia telah menetapkan target penerimaan pajak yang ambisius untuk tahun anggaran 2025, yaitu sebesar Rp2.183,9 triliun. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya yang belum menembus angka Rp2.000 triliun.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangannya mengenai target tersebut. “Setiap perencanaan anggaran yang memiliki ketidakpastian di masa mendatang dapat dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis. Secara umum, pilihan moderat atau konservatif menjadi opsi yang paling rasional,” jelasnya.

Prianto menilai bahwa target penerimaan pajak sebesar Rp2.183,9 triliun dapat dianggap sebagai pilihan yang moderat dan realistis. Namun, untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu menerapkan strategi yang tepat.

Strategi Pencapaian Target

Kementerian Keuangan, melalui dua instansi vertikalnya yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), akan mengelola penerimaan pajak. DJP bertanggung jawab atas penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan, serta Bea Meterai. Sementara itu, DJBC akan mengelola Bea Masuk, Bea Keluar, dan Cukai.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menerapkan dua strategi utama:

  1. Intensifikasi: Fokus pada pengawasan kepatuhan dengan pendekatan data matching. Data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak akan ditandingkan dengan data dari berbagai sumber yang memasok informasi ke DJP. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi pajak melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).
  2. Ekstensifikasi: Difokuskan pada penambahan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) baru. Strategi ini diimplementasikan melalui pemadanan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Langkah ini akan memudahkan DJP dalam melakukan pengawasan terhadap WPOP baru.

Tantangan dan Pertimbangan

Meskipun target tersebut dianggap moderat, beberapa tantangan tetap perlu diperhatikan. Salah satunya adalah proyeksi lifting migas yang tidak sebagus yang diharapkan, mengingat pajak dari sektor migas dan non-migas merupakan kontributor terbesar dalam penerimaan pajak.

Selain itu, rencana kenaikan PPN menjadi 12% yang masih belum pasti juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan. Menanggapi hal ini, Prianto menegaskan bahwa penyusunan APBN, termasuk penetapan target penerimaan pajak, telah melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pihak terkait.

“Penyusunan APBN melalui proses konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk kementerian, lembaga pemerintah, BUMN, dan kelompok masyarakat terkait. Tujuannya adalah agar Kementerian Keuangan dapat memahami kebutuhan sektor-sektor tertentu dan mendapatkan masukan,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kementerian Keuangan selalu melakukan evaluasi dan membuat pertimbangan di setiap rancangan anggaran, baik di sisi penerimaan maupun di sisi belanja. Proses ini menjadi bagian dari formulasi kebijakan yang bermuara pada RAPBN untuk tahun berikutnya.”

Dengan penetapan target yang ambisius ini, pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, keberhasilan pencapaian target ini juga bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan pelaku usaha dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak.