Category: Artikel Populer

“Pemerintah Alokasikan Rp445,5 Triliun untuk Belanja Perpajakan 2025: Strategi dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2023– Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana sebesar Rp445,5 triliun untuk belanja perpajakan. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 11,4% dibandingkan alokasi tahun sebelumnya. Fokus utama alokasi ini ditujukan pada sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), industri manufaktur, serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif memberikan pandangan mendalam mengenai strategi dan tantangan dari kebijakan ini.

Belanja Perpajakan sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal

Prianto menjelaskan bahwa belanja perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran di pos APBN. “Instrumen ini sering disebut sebagai indirect government spending policy,” ujarnya. Salah satu bentuk konkretnya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP).

“Dengan kebijakan DTP, pemerintah tetap mengenakan pajak atas suatu sektor tertentu. Namun, dana untuk membayar pajak tidak ditanggung oleh konsumen, melainkan oleh pemerintah,” Prianto menjelaskan. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mempertahankan daya beli mereka melalui “bantuan pemerintah” secara tidak langsung.

Strategi di Tengah Tantangan Ekonomi

Menanggapi kekhawatiran tentang penurunan jumlah kelas menengah dan pelemahan daya beli masyarakat, Prianto menegaskan bahwa rencana alokasi belanja perpajakan 2025 telah melalui proses pertimbangan yang matang.

“Setiap perencanaan anggaran pasti memiliki ketidakpastian di masa mendatang dan biasanya dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis,” jelasnya. “Secara umum, pilihan moderat seringkali menjadi opsi yang dipilih karena dianggap paling realistis.”

Fokus pada Sektor Manufaktur

Meskipun kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan tren penurunan, pemerintah tetap memilih untuk meningkatkan belanja perpajakan di sektor ini. Prianto menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut:

“Pemilihan sektor manufaktur didasarkan pada potensi multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian. Sektor ini dianggap memiliki dampak ganda karena sebagian besar industrinya padat karya dan padat modal,” tuturnya.

 

Implementasi dan Contoh Konkret

Prianto memberikan beberapa contoh implementasi belanja perpajakan:

  1. PPN DTP untuk percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
  2. PPN DTP di sektor perumahan.

“Melalui kebijakan ini, masyarakat yang terbantu dengan pajak DTP akan memiliki dana lebih untuk belanja barang dan jasa, sehingga diharapkan daya beli masyarakat akan terjaga,” Prianto menjelaskan.

Evaluasi dan Penyesuaian Kebijakan

Prianto menekankan bahwa efektivitas kebijakan ini baru dapat dinilai setelah diimplementasikan. “Suatu perencanaan apapun tidak akan pernah salah atau benar karena belum diimplementasikan,” ujarnya. “Yang penting adalah terus melakukan evaluasi dan penyesuaian kebijakan berdasarkan perkembangan ekonomi yang terjadi.”

Ia juga menambahkan bahwa dalam kebijakan fiskal, seringkali tidak ada posisi ideal (optimum) karena selalu ada pihak yang pro dan kontra ketika proses tersebut berada di posisi perumusan kebijakan fiskal dari sisi anggaran tax expenditure.

Kesimpulan

Dengan strategi belanja perpajakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis, dan mempertahankan daya beli masyarakat di tengah tantangan ekonomi global yang dinamis. Namun, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada implementasi yang tepat dan kemampuan pemerintah untuk melakukan penyesuaian berdasarkan kondisi ekonomi yang berkembang.

“Pemerintah Targetkan Penerimaan Pajak 2025 Rp2.183,9 Trilitun: Antara Optimisme dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2024- Pemerintah Indonesia telah menetapkan target penerimaan pajak yang ambisius untuk tahun anggaran 2025, yaitu sebesar Rp2.183,9 triliun. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya yang belum menembus angka Rp2.000 triliun.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangannya mengenai target tersebut. “Setiap perencanaan anggaran yang memiliki ketidakpastian di masa mendatang dapat dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis. Secara umum, pilihan moderat atau konservatif menjadi opsi yang paling rasional,” jelasnya.

Prianto menilai bahwa target penerimaan pajak sebesar Rp2.183,9 triliun dapat dianggap sebagai pilihan yang moderat dan realistis. Namun, untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu menerapkan strategi yang tepat.

Strategi Pencapaian Target

Kementerian Keuangan, melalui dua instansi vertikalnya yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), akan mengelola penerimaan pajak. DJP bertanggung jawab atas penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan, serta Bea Meterai. Sementara itu, DJBC akan mengelola Bea Masuk, Bea Keluar, dan Cukai.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menerapkan dua strategi utama:

  1. Intensifikasi: Fokus pada pengawasan kepatuhan dengan pendekatan data matching. Data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak akan ditandingkan dengan data dari berbagai sumber yang memasok informasi ke DJP. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi pajak melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).
  2. Ekstensifikasi: Difokuskan pada penambahan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) baru. Strategi ini diimplementasikan melalui pemadanan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Langkah ini akan memudahkan DJP dalam melakukan pengawasan terhadap WPOP baru.

Tantangan dan Pertimbangan

Meskipun target tersebut dianggap moderat, beberapa tantangan tetap perlu diperhatikan. Salah satunya adalah proyeksi lifting migas yang tidak sebagus yang diharapkan, mengingat pajak dari sektor migas dan non-migas merupakan kontributor terbesar dalam penerimaan pajak.

Selain itu, rencana kenaikan PPN menjadi 12% yang masih belum pasti juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan. Menanggapi hal ini, Prianto menegaskan bahwa penyusunan APBN, termasuk penetapan target penerimaan pajak, telah melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pihak terkait.

“Penyusunan APBN melalui proses konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk kementerian, lembaga pemerintah, BUMN, dan kelompok masyarakat terkait. Tujuannya adalah agar Kementerian Keuangan dapat memahami kebutuhan sektor-sektor tertentu dan mendapatkan masukan,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kementerian Keuangan selalu melakukan evaluasi dan membuat pertimbangan di setiap rancangan anggaran, baik di sisi penerimaan maupun di sisi belanja. Proses ini menjadi bagian dari formulasi kebijakan yang bermuara pada RAPBN untuk tahun berikutnya.”

Dengan penetapan target yang ambisius ini, pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, keberhasilan pencapaian target ini juga bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan pelaku usaha dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak.

Modernisasi Administrasi Pajak melalui Core Tax System

Pemerintah Indonesia melakukan upaya strategis dalam memperkuat sistem perpajakan sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional. Pada akhir Juli 2024, Presiden Joko Widodo memimpin rapat internal yang membahas perkembangan Core Tax System, atau yang dikenal sebagai Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP). Sistem ini dirancang untuk membangun layanan perpajakan di Indonesia agar setara dengan negara-negara maju, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi perpajakan.

Pentingnya pengembangan Core Tax System ini menjadi semakin jelas mengingat jumlah wajib pajak dan dokumen yang harus diproses oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkat secara signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah wajib pajak melonjak dari 33 juta menjadi 70 juta, sementara jumlah dokumen e-faktur yang diproses meningkat drastis dari 350 juta menjadi 776 juta. Peningkatan ini menuntut DJP agar mengadopsi teknologi yang lebih canggih dan sistem yang lebih andal agar dapat mengelola beban kerja yang semakin besar.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menegaskan bahwa pembangunan IT system dan database di perpajakan merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, pemerintah sejak tahun 2018 telah membangun system yang canggih dengan mengadopsi sistem Commercial off The Shelf (COTS) yang telah terbukti efektif digunakan di banyak negara dalam modernisasi perpajakan.

Melalui COTS, Core Tax System diharapkan dapat meningkatkan otomatisasi dan digitalisasi di seluruh aspek layanan administrasi perpajakan. Wajib pajak akan lebih dimudahkan dalam mengakses layanan mandiri, termasuk pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang akan semakin otomatis dan transparan. Dengan demikian, wajib pajak dapat memperoleh gambaran menyeluruh tentang kewajiban perpajakan mereka secara real-time, sehingga proses administrasi menjadi lebih cepat dan akurat.

Selain itu, Core Tax System juga bertujuan untuk memperkuat kredibilitas data dan integrasi jaringan di DJP, yang akan memungkinkan pengambilan keputusan berbasis data yang lebih efektif. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan penerimaan pajak negara. Target penerimaan pajak pada tahun 2024, yang ditetapkan sebesar Rp2.309,9 triliun, menunjukkan betapa pentingnya reformasi perpajakan ini dalam mencapai tujuan fiskal negara.

Reformasi Perpajakan Jilid III, yang dimulai sejak tahun 2016, menjadi fondasi bagi modernisasi sistem perpajakan ini. Reformasi ini berfokus pada lima pilar utama: penguatan organisasi, peningkatan kualitas SDM, perbaikan proses bisnis, pembaruan sistem informasi dan basis data, serta penyempurnaan regulasi. Hasil dari reformasi ini dapat dilihat dalam berbagai kebijakan dan regulasi baru, seperti implementasi UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk menyempurnakan regulasi perpajakan di Indonesia.

Di sisi lain, DJP juga telah melakukan berbagai inovasi dalam penggunaan teknologi informasi untuk mempermudah interaksi dengan wajib pajak. Melalui pendekatan 3C (Click, Call, Counter), DJP berupaya menyediakan pelayanan yang lebih cepat dan efisien, baik melalui platform digital, panggilan telepon, maupun pelayanan langsung. Inovasi ini termasuk pengembangan chatbot seperti Fiska dan Fisko, serta WA-bot khusus untuk UMKM, yang memudahkan wajib pajak dalam mendapatkan informasi dan pelayanan perpajakan.

Pada pertengahan tahun 2024, Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Core Tax Administration System (CTAS) diimplementasikan. Sistem ini akan mengembangkan sistem informasi DJP menjadi sistem yang terintegrasi, mencakup seluruh proses bisnis perpajakan dengan basis data yang luas dan akurat. Implementasi CTAS ini tidak hanya akan berdampak pada sisi teknologi, tetapi juga mendorong reformasi di berbagai aspek administrasi perpajakan.

Kesuksesan implementasi CTAS sangat membutuhkan dukungan besar dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga internasional, asosiasi pengusaha, bahkan asosiasi konsultan pajak. Dengan sistem perpajakan yang lebih modern dan efisien, Indonesia diharapkan dapat meningkatkan tax ratio dan mengoptimalkan penerimaan pajak untuk mendukung pembangunan nasional menuju negara berpenghasilan tinggi.

Kontroversi PMK 47/2024: Upaya Pemerintah Perketat Aturan Penghindaran Pajak Menuai Kritik

Jakarta, 12 Agustus 2024 – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47/2024 yang baru-baru ini diterbitkan untuk memperketat aturan Automatic Exchange of Information (AEoI) telah memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dan perpajakan. Aturan ini ditujukan untuk menangani pihak-pihak yang bersekongkol dengan wajib pajak dalam melakukan penghindaran pajak.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam sebuah wawancara eksklusif menjelaskan bahwa PMK 47/2024 merupakan perubahan ketiga dari PMK 70/2017 yang mengatur tentang akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan.

“Pemerintah ingin memasukkan General Anti-avoidance Rules (GAAR) ke dalam aturan ini,” ujar Budi. “Namun, implementasinya menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang perlu diperhatikan.”

Menurut Budi, salah satu konsekuensi dari penambahan pasal tentang GAAR adalah petugas pajak dapat melakukan penilaian subjektif atas kesepakatan yang dilandasi asas kesucian kontrak dalam KUH Perdata. “Ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambahnya.

Lebih lanjut, Budi mengkritisi hierarki hukum dari PMK 47/2024. “Ada indikasi pengaturan yang melebihi kewenangan dari sebuah PMK,” jelasnya. Ia merujuk pada UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang membatasi pendelegasian kewenangan dari UU kepada menteri hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

PMK 47/2024 tampaknya membuat norma hukum baru, termasuk larangan membuat kesepakatan perdata yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak menurut penilaian petugas pajak, serta memberi kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menyatakan kesepakatan tersebut tidak berlaku tanpa proses pengadilan.

Meski demikian, Budi mengingatkan bahwa setiap kebijakan selalu memiliki dua sisi. “Dari sisi pembuat kebijakan, isi perubahan aturan di PMK 47/2024 tetap dapat dianggap sebagai bagian dari petunjuk teknis dari UU No. 9/2017,” katanya.

Kontroversi ini menyoroti ketegangan antara upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dan kebutuhan untuk menjaga kepastian hukum bagi wajib pajak dan pelaku usaha. Para pemangku kepentingan kini menanti kemungkinan pengujian aturan ini di Mahkamah Agung untuk memastikan keabsahannya.

Sementara itu, Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi terkait kritik terhadap PMK 47/2024. Namun, sumber internal menyatakan bahwa aturan ini diperlukan untuk menutup celah penghindaran pajak yang semakin canggih.

Terlepas dari kontroversi, para ahli berharap akan ada dialog lebih lanjut antara pemerintah, pelaku usaha, dan ahli hukum untuk mencapai keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dan kepastian hukum dalam praktik perpajakan di Indonesia

Pakar Ekonomi: Indonesia Perlu Pertimbangkan Matang Saran IMF Terkait Strategi Penerimaan Negara

Jakarta, 12 Agustus 2024– International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini mengeluarkan laporan yang menyoroti perlunya pembaruan Medium Term Revenue Strategy (MTRS) 2017 di Indonesia. Namun, seorang pakar ekonomi memperingatkan bahwa implementasi saran-saran tersebut memerlukan pertimbangan yang cermat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menganalisis beberapa saran kunci IMF dalam sebuah wawancara eksklusif. “Setiap opsi yang muncul dalam proses formulasi kebijakan pasti memunculkan ambivalensi. Dengan kata lain, ada sisi positif dan negatif sehingga ada pihak yang pro dan kontra terhadap usulan IMF tersebut,” ujarnya.

Salah satu saran IMF adalah menurunkan threshold pengusaha kena pajak. Menurut Budi, hal ini bisa meningkatkan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun juga berpotensi meningkatkan biaya administrasi bagi Direktorat Jenderal Pajak dan biaya kepatuhan bagi pengusaha kecil.

Terkait penambahan objek cukai, Budi menjelaskan bahwa meskipun hal ini dapat meningkatkan penerimaan negara, ada risiko pergeseran perilaku konsumsi masyarakat ke produk substitusi yang tidak terkena cukai atau terkena cukai dengan tarif lebih rendah.

Saran IMF untuk meninjau ulang kebijakan tax expenditure juga mendapat perhatian khusus. “Kebijakan belanja pajak seringkali muncul ketika krisis ekonomi terjadi atau terjadi perlambatan ekonomi,” kata Budi. Ia menambahkan bahwa meskipun ada argumen untuk mengalokasikan dana secara lebih produktif, kebijakan belanja pajak dapat membantu menjaga daya beli masyarakat di masa sulit.

Menanggapi pertanyaan tentang kemampuan Indonesia untuk menjalankan saran-saran IMF, Budi menegaskan bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk melakukannya. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai perspektif sebelum mengambil keputusan.

“Pada akhirnya, pemerintah harus mengambil keputusan, yaitu: menjalankan semua saran IMF tanpa modifikasi kebijakan, menjalankan saran IMF dengan modifikasi kebijakan, atau tidak menjalankan saran IMF tersebut,” jelas Budi.

Ia menambahkan bahwa dalam praktiknya, pilihan kebijakan seringkali tidak mencapai titik ideal. “Berdasarkan kompromi, Pemerintah akan menerapkan the second best policies,” tutupnya.

Sementara itu, beberapa saran IMF lainnya, seperti menurunkan threshold UMKM dan memulai cukai BBM, masih memerlukan kajian lebih lanjut. Bahkan, rencana cukai plastik yang pernah diusulkan IMF sebelumnya masih mengalami kemandegan dalam implementasinya.

Dengan berbagai pertimbangan yang kompleks ini, masyarakat dan pelaku ekonomi di Indonesia akan menanti dengan seksama langkah-langkah konkret yang akan diambil pemerintah dalam merespons rekomendasi IMF, sambil tetap menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat

Aturan Baru AEoI: PMK 47/2024, Senjata Ampuh DJP Atasi GAAR

Dalam rangka mengurangi atau memitigasi praktik penghindaran pajak yang hanya menguntungkan wajib pajak tertentu, di Forum Organtization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah disepakati sebuah program oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, yang lazim disebut dengan istilah Automatic Exchange of Information (AEoI).

Merujuk pada IBFD International Tax Glossary Automatic Exchange of Information (AEoI) adalah pertukaran informasi yang melibatkan transmisi sistematis dan periodik atas informasi wajib pajak yang dilakukan secara ‘massal’ oleh negara asal ke negara tempat wajib pajak terdaftar sebagai residen pajak. Adapun di dalam sistem perpajakan Indonesia, salah satu peran AEoI dapat mendorong pungutan pajak penghasilan di Indonesia.

Pada 6 Agustus 2024, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 tahun 2024 (PMK 47/2024) yang mengatur akses informasi keuangan perpajakan. Melalui aturan tersebut, Menteri Keuangan merinci ketentuan antipenghindaran bagi pihak-pihak tertentu untuk melaksanakan kewajiban pertukaran informasi keuangan demi kepentingan perpajakan secara otomatis. Dengan kata lain, pemerintah memperketat aturan mengenai AEoI, terutama bagi pihak-pihak yang bekerjasama dengan wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak.

Penerbitan PMK 47/2024 merupakan perubahan ketiga dari PMK Nomor 70 tahun 2017 (PMK 70/2017). Sebagaimana diketahui, PMK 70/2017 s.t.d.t.d. PMK Nomor 19 tahun 2018 (PMK 19/2018) belum mengatur mengenai ketentuan antipelanggaran sesuai dengan common reporting standard (CRS). Lebih lanjut, beleid PMK 47/2024 tersebut mengatur petunjuk teknis (juknis) mengenai akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan.

Sesuai dengan konsiderans (ratio legis) dari PMK 47/2024, pemerintah dalam hal ini ingin memasukkan General Anti-avoidance Rules (GAAR). Aturan mengenai GAAR tersebut dimasukkan ke dalam penjelasan Pasal 18 UU PPh setelah ada revisi dari Undang-Undang Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Sebagai konsekuensi dari penambahan pasal mengenai GAAR, petugas pajak dapat melakukan subjective assessment (penilaian subjektif) atas suatu kesepakatan yg dilandasi oleh asas kesucian kontrak di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Bagi wajib pajak yang masih mencoba bersembunyi di balik kesepakatan perdata yang rumit, PMK 47/2024 memberikan “pesan” yang jelas, yaitu penghindaran pajak tidak akan ditoleransi. Dengan penambahan GAAR, otoritas pajak pun kini memiliki alat yang kuat untuk mendeteksi bahkan menghentikan praktik-praktik yang merugikan negara.

Dari sisi hierarki hukum, terdapat indikasi pengaturan yang melebihi kewenangan dari sebuah PMK 47/2024. Sesuai Pasal 7 dan 8 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), aturan yg lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, meskipun PMK 47/2024 dapat membuat pengawasan yang lebih ketat, beleid ini berpotensi menimbulkan kontroversi hukum. Adanya potensi interpretasi subjektif oleh petugas pajak dalam menilai kesepakatan perdata menimbulkan kekhawatiran bahwa norma hukum tersebut dapat  melampaui batas kewenangan yang ditetapkan oleh undang-undang.

 

Selain itu, lampiran II UU P3 (nomor urut 211) di antaranya menyatakan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

Dengan kata lain, PMK 47/2024 yg merevisi PMK 70/2017 seharusnya hanya mengatur aspek teknis administratif dari Pasal 9 Perpu 1/2017 (UU No. 9/2017). Aspek teknis administratif tersebut mencakup akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Akan tetapi, PMK 47/2024 tersebut tampaknya membuat norma hukum baru berupa:

  1. Larangan membuat kesepakatan perdata yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak menurut penilaian (yang dapat bersifat subjektif) dari sisi petugas pajak; dan
  2. Pemberian kewenangan kepada Direktorat Jendral Pajak (DJP) melalui petugasnya untuk menyatakan bahwa kesepakatan perdata tersebut dianggap tidak berlaku dan/atau tidak terjadi (tanpa proses dan putusan pengadilan).

Melalui PMK 47/2024, DJP dalam hal ini dapat menegur, meminta klarifikasi, hingga menuntut pidana pihak yang menghindari pertukaran informasi untuk keperluan pajak.

Namun demikian, setiap kebijakan berupa norma hukum positif akan selalu dapat dilihat dari dua sisi karena ada ambivalensi, yaitu sesuatu yang kontradiktif.

Dari sisi pembuat kebijakan, isi perubahan aturan di PMK 47/2024 tetap dapat dianggap sebagai bagian dari juknis dari Pasal 9 Perpu 1/2017 (UU No 9/2017). Oleh karena itu, PMK 47/2024 telah terbit dan berisi pengaturan yang dapat memicu kontroversi hukum.

Bagaimanapun juga, penentuan apakah PMK 47/2024 melanggar asas hukum berupa lex superior derogat legi inferior dan berisi pengaturan yg melebihi kewenangannya tidak berada di pendapat pengamat atau pelaku usaha. Pengujiannya harus dilakukan di Mahkamah Agung dengan rujukan aturannya di UU No. 9/2017 dan No. 12/2011.

PMK 47/2024 pada dasarnya secara tegas menggarisbawahi mengenai pentingnya transparansi dalam laporan keuangan sebagai upaya melawan antipenghindaran pajak. Beleid ini tidak hanya sebagai alat pemerintah untuk menegaskan terkait penghindaran pajak, tetapi juga memperkuat mekanisme pengawasan perpajakan. Selain itu, PMK 47/2024 menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mendukung transparansi keuangan internasional yang sejalan dengan negara-negara lain melalui AEoI.

Indonesia Terapkan Rekomendasi IMF dan Bank Dunia untuk Tingkatkan Penerimaan Negara

Jakarta, 5 Agustus 2024 – Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan penerimaan negara dengan mengadopsi berbagai rekomendasi dari lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan bahwa Indonesia telah dan sedang dalam proses menerapkan enam rekomendasi utama untuk memperkuat basis pendapatan negara.

“Saat ini, semua rekomendasi tersebut sudah dan/atau akan dijalankan oleh pemerintah Indonesia,” ujar Prianto Budi dalam sebuah wawancara eksklusif.

Salah satu rekomendasi yang telah diterapkan adalah peningkatan efektivitas insentif pajak. Pemerintah telah memilih sektor-sektor industri strategis yang dapat menggairahkan ekonomi karena memiliki efek domino di masyarakat. Contohnya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor properti dan kendaraan listrik.

Dalam upaya memperluas basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang merevisi UU PPN. “Ada perluasan objek PPN, meski sebagiannya mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan sesuai PP 49/2022,” jelas Prianto.

Terkait perluasan cakupan Pajak Penghasilan (PPh), pemerintah telah menambahkan objek PPh 21 berupa imbalan natura/kenikmatan melalui UU HPP. Sebagai turunannya, telah terbit PP 55/2022 dan PMK 66/2023.

Langkah ekstensifikasi cukai juga sedang dianalisis dengan rencana memperluas objek cukai. Beberapa rencana yang sedang dikaji mencakup pengenaan cukai pada rumah, tiket konser, makanan cepat saji, deterjen, plastik, dan minuman berpemanis dalam kemasan.

Untuk pengembangan sistem pajak properti yang efektif, Indonesia telah lama menerapkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibagi menjadi dua pemungut pajak: pemerintah pusat untuk PBB-P3 (perhutanan, perkebunan, dan pertambangan) dan pemerintah daerah untuk PBB-P2 (perkotaan, pedesaan).

Terakhir, kebijakan khusus untuk sektor-sektor tertentu telah diterapkan melalui fasilitas PPh berupa tax holiday atau tax allowance. “Contohnya adalah proyek-proyek yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Fasilitas pajak untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) juga menjadi bagian dari kebijakan ini,” tambah Prianto.

Dengan penerapan rekomendasi-rekomendasi ini, pemerintah Indonesia berharap dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Namun, efektivitas kebijakan-kebijakan ini masih perlu dipantau dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan dampak positifnya terhadap perekonomian nasional.

Pemprov DKI Jakarta Optimalkan Pendapatan Asli Daerah Melalui Berbagai Upaya Inovatif

Jakarta, 5 Agustus 2024 – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui berbagai langkah strategis. Berdasarkan data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, realisasi penerimaan pajak daerah pada semester pertama tahun 2024 telah mencapai Rp19,10 triliun.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menjelaskan bahwa lima jenis pajak daerah dengan target penerimaan tertinggi di DKI Jakarta meliputi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Restoran.

“Dari kelima jenis pajak daerah tersebut, realisasi penerimaan PBB-P2 pada periode Januari-Juni baru mencapai 12,65% dari target. Oleh karena itu, Bapenda DKI terus menggenjot realisasi PBB-P2 melalui insentif fiskal,” ujar Prianto.

Salah satu insentif yang diterapkan adalah kebijakan pembebasan pokok PBB-P2 untuk tahun 2024. Kebijakan ini berlaku bagi wajib pajak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan bangunan sampai dengan Rp2 miliar. Langkah ini diharapkan dapat meringankan beban masyarakat sekaligus meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak.

Selain itu, Pemprov DKI juga memberikan insentif berupa penghapusan sanksi administrasi secara jabatan pada Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Upaya ini dilakukan untuk mendorong wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.

Prianto menambahkan, “Bapenda DKI juga melakukan kerja sama dengan komunitas mobil mewah dan motor besar. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemilik asli kendaraan mewah tersebut dan melakukan intensifikasi pajak.”

Inovasi lain yang diterapkan adalah penggunaan mesin tapping box di kasir restoran. Sistem ini memungkinkan transaksi di restoran langsung terhubung dengan sistem penerimaan pajak restoran yang menjadi bagian dari Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). “Tapping box juga dapat diterapkan untuk PBJT lainnya, seperti pajak parkir atau pajak hotel,” tambah Prianto.

Pemprov DKI Jakarta juga aktif melakukan sosialisasi pajak untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya membayar pajak daerah. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan PAD DKI Jakarta di masa mendatang.

Meski demikian, para pengamat ekonomi menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta terus melakukan evaluasi dan inovasi dalam upaya peningkatan PAD. Hal ini penting untuk memastikan bahwa target penerimaan pajak daerah dapat tercapai, sehingga dapat mendukung pembangunan dan pelayanan publik yang lebih baik bagi masyarakat Jakarta

Strategi Tax Game dalam Pelaporan SPT PPh Orang Pribadi

Sejak awal Januari hingga akhir Maret setiap tahunnya, para Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) menyiapkan bukti potong untuk mengisi dan melaporkan pajak penghasilan dalam bentuk SPT ke kantor pajak atau online. Kegiatan yang terus berulang setiap tahun tersebut membuat Wajib Pajak (WP) mulai merencanakan strategi dengan tujuan SPT yang telah dilaporkan tidak menimbulkan sengketa pajak di kemudian hari.

Strategi WP dalam menghindari sengketa merupakan salah satu bentuk implementasi dari permainan pajak (tax game). Istilah “Tax Game” pertama kali dipopulerkan oleh Michael Pickhardt., & Aloys Prinz dalam publikasinya yang berjudul “Behavioral dynamics of tax evasion – A survey”. Singkatnya, permainan perpajakan terdiri dari interaksi strategis antara WP, praktisi pajak, otoritas pajak, dan pembuat undang-undang pajak. Inti dari permainan ini adalah Otoritas Pajak berinteraksi dengan WP secara hierarkis dan sangat formal. Selain kepatuhan pajak, penghindaran pajak juga menjadi strategi WP dalam permainan ini.

Komunikasi antara Para Pihak dalam Tax Game

Sumber: Pickhardt, M., & Prinz, A (2013)

Sama halnya dengan permainan pada umumnya, kedua belah pihak yang terlibat merencanakan strategi dengan mencapai tujuan yang berbeda. Pada kasus pelaporan SPT, WP mengharapkan dokumen SPT yang telah dilaporkan tidak menimbulkan sengketa yang pada akhirnya dapat merugikan WP. Sementara itu, Otoritas Pajak pun memiliki tujuan untuk melakukan optimalisasi penerimaan pajak.

Saat WPDN OP telah menerima bukti pelaporan SPT, maka hal tersebut merupakan tanda dimulainya tax game. Pada saat SPT telah dilaporkan, petugas pajak bergerilya mengatur strategi untuk menjalankan tujuan otoritas pajak dalam melakukan optimalisasi penerimaan. Pada tahap awal, pelaksanaan tugas dilakukan dengan pengawasan kepatuhan secara formal, yaitu  dengan memastikan WP telah melaporkan SPT tepat waktu. Tahapan selanjutnya adalah pengawasan kepatuhan material yang berkaitan dengan kebenaran objek dan perhitungan pajak yang tercantum dalam SPT.

Sebagaimana pada permainan catur, WP juga mencermati lawan mainnya, yaitu Otoritas Pajak/Petugas Pajak, setelah ia melaporkan SPT. Cara WP mencermati strategi lawan mainnya di tax game tersebut menggunakan Theory of Mind (ToM). Hal ini penting untuk diperhatikan saat seseorang berinteraksi. Dalam berinteraksi, seseorang harus mampu memahami kondisi mental dan cara berpikir serta bagaimana kondisi mental tersebut dapat memengaruhi tindakan. Teori pikiran memungkinkan orang menyimpulkan niat orang lain, serta memikirkan apa yang terjadi kepala orang lain, termasuk harapan, ketakutan, dan keyakinan.

Strategi Kepatuhan Pajak

Dalam rangka menguatkan basis pemajakan dan peningkatan kepatuhan, serta fakta bahwa jumlah petugas pajak tidak sebanding dengan jumlah WP, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat skala prioritas melalui penerapan manajemen risiko yang dikenal dengan istilah Compliance Risk Management (CRM). Sebagai dasar hukum pelaksanaan manajemen risiko ini, DJP telah menerbitkan SE-39/PJ/2021. Penerapan CRM oleh DJP terinspirasi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam publikasi yang berjudul Guiding Note – Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance pada tahun 2004.

Model Kepatuhan

Sumber: Guiding Note – Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance (OECD, 2004)

Sesuai dengan gambar piramida kepatuhan yang digambarkan oleh OECD, strategi kepatuhan pajak melalui CRM yang diterapkan DJP dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Jika WP dinilai patuh (willing to do the right thing), Otoritas Pajak akan memberikan kemudahan (make it easy). Dalam hal ini, DJP dapat memberikan persetujuan pengurangan angsuran PPh, pemberian fasilitas pajak, dan restitusi pendahuluan. Sikap di sini adalah kesediaan untuk melakukan hal yang benar. Ada komitmen sadar untuk mendukung sistem dan menerima serta mengelola tuntutannya secara efektif. Terdapat penerimaan terhadap legitimasi peran Otoritas Pajak dan keyakinan bahwa mereka pada dasarnya dapat dipercaya.
  2. Jika WP dinilai masih berusaha untuk patuh pajak, tapi tidak selalu berhasil (try to but don’t always succeed), Otoritas Pajak akan memfungsikan peran petugasnya untuk memberikan konsultasi kepada WP agar patuh (assist to comply). Yang lebih positif adalah sikap WP yang pada dasarnya bersedia untuk patuh, namun mengalami kesulitan dalam melakukannya dan tidak selalu berhasil. WP kemungkinan mengalami kesulitan memahami atau memenuhi kewajiban, namun harapan bagi Otoritas Pajak adalah, dalam perselisihan apa pun, kepercayaan dan kerja sama akan diutamakan.
  3. Jika WP terindikasi tidak akan patuh (don’t want to comply, but will if we pay attention), Otoritas Pajak segera mengirimkan efek kejut (deterrent effect) berupa “surat cinta” (deter by detection), yang berisi perhitungan potensi utang pajak. Sikap perlawanan mencirikan konfrontasi aktif. Sistem ini dipandang menindas, memberatkan, dan tidak fleksibel. Sikap ini merupakan ciri dari mereka, WP, yang tidak ingin mematuhi namun tidak akan mematuhinya jika mereka dapat diyakinkan bahwa kekhawatiran mereka telah ditangani.
  4. Jika WP dianggap sudah memutuskan untuk tidak patuh pajak (have decided not to comply), Otoritas Pajak segera melakukan penegakan hukum pajak (use the full force of law), berupa pemeriksaan atau bahkan penyidikan. Situasi di puncak piramida adalah sikap melepaskan diri. Hal ini mencirikan mereka, WP, yang telah memutuskan untuk tidak mematuhi pajak. Para WP dengan sikap ini sengaja menghindari tanggung jawab mereka atau memilih untuk tidak ikut serta. Sinisme terhadap sistem perpajakan biasanya diimbangi dengan sinisme terhadap peran pemerintah

Dalam hal ini, penting untuk disadari bahwa WP OP mampu mengadopsi salah satu dari sikap tersebut pada waktu yang berbeda dipengaruhi oleh faktor lainya. Tidak menutup kemungkinan juga WP dapat mengadopsi semua sikap yang dipengaruhi faktor eksternal. Sikap secara bersamaan berhubungan dengan isu-isu yang berbeda. Sikap yang berubah-ubah tidak hanya karakteristik milik seseorang atau kelompok, namun mencerminkan interaksi antar orang tersebut atau kelompok dan pihak-pihak yang memaksakan tuntutan kepada mereka.

Dengan ToM, WP OP harus memahami bagaimana jalan pikiran (mind) Otoritas Pajak ketika mereka melakukan pengawasan kepatuhan pajak, baik formal maupun material), khususnya kepatuhan material, melalui pendekatan “data matching”.  Berdasarkan ToM di atas, WP OP juga harus melakukan data matching sesuai teknik dan pendekatan yang ditetapkan DJP.  Hal ini perlu dilakukan untuk memitigasi potensi hutang pajak WP OP sebelum dilakukan pengawasan dan pemeriksaan. Langkah selanjutnya, WP OP dapat mengecek kembali transaksi yang menjadi basis PPh berdasarkan ilmu hukum (legal) dan ilmu akuntansi.