Category: Artikel Populer

Strategi Tax Game dalam Pelaporan SPT PPh Orang Pribadi

Sejak awal Januari hingga akhir Maret setiap tahunnya, para Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) menyiapkan bukti potong untuk mengisi dan melaporkan pajak penghasilan dalam bentuk SPT ke kantor pajak atau online. Kegiatan yang terus berulang setiap tahun tersebut membuat Wajib Pajak (WP) mulai merencanakan strategi dengan tujuan SPT yang telah dilaporkan tidak menimbulkan sengketa pajak di kemudian hari.

Strategi WP dalam menghindari sengketa merupakan salah satu bentuk implementasi dari permainan pajak (tax game). Istilah “Tax Game” pertama kali dipopulerkan oleh Michael Pickhardt., & Aloys Prinz dalam publikasinya yang berjudul “Behavioral dynamics of tax evasion – A survey”. Singkatnya, permainan perpajakan terdiri dari interaksi strategis antara WP, praktisi pajak, otoritas pajak, dan pembuat undang-undang pajak. Inti dari permainan ini adalah Otoritas Pajak berinteraksi dengan WP secara hierarkis dan sangat formal. Selain kepatuhan pajak, penghindaran pajak juga menjadi strategi WP dalam permainan ini.

Komunikasi antara Para Pihak dalam Tax Game

Sumber: Pickhardt, M., & Prinz, A (2013)

Sama halnya dengan permainan pada umumnya, kedua belah pihak yang terlibat merencanakan strategi dengan mencapai tujuan yang berbeda. Pada kasus pelaporan SPT, WP mengharapkan dokumen SPT yang telah dilaporkan tidak menimbulkan sengketa yang pada akhirnya dapat merugikan WP. Sementara itu, Otoritas Pajak pun memiliki tujuan untuk melakukan optimalisasi penerimaan pajak.

Saat WPDN OP telah menerima bukti pelaporan SPT, maka hal tersebut merupakan tanda dimulainya tax game. Pada saat SPT telah dilaporkan, petugas pajak bergerilya mengatur strategi untuk menjalankan tujuan otoritas pajak dalam melakukan optimalisasi penerimaan. Pada tahap awal, pelaksanaan tugas dilakukan dengan pengawasan kepatuhan secara formal, yaitu  dengan memastikan WP telah melaporkan SPT tepat waktu. Tahapan selanjutnya adalah pengawasan kepatuhan material yang berkaitan dengan kebenaran objek dan perhitungan pajak yang tercantum dalam SPT.

Sebagaimana pada permainan catur, WP juga mencermati lawan mainnya, yaitu Otoritas Pajak/Petugas Pajak, setelah ia melaporkan SPT. Cara WP mencermati strategi lawan mainnya di tax game tersebut menggunakan Theory of Mind (ToM). Hal ini penting untuk diperhatikan saat seseorang berinteraksi. Dalam berinteraksi, seseorang harus mampu memahami kondisi mental dan cara berpikir serta bagaimana kondisi mental tersebut dapat memengaruhi tindakan. Teori pikiran memungkinkan orang menyimpulkan niat orang lain, serta memikirkan apa yang terjadi kepala orang lain, termasuk harapan, ketakutan, dan keyakinan.

Strategi Kepatuhan Pajak

Dalam rangka menguatkan basis pemajakan dan peningkatan kepatuhan, serta fakta bahwa jumlah petugas pajak tidak sebanding dengan jumlah WP, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat skala prioritas melalui penerapan manajemen risiko yang dikenal dengan istilah Compliance Risk Management (CRM). Sebagai dasar hukum pelaksanaan manajemen risiko ini, DJP telah menerbitkan SE-39/PJ/2021. Penerapan CRM oleh DJP terinspirasi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam publikasi yang berjudul Guiding Note – Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance pada tahun 2004.

Model Kepatuhan

Sumber: Guiding Note – Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance (OECD, 2004)

Sesuai dengan gambar piramida kepatuhan yang digambarkan oleh OECD, strategi kepatuhan pajak melalui CRM yang diterapkan DJP dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Jika WP dinilai patuh (willing to do the right thing), Otoritas Pajak akan memberikan kemudahan (make it easy). Dalam hal ini, DJP dapat memberikan persetujuan pengurangan angsuran PPh, pemberian fasilitas pajak, dan restitusi pendahuluan. Sikap di sini adalah kesediaan untuk melakukan hal yang benar. Ada komitmen sadar untuk mendukung sistem dan menerima serta mengelola tuntutannya secara efektif. Terdapat penerimaan terhadap legitimasi peran Otoritas Pajak dan keyakinan bahwa mereka pada dasarnya dapat dipercaya.
  2. Jika WP dinilai masih berusaha untuk patuh pajak, tapi tidak selalu berhasil (try to but don’t always succeed), Otoritas Pajak akan memfungsikan peran petugasnya untuk memberikan konsultasi kepada WP agar patuh (assist to comply). Yang lebih positif adalah sikap WP yang pada dasarnya bersedia untuk patuh, namun mengalami kesulitan dalam melakukannya dan tidak selalu berhasil. WP kemungkinan mengalami kesulitan memahami atau memenuhi kewajiban, namun harapan bagi Otoritas Pajak adalah, dalam perselisihan apa pun, kepercayaan dan kerja sama akan diutamakan.
  3. Jika WP terindikasi tidak akan patuh (don’t want to comply, but will if we pay attention), Otoritas Pajak segera mengirimkan efek kejut (deterrent effect) berupa “surat cinta” (deter by detection), yang berisi perhitungan potensi utang pajak. Sikap perlawanan mencirikan konfrontasi aktif. Sistem ini dipandang menindas, memberatkan, dan tidak fleksibel. Sikap ini merupakan ciri dari mereka, WP, yang tidak ingin mematuhi namun tidak akan mematuhinya jika mereka dapat diyakinkan bahwa kekhawatiran mereka telah ditangani.
  4. Jika WP dianggap sudah memutuskan untuk tidak patuh pajak (have decided not to comply), Otoritas Pajak segera melakukan penegakan hukum pajak (use the full force of law), berupa pemeriksaan atau bahkan penyidikan. Situasi di puncak piramida adalah sikap melepaskan diri. Hal ini mencirikan mereka, WP, yang telah memutuskan untuk tidak mematuhi pajak. Para WP dengan sikap ini sengaja menghindari tanggung jawab mereka atau memilih untuk tidak ikut serta. Sinisme terhadap sistem perpajakan biasanya diimbangi dengan sinisme terhadap peran pemerintah

Dalam hal ini, penting untuk disadari bahwa WP OP mampu mengadopsi salah satu dari sikap tersebut pada waktu yang berbeda dipengaruhi oleh faktor lainya. Tidak menutup kemungkinan juga WP dapat mengadopsi semua sikap yang dipengaruhi faktor eksternal. Sikap secara bersamaan berhubungan dengan isu-isu yang berbeda. Sikap yang berubah-ubah tidak hanya karakteristik milik seseorang atau kelompok, namun mencerminkan interaksi antar orang tersebut atau kelompok dan pihak-pihak yang memaksakan tuntutan kepada mereka.

Dengan ToM, WP OP harus memahami bagaimana jalan pikiran (mind) Otoritas Pajak ketika mereka melakukan pengawasan kepatuhan pajak, baik formal maupun material), khususnya kepatuhan material, melalui pendekatan “data matching”.  Berdasarkan ToM di atas, WP OP juga harus melakukan data matching sesuai teknik dan pendekatan yang ditetapkan DJP.  Hal ini perlu dilakukan untuk memitigasi potensi hutang pajak WP OP sebelum dilakukan pengawasan dan pemeriksaan. Langkah selanjutnya, WP OP dapat mengecek kembali transaksi yang menjadi basis PPh berdasarkan ilmu hukum (legal) dan ilmu akuntansi.

Urgensi Pengaturan Kembali Pajak Natura dan Kenikmatan

Pandemi Corona Virus Desease 2019 (“COVID-19”) telah terbukti meningkatkan risiko ketidakpastian pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Selain bidang kesehatan, dunia bisnis juga mengalami kegagapan dalam menghadapi virus mematikan tersebut. Semua lini masyarakat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang disebabkan oleh virus yang membuat kita harus menjaga jarak antarmanusia.

Bisnis harus agile dan beradaptasi, begitupun pemerintah dan regulasinya, termasuk regulasi perpajakan. Hal tersebut membuktikan bahwa regulasi perpajakan yang diatur sedemikian rupa sangat penting untuk memenuhi fungsi perpajakan dan menghadapi ketidakpastian. Menurut Adiyanta (2020), dipadukan dengan dinamika global saat ini, reformasi kebijakan perpajakan yang berkelanjutan diperlukan untuk menyederhanakan sistem perpajakan dan menciptakan keseimbangan antara pemerintah, masyarakat, dan ekonomi.

Ketidakpastian ini pada akhirnya menyebabkan pemerintah Indonesia melaksanakan reformasi kebijakan perpajakan yang mendasar dengan disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP dibentuk untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian berkelanjutan, mendukung percepatan pemulihan perekonomian, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) secara sukarela.

Penerbitan UU HPP menandakan era baru reformasi perpajakan dengan salah satu poin yang tercantum adalah pengaturan kembali perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan di Indonesia. Pada UU HPP, penggantian atau imbalan sehubungan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari WP atau pemerintah kini dikategorikan menjadi objek pajak penghasilan.

Pengaturan kembali tentang penggantian atau imbalan natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai akan mempengaruhi paradigma sebagian kalangan, tidak hanya fiskus pajak, tetapi juga WP. Pada ketentuan sebelum diberlakukan UU HPP, natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai dianggap sebagai non taxable income sehingga pengeluaran yang dilakukan oleh pemberi kerja atas natura dan/atau kenikmatan tersebut digolongkan sebagai non deductible expense.

Di sisi lain, terdapat beberapa pengecualian seperti natura yang dapat dikenakan pajak bila pemberi kerja merupakan WP dengan tarif PPh final n pemberian natura dalam bentuk sesuai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 167/PMK.03/2018. Pengecualian tersebut memicu upaya-upaya tax planning yang tentunya merugikan negara dari segi penerimaan pajak (Dewanto & Wijaya, 2018). Selain itu, biaya upah dalam bentuk natura yang dilakukan pemberi kerja, secara substansial merupakan biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan (Richter, 2006). Dengan demikian, biaya atas natura dan/atau kenikmatan seharusnya dapat digolongkan sebagai deductible sesuai dengan yang tertera pada Pasal 6 ayat 1 UU PPh.

Pengaturan kembali objek natura sebagai objek PPh dilatarbelakangi oleh kecenderungan perilaku perusahaan sebagai pemberi kerja (corporate opportunistic behavior) yang menggunakan kesempatan celah pajak (tax loophole) di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 (“UU PPh sebelum direvisi menjadi UU HPP”). Adapun perilaku oportunistik ini disebabkan oleh perbedaan tarif PPh Pasal 21 dan tarif PPh Badan sehingga menimbulkan perilaku creative tax compliance yaitu penghindaran pajak secara legal (tax avoidance).

Penghindaran Pajak/Tax Avoidance pada Kenikmatan

Sebelum berlakunya UU HPP, natura dan/atau kenikmatan merupakan salah satu instrumen tax avoidance bagi WP. Praktik penghindaran pajak melalui skema pemberian natura dan/atau kenikmatan bagi pegawai terletak pada perbedaan tarif PPh yang dikenakan pada individu orang pribadi dan badan. Pada prinsip pemajakan atas pemberian natura dan/atau kenikmatan adalah beban pajak ditanggung oleh penerima natura dan/atau kenikmatan. Prinsip tersebut kemudian dimanfaatkan oleh WP yang memiliki persyaratan objektif untuk melakukan efisiensi pajak. Dengan adanya celah ini, tentunya potensi penerimaan pajak yang dapat terealisasi akan terkikis. Perlakuan efisiensi pajak melalui pemberian natura dan/atau kenikmatan yang berlaku pada UU PPh sebelum direvisi UU HPP terbagi menjadi dua alternatif.

Alternatif pertama berlaku bagi pegawai yang memiliki penghasilan dari pemberi kerja dikenakan tarif PPh progresif paling tinggi sebesar 15%. Imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berpotensi lebih menguntungkan bagi perusahaan daripada imbalan dalam bentuk tunai. Keuntungan bagi perusahaan didapatkan melalui penghasilan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek PPh bagi pegawai (taxable) yang dikenakan tarif yang lebih rendah dari pada tarif PPh badan sebesar 22%.  Sementara itu, perusahaan dapat mengakui pemberian natura dan/atau kenikmatan sebagai biaya yang dapat mengurangi  penghasilan bruto (deductability). Dengan demikian, skema taxable-deductability mengakibatkan berkurangnya PPh Badan yang seharusnya dibayarkan oleh perusahaan (potential tax loss) karena selisih tarif PPh badan dengan tarif PPh orang pribadi.

Alternatif kedua berlaku bagi pegawai yang memiliki penghasilan dari perusahaan yang menggunakan tarif progresif lebih dari 15% (tarif PPh orang pribadi progresif 15%-30%). Opsi ini memberlakukan skema pemberian natura dan/atau kenikmatan bukan merupakan objek pajak (non-taxability) bagi pegawai dan tidak dapat dibiayakan (non-deductibility) bagi perusahaan. Pada umumnya, perusahaan memberlakukan alternatif kedua bagi pegawai yang memiliki jabatan tinggi (top level management) dengan pemberian tunjangan rumah, kendaraan, dan tunjangan lainnya. Skema pemberian natura dan/atau kenikmatan melalui opsi kedua ini cenderung membebankan tunjangan yang diterima oleh pegawai dengan jabatan tinggi kepada perusahaan untuk kepentingan pribadi mereka.

Perencanaan pajak melalui alternatif kedua memiliki dampak pada berkurangnya nilai PPh 21 yang harus dibayar oleh para karyawan top level dan mengalihkan beban pajak pada perusahaan. Berkurangnya nilai pajak yang harus dibayar oleh para karyawan top level tentunya akan berimplikasi pada keberhasilan fungsi redistribusi pajak.

Sejak berlakunya UU HPP dengan mencantumkan pengaturan kembali PPh atas natura dan/atau kenikmatan mengubah regulasi sebelumnya dengan harapan menutup celah tax avoidance. UU HPP beserta aturan turunannya menetapkan bahwa pemberi kerja hanya memiliki satu opsi untuk memberlakukan natura dan/atau kenikmatan agar diklasifikasikan sebagai deductible bagi pemberi kerja dan taxable bagi penerima. Perubahan regulasi ini mendorong pemberi kerja untuk mengurangi nilai gaji dan meningkatkan jumlah natura dan/atau kenikmatan yang diberikan pemberi kerja kepada pegawai.

Pemberian natura dan/atau kenikmatan yang seharusnya dikategorikan sebagai nondeductible expense diubah menjadi jenis akun lain yang dikategorikan sebagai deductible expense, misalnya gaji. Hal ini juga didukung dengan sulitnya melakukan tracing sehingga akan sangat rumit untuk bisa membuktikan apakah biaya yang telah dikeluarkan ditujukan untuk pemberian natura dan/atau kenikmatan. Beragam praktik tax avoidance tersebut akhirnya memunculkan urgensi untuk menciptakan suatu regulasi yang dapat memitigasi risiko-risiko tersebut ke depannya.

Maka dari itu, UU HPP hadir sebagai angin segar khususnya terkait permasalahan tax avoidance pada aspek perpajakan natura dan/atau kenikmatan. Dengan menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible, celah tax avoidance diharapkan dapat dicegah dan upaya pemerataan serta keadilan dapat tercapai. Hal ini akan berdampak pada rendahnya proporsi biaya yang dapat dibebankan secara fiskal bagi perusahaan sehingga pajak atas penghasilan badan yang dikenakan akan bertambah dan di sisi lain nilai pajak penghasilan orang pribadi penerima natura dan/atau kenikmatan akan jauh lebih kecil.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, regulasi sebelum UU HPP berkaitan dengan aspek perpajakan natura dan/atau kenikmatan telah menimbulkan distorsi pada perekonomian dengan meletakkan beban pajak pada badan/perusahaan. Maka dari itu, regulasi dalam UU HPP yang menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible menjadi titik awal optimalisasi perpajakan khususnya dari segi PPh orang pribadi.

Pemajakan yang dilakukan terhadap natura dan/atau kenikmatan akan mengeruk potensi penerimaan perpajakan yang cukup besar dari karyawan top level dan tidak akan memberatkan karyawan low level. Selain itu, regulasi dalam UU HPP juga berusaha untuk lebih berfokus pada aspek taxable income daripada deductibility pada natura dan/atau kenikmatan sehingga beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan lebih rendah dan diharapkan dapat mengurangi distorsi pada perekonomian.

Pada sisi pengawasan, pengaturan kembali PPh atas natura dan/atau kenikmatan dimasukkan dalam objek pemotongan PPh Pasal 21 diharapkan dapat mempermudah pengawasan dan kepatuhan WP dan perusahaan. Dasar pertimbangannya adalah bahwa mengawasi pelaporan SPT PPh 21 oleh pemberi kerja akan jauh lebih efektif dari pekerjaan mengawasi pelaporan SPT PPh orang pribadi pegawai dari pemberi kerja tersebut. Secara sederhana, bahwa mengawasi laporan pajak satu pemberi kerja yang mempekerjakan 1.000 pegawai akan lebih efektif dan efisien dari mengawasi 1.000 laporan pajak pegawainya.

Bagaimana Cara Memajaki Turis Asing Sebagai Pekerja Nomaden

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kini memudahkan kegiatan manusia termasuk dalam mencari penghasilan. Seiring perkembangan teknologi digital, setiap orang dapat melakukan pekerjaan secara daring menggunakan gadget tanpa perlu keluar rumah, atau tempat lainya yang kondusif. Tren bekerja dirumah atau tempat lainya sering disebut dengan Work From Anywhere (WFA) sangat diminati oleh banyak orang karena memberikan kebebasan orang untuk dapat bekerja dimana saja. Pemberi kerja pun hanya berorientasi pada hasil pekerjaan, sehingga tidak mempedulikan dimana tempat karyawan nya bekerja.

Fenomena WFA ini memberikan peluang bagi pengembara digital (Digital Nomad). Pengembara digital adalah seseorang yang menggunakan teknologi digital nirkabel untuk bekerja dari lokasi yang mereka pilih. Digital nomad bisa mendapatkan penghasilan dari pekerjaan bebas (independent services) dari mana saja dan bahkan saat bepergian ke lokasi tertentu yang mereka sukai.

Sehubungan dengan trending WFA, pengembara digital dapat bekerja di mana pun mereka mau menggunakan teknologi informasi nirkabel. Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, sekarang ada banyak pasar tenaga kerja yang menyediakan proyek dan posisi bagi mereka yang memenuhi syarat dan tertarik pada subjek tertentu. Mitra atau entitas yang menyediakan tenaga kerja atau proyek akan membayar individu yang berhasil menyelesaikannya (Cook, D. ,2022).

Pada awal tahun 2021, seorang Digital nomad asal Amerika Serikat, Kristen Gray, mempromosikan Bali sebagai salah satu tempat ternyaman bagi rekan-rekan Digital Nomad untuk bersinggah sekaligus bekerja disana. Kristen mengklaim dalam sebuah tweet bahwa Indonesia, khususnya Bali, memiliki lingkungan yang indah, tenteram, dan ramah. Dibandingkan dengan kebanyakan negara maju di dunia, biaya hidup di Indonesia juga relatif murah.

Namun perhatian tidak tertuju pada Digital Nomad asal Amerika Serikat, melainkan pada penyalahgunaan visa (visa violation) yang dilakukan oleh pengembara digital bahwa mereka menggunakan visa wisatawan asing untuk bekerja di Indonesia. Jika diilustrasikan, seorang web designer sedang liburan bersama keluarga dan menginap selama 14 hari di Bali, tetapi dia juga sambil menyelesaikan pekerjaan dari klien yang berasal dari pemilik toko baju di Singapura. Kemudian timbul pertanyaan, penghasilan yang diterima oleh seorang web designer tersebut dikenakan pajak di Indonesia atau Singapura?

Awal April 2023, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyarankan agar pengunjung asing dipungut pajak untuk menaikkan kaliber pengunjung. Proposal tersebut muncul saat publik fokus pada berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh wisatawan internasional.

Menko Kemaritiman menyampaikan bahwa negara-negara yang melaksanakan pariwisata berkualitas mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih baik dari pengeluaran yang lebih tinggi oleh pengunjung asing terkait dengan studi Travel & Tourism Development Index 2021. Meskipun saat ini tidak ada informasi kebijakan yang komprehensif tentang “pajak turis asing”, sejumlah perubahan terbaru dalam industri pariwisata sebenarnya sangat terkait dengan masalah perpajakan.

Menurut survei yang sama, industri pariwisata sedang mengalami perubahan signifikan karena faktor-faktor seperti tren Digital Nomad, menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), adalah cara hidup yang memanfaatkan kemajuan teknis untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada tempat tinggal seseorang untuk beberapa aktivitas, terutama untuk bekerja.

Selain itu, Digital Nomad ini berdalih karena tidak pernah mendapatkan uang rupiah, maka dirinya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Belakangan, kejadian ini memicu perdebatan komunal. Kewajaran pemungutan pajak penghasilan (PPh) pada perantau digital ditentang oleh banyak kalangan. Ingat bahwa menurut The Four Maxim Taxation karya Adam Smith, pengumpulan pajak harus mengikuti gagasan ekuitas, yang mengharuskan dilakukan secara adil dan tanpa bias.

Ketentuan Perpajakan Terhadap Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 s.t.d.t.d Peraturan Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 (“UU PPh”), penghasilan yang diperoleh seseorang yang berdomisili di Indonesia dapat dikenakan pajak penghasilan (PPh) di Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif Subjek Pajak Dalam Negeri (“SPDN”). Kondisi subyektif adalah orang atau badan usaha yang memenuhi syarat berdasarkan definisi hukum subjek pajak.Kemudian, kriteria obyektif adalah kriteria yang diperlukan subjek pajak untuk memperoleh atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak yang sah.

Status subyek pajak bagi pengembara digital dapat diklasifikasikan sebagai SPDN dan SPLN tergantung pada pemenuhan persyaratan subyektif dan obyektif. Selanjutnya, apakah kriteria subjektif dan objektif ini berlaku untuk digital nomad?

Pengembara digital dapat diklasifikasi sebagai SPDN jika telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif SPDN sesuai peraturan domestic Indonesia. Merujuk pada Pasal 2 ayat (3) UU PPh, syarat subjektif seorang SPDN adalah orang pribadi baik warga negara Indonesia (“WNI”) maupun warga negara asing (“WNA”) dapat dianggap sebagai subjek dalam negeri apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
(1) bertempat tinggal di Indonesia;
(2) berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau
(3) berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia sepanjang tahun pajak.

Namun, digital nomad dapat diklasifikasikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (“SPLN”) jika memenuhi persyaratan subjektif sesuai Pasal 2 ayat (4) UU PPh sebagai berikut :
(1) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
(2) warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
(3) Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta memenuhi persyaratan:
a) tempat tinggal;
b) pusat kegiatan utama;
c) tempat menjalankan kebiasaan;
d) status subjek pajak; dan/atau
e) persyaratan tertentu lainnya.

Adapun syarat objektif seseorang dapat menjadi SPDN dan SPLN adalah mendapatkan penghasilan yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh sebagai berikut:
(1) setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak;
(2) baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia;
(3) yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Pertanyaan lebih lanjut, apakah para digital nomad yang sedang berliburan di Bali atau daerah lainya di Indonesia berwisata sambil bekerja freelance termasuk SPLN atau SPDN?

Seorang Digital Nomad memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai SPDN atau SPLN, maka Digital Nomad perlu mengikuti ketentuan perpajakan atas penghasilan yang diperoleh sesuai dengan ketentuan UU PPh sebagai ketentuan domestik Indonesia.

Namun ketika Digital Nomad diklasifikasikan sebagai SPLN, mereka dapat memilih mengikuti prosedur pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh melalui ketentuan domestik atau memanfaatkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (“P3B”). Merujuk pada Pasal 2 PER-25/2018, Wajib Pajak Luar Negeri (“WPLN”) yang menerima penghasilan dari Indonesia dapat memanfaatkan P3B sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku.

Sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generali, kita harus memperhatikan ketentuan P3B ketika mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak dengan melintasi batas negara atau yurisdiksi perpajakan (international tax issues). Jika seorang Digital Nomad memanfaatkan fasilitas P3B Indonesia dengan negara mitra, maka kewajiban seorang Digital Nomad mengikuti ketentuan perpajakan domestik telah gugur.

Ketentuan perjanjian pajak antara Indonesia dan Amerika Serikat digunakan di sini sebagai contoh. Apabila seseorang berdomisili di negara yang bersangkutan, maka dapat ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri berdasarkan P3B dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
(1) memiliki tempat tinggal tetap;
(2) tempat melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk urusan pribadi dan profesional (kegiatan sehari-hari); dan
(3) tempat menjalankan kebiasaan/hobi (place of habitual residence)

Sepanjang orang pribadi tersebut bertempat tinggal dan/atau bertempat tinggal di Indonesia, ketentuan P3B Indonesia-Amerika Serikat dapat digunakan untuk mengklasifikasikan orang pribadi tersebut sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia.

Apa dan Bagaimana Implementasi Tarif Efektif Rata-Rata

Pajak penghasilan merupakan salah satu jenis pajak yang berkontribusi positif bagi penerimaan negara. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya mengoptimalkannya dengan memudahkan Wajib Pajak dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menerbitkan peraturan terbaru terkait dengan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi melalui Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2023 (PP-58/2023) beserta peraturan teknis Peraturan Menteri Keuangan No. 168 Tahun 2023. (PMK-168/2023). Kedua beleid tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2024.

Ketentuan PP-58/2023 dan PMK-168/2023 memberikan pengaturan baru tentang Tarif Efektif Rata-Rata (TER) PPh Pasal 21. Kehadiran regulasi ini dilatarbelakangi oleh kompleksitas perhitungan PPh Pasal 21 pada ketentuan sebelum berlakunya PP-58/2023 dan PMK-168/2023 (“Ketentuan Lama”). Sehubungan dengan mekanisme dalam menghitung dan memotong PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh pemberi kerja melalui withholding tax system, pemberi kerja merasa keberatan dalam melakukan perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21. Hal ini disebabkan oleh adanya variasi perhitungan pajak penghasilan yang beragam sesuai dengan kondisi pegawai.

Gambar 1: Ilustrasi Kompleksitas Skenario Perhitungan PPh Pasal 21 Pada Regulasi Lama*

Sumber: Buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 (2024)

*Ketentuan sebelum berlakunya PP-58/2023 dan PMK-168/2023

Penerapan TER mampu menekan kompleksitas pengaturan PPh Pasal 21 pada ketentuan-ketentuan lama/sebelumnya. Fenomena yang kerap terjadi, pemotong pajak memiliki kekhawatiran akan terjadinya kesalahan perhitungan PPh Pasal 21 yang disebabkan oleh variasi kondisi pegawai dan bukan pegawai yang menerima penghasilan. Sebagaimana pada Gambar 1 di atas, terdapat kompleksitas skenario perhitungan PPh sesuai dengan status kepegawaian (pegawai tetap, pegawai tidak tetap), bukan pegawai dan penerima pensiunan. Tidak hanya itu, pemberi kerja perlu mengategorikan pemberian upah yang diterima oleh Wajib Pajak.

Tidak hanya itu, pemberi kerja juga memiliki beban kepatuhan (cost of compliance) agar melakukan perhitungan PPh Pasal 21 dengan benar sehingga meminimalisasi timbulnya sanksi administratif yang harus ditanggung pemotong jika terdapat kesalahan. Oleh karena itu, tidak sedikit pemberi kerja sebagai pemotong pajak memilih untuk mengembangkan sistem payroll yang kompleks atau berkonsultasi dengan tim ahli agar meminimalisasi terjadinya kesalahan.

Sesuai dengan spirit penerbitan PP-58/2023 dan PMK-168/2023, TER PPh Pasal 21 dirancang untuk memberikan kemudahan bagi pemberi kerja dalam melakukan perhitungan PPh Pasal 21 di setiap masa pajak. Tarif efektif ini sudah memperhitungkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi setiap jenis status PTKP. Skema ini diharapkan akan memudahkan penghitungan karena Wajib Pajak cukup mengalikan tarif efektif tersebut dengan penghasilan bruto setiap masa pajaknya.

Oleh karena itu, Pemerintah berharap dengan adanya kemudahan dalam perhitungan PPh dapat mendorong kepatuhan pemberi kerja sebagai pemotong PPh 21 dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Tidak hanya pemberi kerja yang merasakan keuntungan dari penerapan TER, pelaksanaan ketentuan tersebut akan memberikan jalan bagi pemerintah dalam membangun sistem administrasi perpajakan dalam melakukan validasi atas perhitungan pemotong PPh 21. Otoritas pajak menilai dengan adanya TER, pemberi kerja dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dengan cara yang lebih sederhana. Dengan demikian, simplifikasi perhitungan PPh Pasal 21 dapat menekan biaya kepatuhan (cost of compliance)

Perbedaan mendasar pada pelaksanaan TER dengan ketentuan lama adalah penggunaan kategori tarif efektif bulanan dan harian berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) penerima penghasilan. Kategori tarif efektif bulanan dan harian dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2: Tarif Efektif Bulanan (Pegawai Tetap)

Kategori Status PTKP
A ·       Tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0)

·       Tidak kawin dengan 1 tanggungan (TK/1)

·       Kawin tanpa tanggungan (K/0)

B ·       Tidak kawin dengan 2 tanggungan (TK/2)

·       Tidak kawin dengan 3 tanggungan (TK/3)

·       Kawin dengan 1 tanggungan (K/1)

·       Kawin dengan 2 tanggungan (K/2)

C Kawin dengan 3 tanggungan (K/3)

Tabel 3: Tarif Efektif Harian (Pegawai Tidak Tetap)

Penghasilan Bruto Harian Tarif
Sampai dengan Rp 450 ribu 0%
Diatas Rp 450 ribu s.d Rp 2,5 juta 0,5%

Potensi Lebih Bayar PPh Sebagai Implementasi TER

Wajib Pajak yang menemukan bahwa nilai PPh Pasal 21 yang telah dipotong dengan TER pada masa pajak selain masa pajak terakhir lebih besar dari pada PPh Pasal 21 terutang selama 1 tahun pajak/bagian tahun pajak.

Berdasarkan ilustrasi perhitungan TER PPh Pasal 21 pada buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26, terdapat beberapa kriteria Wajib Pajak yang memiliki potensi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21, di antaranya:

  1. Wajib Pajak pegawai yang berhenti bekerja sebelum masa pajak Desember;
  2. Wajib Pajak pegawai yang mulai bekerja sebelum masa pajak Desember; dan
  3. Wajib Pajak pegawai yang menerima bonus/tunjangan.

Wajib Pajak yang mendapati kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja memiliki 2 pilihan, yaitu mengajukan permohonan restitusi atas kelebihan pembayaran PPh atau mengajukan kompensasi atas kelebihan pembayaran PPh pada masa pajak selanjutnya.

Pertama, jika Wajib Pajak memilih untuk mengajukan restitusi atas lebih bayar, beleid PMK-168/2023 telah mengatur mengenai restitusi kelebihan pemotongan PPh. Sesuai dengan pasal 21 ayat (1) PMK-168/2023, jika terdapat kelebihan pembayaran PPh Pasal 21, maka pemotong pajak wajib mengembalikan dana yang dipotong dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21 paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak terakhir. Kedua, Wajib Pajak dapat memilih untuk melakukan kompensasi kelebihan pembayaran PPh pada masa pajak selanjutnya melalui SPT masa, tanpa harus berurutan.

Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 21 PMK-168/2023 Wajib Pajak yang mendapati kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dapat memilih untuk mengajukan restitusi atau kompensasi tanpa khawatir akan dilakukan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak. Hal ini karena pengembalian restitusi dapat dilakukan oleh pemberi kerja.

Pada dasarnya, ketentuan TER dibuat sedemikian rupa dengan tujuan memberikan kemudahan bagi pemberi kerja dalam menghitung PPh Pasal 21 pegawai dan bukan pegawai. Akan tetapi, seperti kata pepatah ‘tak ada gading yang tak retak’, ketentuan ini belum tentu dinilai sempurna sehingga dapat menimbulkan kontra pada tahap pelaksanaanya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) pun telah berupaya mengakomodasi pelaksanaan TER dalam perhitungan PPh Pasal 21. Salah satu upaya tersebut misalnya dengan menyediakan Kalkulator Pajak melalui situs https://kalkulator.pajak.go.id/. Dengan demikian, Wajib Pajak secara pribadi dapat melakukan perhitungan PPh 21 secara mandiri.

Kontribusi Penerimaan Pajak WP Besar Orang Pribadi

Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 76 Tahun 2023 menetapkan target penerimaan pajak tahun 2024 sebesar Rp 1.988,9 triliun. Angka tersebut meningkat 6,4% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2023 sebesar Rp 1.869,2 triliun. Salah satu sumber penerimaan pajak tersebut tentu tidak lepas dari kontribusi para Wajib Pajak (WP) Besar yang diawasi oleh Kantor Wilayah (Kanwil)/Large Tax Office (LTO).

Dilansir dari laman insight.kontan.co.id, Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut target penerimaan pajak dari WP Besar sesuai APBN Tahun 2024 sebesar Rp 607,8 triliun, atau setara dengan 30,5% sumber penerimaan pajak tahun 2023.

Dwi menambahkan sebagai upaya yang akan “dilakukan dalam rangka mengoptimalkan penerimaan dari Wajib Pajak Besar tidak lepas dari rencana strategis DJP secara umum. Kanwil LTO akan melakukan pengawasan kepada para WP Besar.

Bentuk pengawasan dilaksanakan menyesuaikan tingkat risiko ketidakpatuhan dengan menggunakan proses Compliance Risk Management (CRM). Adapun risiko ketidakpatuhan tersebut secara sederhana dibagi menjadi tiga kategori: tinggi, sedang, dan rendah. Seluruh WP Besar tersebut akan ditangani sesuai tingkat risiko masing-masing.

Secara teknis, Kanwil LTO memiliki empat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan cakupan yang berbeda-beda. Empat KPP tersebut terdiri dari KPP Wajib Pajak Besar Satu, KPP Wajib Pajak Besar Dua, KPP Wajib Pajak Besar Tiga, dan KPP Wajib Pajak Besar Empat.

Sebagai informasi, cakupan KPP Wajib Pajak Besar Satu meliputi WP di sektor pertambangan dan jasa penunjang pertambangan. Kedua, KPP Wajib Pajak Besar Dua meliputi wajib pajak sektor industri, perdagangan dan jasa. Ketiga, KPP Wajib Pajak Besar Tiga mencakup WP perusahaan negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor industri dan perdagangan. Keempat, KPP Wajib Pajak Besar Empat meliputi WP perusahaan negara/BUMN sektor jasa dan WP Besar Orang Pribadi (OP).

Chairul Tanjung dan Anthony Salim merupakan dua dari WP Besar OP. Adapun wajib pajak badan yang terdaftar di Kanwil LTO adalah PT Pertamina, PT Freeport Indonesia, PT Unilever Indonesia Tbk, dan perusahaan besar lainnya

Mengacu pada laman CNBC Indonesia (cnbcindonesia.com) dan DDTC (news.ddtc.co.id), per Juli 2022 DJP telah mencatat sebanyak 5.443 WP telah terdata sebagai WP Besar OP. Angka tersebut mengacu pada jumlah wajib pajak yang telah melapor SPT PPh dengan bracket 35%. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding data wajib pajak orang besar dari KPP Wajib Pajak Besar Empat saja yang berjumlah 1.119 pada 2022 lalu.

Secara pengertian, WP Besar OP atau secara umum dikenal  juga dengan istilah crazy rich adalah mereka yang memiliki pendapatan tahunan di atas Rp5 miliar. Sesuai Pasal 17 UU PPh, WP dengan pendapatan di atas Rp5 miliar mendapatkan perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan seluruh lapisan tarif pajak dari 5% s.d. 35%.

Sejak penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2021 tentang Penyesuaian Pengaturan Bidang PPh (PP-55/2021), Pemerintah telah menambahkan lapisan tarif PPh tertinggi yaitu 35%.

Latar belakang dari penerapan kebijakan tersebut untuk menjunjung asas keadilan. Mengutip dari laman Republika.com, Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, menyatakan penambahan tarif tertinggi bertujuan sebagai upaya memajaki orang kaya dan memberikan keadilan. “Itu kira-kira pajaknya bisa mencapai kurang lebih Rp1,75 miliar setahun! Besar ya. Adil bukan?,” tulis Sri Mulyani seperti dikutip dari akun Instagram resminya Kamis (5/1/2023).

Kontribusi Pajak Penghasilan High Net Worth Individu di Indonesia

Knight Frank Global merilis laporan berjudul “The Wealth Report” 2022 lalu, pertumbuhan potensi wajib pajak besar orang pribadi sejak 2021 hingga 2026 nanti diperkirakan mencapai 29% atau sebanyak 1.810 individu untuk kategori Ultra High Net Worth Individu (UHNWI). Serta 63% atau sebanyak 134.015 individu untuk kategori High Net Worth Individu (HNWI). Kategori UHNWI yang dimaksud adalah individu dengan total kekayaan di atas USD 30 juta, sedangkan kategori HNWI adalah individu dengan kekayaan di atas USD 1 juta.

Meskipun laporan dari Knight Frank Global menyatakan pertumbuhan potensi WP Besar meningkat, secara data pertumbuhan setoran pajak dari kelompok penerimaan pajak dari kelompok UHNWI hanya 0,00013 persen pada 2027.

Dengan demikian, patut kita amati kedepanya apakah kinerja pengawasan KPP Wajib Pajak Besar dapat memanfaatkan sepenuhnya potensi pertumbuhan Wajib Pajak Besar sehingga dapat berpengaruh pada penerimaan negara di masa yang akan datang. Pemerintah harus lebih gencar melakukan sosialisasi kepatuhan kewajiban perpajakan, terlebih lagi menjelang akhir pelaporan WP OP yang akan jatuh pada tanggal 31 Maret 2024 mendatang.

Haruskah Tarif Pajak Hiburan Melonjak?

Pesatnya aktivitas bisnis dan kegiatan ekonomi terutama di daerah metropolitan, membuat masyarakat meningkatkan kecenderungannya untuk mencari hiburan. Kebutuhan akan hiburan tergolong tersier sehingga hanya dapat dijangkau oleh masyarakat golongan atau kelas tertentu.

Sejak pertengahan Januari ini, pemberitaan terkait kenaikan tarif pajak hiburan santer diberitakan  banyak media nasional. Pajak hiburan sendiri diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU HKPD telah berlaku efektif sejak 1 Januari 2022. Pertanyaannya, mengapa protes terkait pajak hiburan baru ramai akhir-akhir ini?

UU HKPD mereformasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk sumber penerimaan daerah dari pajak dan retribusi. Sesuai Undang-undang HKPD Pasal 1 angka 49, Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/ atau keramaian untuk dinikmati.

Lebih lanjut, Pasal 50 huruf e UU HKPD mengatur bahwa Jasa Kesenian dan Hiburan termasuk Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Pajak hiburan dibayarkan oleh konsumen akhir atas suatu konsumsi hiburan dan pemungutanya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Pada Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU HKPD, tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Sementara itu, khusus jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif pajaknya ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Timbul pertanyaan, mengapa tarif pajak jasa hiburan tertentu tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan PBJT pada umumnya. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Christyana mengatakan bahwa alasanya adalah daya beli konsumen terhadap hiburan (diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa) hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas tertentu. Terlebih lagi, pemerintah bahkan perlu menekan konsumsi atas jasa tersebut.

Akan tetapi, aturan tersebut justru memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat, yang mempertanyakan landasan batas minimal 40% untuk PBJT hiburan tertentu yang dianggap muncul secara tiba-tiba. Dikutip dari CNBC Indonesia (16/1/2024), pakar pajak sekaligus Ketua IFTAA, Dr. Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa usulan tarif 40% untuk jasa hiburan sebenarnya telah dimasukkan dalam naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) HKPD, bukan diambil secara mendadak.

Penetapan tarif pajak hiburan di dalam UU HKPD ternyata telah mendapat dukungan dari sejumlah fraksi partai. Mereka yang mendukung kenaikan tarif PBJT menilai bahwa jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa hanya dinikmati oleh masyarakat kalangan atas. Dalam RUU HKPD, sebetulnya tarif tertinggi yang diusulkan pemerintah khusus PBJT untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa adalah 40%. Akan tetapi, pada UU HKPD akhirnya tarif jasa tersebut ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Lebih lanjut, Dr. Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa besaran tarif 40%-75% memang tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi daerah atau sektor usaha yang tercakup dalam batasan tarif tersebut. Menurut Prianto, rentang tarif tersebut dianggap tepat secara politik karena UU HKPD merupakan hasil kompromi politik antara pemerintah eksekutif dan pemerintah legislatif.

Meskipun demikian, beliau mengkritisi formulasi RUU HKPD yang minim akan keterlibatan pakar pajak dan pengusaha selaku pihak yang diatur. Sebagai konsekuensinya, saat UU HKPD yang berlaku mulai 1 Januari 2022 harus diturunkan ke Peraturan Daerah, timbul penentangan di masyarakat/pengusaha/stakeholder.

Sementara itu, UU HKPD menetapkan tarif PBJT paling tinggi 10% selain untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa. Tujuannya adalah memberikan dorongan bagi pengusaha sektor pariwisata. Hal ini berbeda dengan pajak hiburan tertentu tersebut yang dikenakan tarif tinggi dengan alasan untuk mengendalikan konsumsinya.

Dengan demikian, kebijakan tarif pajak hiburan atas jasa diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa yang dinilai sangat tinggi oleh sejumlah kalangan merupakan hasil dari kesepakatan bersama pembuat kebijakan, baik dari eksekutif maupun legislatif. Pemerintah tentunya menerapkan kebijakan tarif tersebut setelah melalui berbagai pertimbangan. Kebijakan tersebut di antaranya sebagai upaya pemerintah mengatur tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Rasio Pajak Indonesia dalam 20 Tahun Terakhir

Pada 16 Agustus lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah membacakan nota keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2024. Dari nota keuangan tersebut, dapat diperoleh beberapa informasi penting terkait perekonomian Indonesia ke depannya. Salah satunya adalah target rasio pajak 2024 yang ditetapkan sebesar 10,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) (Kementerian Keuangan, 2023).

Target sebesar ini naik sedikit dari outlook rasio pajak 2023 yaitu sebesar 10%, dan kurang lebih hampir sama dengan target rasio pajak 2022 sebesar 10,39%. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, rasio pajak Indonesia mulai mengalami tren membaik meskipun masih cenderung stagnan.

Menurut Prasetyo, A (2016), tax ratio atau rasio pajak adalah angka perbandingan antara penerimaan pajak yang dihimpun oleh suatu negara terhadap PDB. Sementara itu, PDB adalah akumulasi nilai tambah atau penghasilan seluruh penduduk di suatu negara. Angka rasio pajak digunakan untuk mengukur optimalisasi kapasitas administrasi perpajakan di suatu negara dalam rangka menghimpun penerimaan pajaknya. Oleh karena itu, rasio pajak dapat menjadi salah satu indikator kemampuan negara untuk mengumpulkan pajak.

Pada pengukuran nilai rasio pajak, Indonesia memasukkan unsur penerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan penerimaan dari Sumber Daya Alam Minyak dan Gas (SDA Migas) sesuai dengan rekomendasi International and Monetary Fund (IMF) dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Akan tetapi, Indonesia tidak sepenuhnya mengadopsi anjuran IMF dan OECD karena tidak memasukkan penerimaan pajak daerah di dalam komponen penghitungan rasio pajak.

Tren Rasio Pajak di Indonesia

Rasio pajak merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak sehingga ukuran rasio pajak dapat menunjukkan kemampuan pemerintah dalam membiayai keperluan negaranya. Akan tetapi, selama 20 tahun terakhir rasio pajak Indonesia cenderung mengalami tren penurunan (lihat Gambar 1).

Data Kementerian Keuangan Indonesia menunjukkan realisasi rasio pajak pada tahun 2022 sebesar 10,41% dari PDB. Angka ini berhasil melewati target rasio pajak tahun 2022 sebesar 10,39%. Akan tetapi, berdasarkan data Badan Keuangan Fiskal 2023, rasio pajak 2023 diproyeksikan hanya sebesar 9,61%. Jika hal itu terjadi, rasio pajak 2023 akan menjadi angka terendah dalam 20 tahun terakhir (pengecualian pada tahun 2020 dan 2021). Penurunan rasio pajak 2020 dan 2021 diabaikan dalam pembahasan ini karena kondisi khusus tersebut muncul sebagai akibat dari Pandemi Covid-19.

Pengamat perpajakan Prianto Budi Saptono menilai angka rasio pajak Indonesia seharusnya berada di kisaran 15% (CNBC, 2023). Menurutnya, tidak tercapainya target rasio pajak disebabkan oleh faktor ketidakmampuan pemerintah dalam menghimpun dana pajak yang setara dengan peningkatan kondisi ekonomi.

Namun demikian, menurut Fuad Rahmani (2012) dikutip dari publikasi Kementerian Keuangan, rendahnya  rasio pajak Indonesia disebabkan beberapa faktor, yaitu perbedaan perhitungan rasio pajak Indonesia dengan negara berkembang lain, rendahnya daya cakupan pajak, dan perbedaan tarif dan dasar pengenaan pajak.

Menurut beberapa hasil studi, faktor yang dianggap mempengaruhi tinggi atau rendahnya rasio pajak suatu negara adalah tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, dan tingkat optimalisasi good governance (Prasetyo, 2016). Menurutnya, selain faktor-faktor makro tersebut, faktor yang paling berpengaruh terhadap rasio pajak salah satunya adalah tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP).

Menurut laporan OECD (Gambar 2), jika dibandingkan dengan negara ASEAN (Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Filipina, dan Vietnam), rasio pajak Indonesia pada 2021 berada di peringkat ke-2 terakhir. Artinya, rasio pajak Indonesia masih cukup memprihatinkan dibandingkan dengan negara ASEAN, mengingat Indonesia merupakan negara dengan PDB tertinggi di ASEAN pada tahun 2021 dengan nilai Rp16.970,8 triliun (BPS, 2022). Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu menerapkan strategi untuk menaikkan rasio pajak agar pajak sebagai instrumen fiskal dapat berperan besar dan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia.

Target Rasio Pajak Indonesia 2023

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak, namun demikian tercapainya target rasio pajak bukan merupakan sasaran khusus pemerintah Indonesia (CNBC, 2023). Penerimaan pajak pada 2023 menjadi tantangan berat karena penerimaan pajak harus terus tumbuh untuk mempertahankan rasio pajak sebelumnya.

Lebih lanjut, menurut Yon Arsal (CNBC, 2023), yang akan menjadi tantangan penerimaan pajak di 2023 antara lain adalah perlambatan ekonomi, moderasi harga komoditas, basis perpajakan yang belum optimal, tingkat kepatuhan yang perlu terus dioptimalkan, dan perubahan aktivitas perekonomian pada masa pemulihan ekonomi pascapandemi.

Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa rasio pajak perlu ditingkatkan agar pendapatan pajak meningkat (CNBC,2023). Selain itu, pemerintah lebih leluasa dalam menentukan alokasi anggaran dan tidak mengandalkan utang. Menurutnya, pemerintah pada dasarnya berupaya menaikkan rasio pajak, terutama dari WP orang pribadi dengan pemberlakuan UU HPP yang mengatur tentang perluasan basis WP, terutama PPh 21 karyawan.

Pada faktanya, realisasi pendapatan negara dari penerimaan pajak sebesar Rp 1.547,8 triliun pada tahun 2021 dan sebesar Rp 1.716,8 triliun pada tahun 2022. Sementara itu, per 31 September 2023 penerimaan pajak mencapai 1.387,78 triliun dengan realisasi target mencapai 80,78%. Dengan demikian, di tahun 2023 Indonesia layak optimis dengan performa penerimaan pajak sehingga diharapkan target rasio pajak tercapai.

Dikutip dari situs web Kementerian Keuangan, Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam pidato di Kementerian Keuangan pada 12 Juli 2023 pun optimis target pajak tahun 2023 akan kembali tercapai. Jika hal itu terjadi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berpeluang menorehkan kinerja penerimaan yang optimal melampaui target APBN. Menkeu juga mengapresiasi capaian rasio pajak tertinggi dalam 7 tahun terakhir. Sri Mulyani menekankan bahwa pekerjaan rumah DJP semakin banyak dan tantangan semakin sulit mengingat kondisi global saat ini yang kurang kondusif.

Demi mewujudkan target rasio pajak, perlu dimulai dari sinergi antara pihak-pihak terkait, terutama kerja sama yang baik antara fiskus dan WP. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi saat ini adalah masih rendahnya tingkat kesadaran pajak (tax awareness) di masyarakat. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak.

Dengan demikian, apabila kesadaran pajak masyarakat meningkat, kepatuhan pajak pun diperkirakan akan mengalami peningkatan. Dalam hal ini, apabila fiskus dan WP dapat bersikap kooperatif dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, kepatuhan pajak diperkirakan akan terus meningkat. Bagaimana cara pemerintah mengatasi masalah ini, menjadi salah satu kunci mengoptimalkan rasio pajak Indonesia.