Day: September 26, 2024

Pemerintah Tinjau Ulang Kebijakan Cukai Hasil Tembakau untuk 2025

Jakarta, 23 September 2024 – Pemerintah Indonesia mengumumkan perubahan arah kebijakan terkait Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk tahun 2025. Berbeda dengan rencana sebelumnya yang menggunakan sistem tarif multiyears, pemerintah kini memfokuskan diri pada fenomena downtrading rokok yang semakin marak terjadi.

Menurut pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, pemerintah tidak akan melakukan penyesuaian tarif CHT pada tahun 2025. Sebaliknya, fokus akan diarahkan pada penyesuaian harga jual di tingkat industri.

Menanggapi hal tersebut, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menjelaskan bahwa keputusan ini merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2025.

“Pemerintah memang tidak jadi melakukan penyesuaian tarif CHT setelah bersepakat dengan DPR. Fokus pemerintah ada pada fenomena downtrading rokok yang marak saat ini,” ujar Prianto.

Ia menambahkan bahwa setelah adanya penyesuaian tarif CHT di periode sebelumnya, terjadi peralihan konsumsi rokok ke jenis yang lebih murah. “Produksi rokok Golongan I menurun karena terkena tarif cukai lebih tinggi di atas Rp 1.000 per batang atau gram. Sementara itu, terjadi peningkatan produksi rokok Golongan II dan III dengan tarif cukai di bawah Rp 1.000 per batang atau gram,” jelasnya.

Menghadapi situasi ini, pemerintah diperkirakan akan menelaah kembali kebijakan penggolongan rokok yang saat ini berlaku. Langkah yang diambil kemungkinan besar berupa penyesuaian harga jual di level industri. “Tujuannya adalah agar tidak marak terjadi downtrading lagi,” tegas Prianto.

Kebijakan ini diharapkan dapat menyeimbangkan antara upaya pengendalian konsumsi rokok dan penerimaan negara dari sektor cukai. Namun, beberapa pihak mengkhawatirkan dampak kebijakan ini terhadap industri rokok nasional dan petani tembakau.

Sementara itu, Kementerian Keuangan belum merilis detail lengkap mengenai rencana penyesuaian harga jual rokok di tingkat industri. Diperkirakan, informasi lebih lanjut akan diumumkan dalam waktu dekat seiring dengan pembahasan APBN 2025.

Masyarakat dan pelaku industri rokok diharapkan tetap mengikuti perkembangan kebijakan ini, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap ekonomi nasional dan kesehatan masyarakat.

Kebocoran Data 6 Juta NPWP: Ancaman Serius bagi Kepercayaan Publik dan Sistem Perpajakan Indonesia

Jakarta, 23 September 2024 – Dugaan kebocoran 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang diperjualbelikan seharga Rp150 juta telah mengguncang sistem perpajakan Indonesia. Insiden ini tidak hanya mengancam keamanan data pribadi wajib pajak, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap otoritas pajak dan berdampak pada penerimaan negara.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif mengungkapkan analisis mendalam tentang implikasi jangka panjang dari insiden ini.

Ancaman terhadap Kepercayaan Publik

“Salah satu tantangan utama bagi Indonesia saat ini adalah membangun dan mempertahankan kepercayaan publik (public trust),” ujar Prianto. “Dalam konteks perpajakan, kepercayaan wajib pajak menjadi sangat esensial untuk menciptakan voluntary compliance (kepatuhan sukarela), bahkan cooperative compliance (kepatuhan kooperatif).”

Prianto menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang menggalakkan kebijakan cooperative compliance, di mana wajib pajak diharapkan tidak hanya patuh tetapi juga kooperatif dalam membayar pajak. “Paradigma yang dibangun dari model kepatuhan ini adalah paradigma pelayanan (service) dan kepercayaan (trust),” tambahnya.

Dampak Hukum dan Kepatuhan

Prianto menekankan bahwa kebocoran data wajib pajak merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). “Pasal 41 UU KUP secara khusus menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain,” jelasnya. “Tujuannya adalah agar wajib pajak tidak ragu-ragu dalam memberikan data dan keterangan sebagai bentuk kepatuhan terhadap Undang-Undang Perpajakan.”

Lebih lanjut, Prianto mengingatkan bahwa UU KUP memungkinkan sanksi pidana diberikan kepada pejabat yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut, baik karena kesengajaan maupun kelalaian.

Potensi Kerugian Negara

Meskipun belum ada perhitungan pasti mengenai kerugian negara akibat insiden ini, Prianto memperkirakan dampaknya bisa signifikan. “Kerugian negara berkaitan dengan kepercayaan yang mungkin menurun. Sebagai konsekuensinya, potensi penurunan penerimaan dapat terjadi,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kebocoran data wajib pajak bisa membuat pemungutan pajak ke depannya akan menurun atau semakin menantang. Alasannya adalah karena distrust (ketidakpercayaan) wajib pajak kepada otoritas pajak.”

Langkah-langkah yang Harus Diambil Pemerintah

Menghadapi situasi ini, Prianto menekankan pentingnya tindakan cepat dan tegas dari pemerintah. “Pemerintah harus segera menuntaskan investigasi kebocoran data wajib pajak tersebut secepat mungkin sebelum peluncuran Core Tax Administration System (CTAS),” sarannya.

CTAS, yang dijadwalkan akan diluncurkan pada akhir Desember 2024, merupakan sistem administrasi perpajakan baru yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan pengelolaan data perpajakan.

“Tujuannya adalah agar ada perbaikan segera untuk keamanan siber yang ada di CTAS. Ini penting untuk mencegah insiden serupa di masa depan dan memulihkan kepercayaan wajib pajak,” tegas Prianto.

Insiden kebocoran data ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keamanan data dan transparansi dalam penanganan informasi sensitif wajib pajak. Pemulihan kepercayaan publik akan menjadi kunci dalam mempertahankan kepatuhan pajak dan menjamin stabilitas penerimaan negara di masa mendatang. Prianto menyimpulkan bahwa tanpa kepercayaan publik yang kuat, sistem perpajakan kita akan menghadapi tantangan besar, “Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk memulihkan kepercayaan ini dan memastikan keamanan data wajib pajak di masa depan.” tegas Prianto.

Indonesia Targetkan Rp945,1 Triliun dari PPN di 2025: Strategi Pergeseran Basis Pajak dan Adopsi Aturan Global

Jakarta, 23 September 2024 – Pemerintah Indonesia membuat langkah berani dengan menetapkan target penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp945,1 triliun untuk tahun 2025. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan sekitar Rp125 triliun dari outlook tahun ini, mengindikasikan perubahan strategi dalam kebijakan perpajakan nasional.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif, mengungkap detail strategi di balik target ambisius ini dan menganalisis langkah terbaru Indonesia dalam arena perpajakan internasional.

Pergeseran Paradigma: Dari PPh ke PPN

“Sejak disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kita menyaksikan pergeseran paradigma dalam basis pemajakan dari Pajak Penghasilan (PPh) ke PPN,” jelas Prianto. Ia menekankan bahwa langkah ini merupakan respons strategis terhadap maraknya praktik perencanaan pajak agresif dalam sistem PPh secara global, termasuk di Indonesia.

Prianto merinci keunggulan sistem PPN: “Basis PPN langsung ke penjualan dengan tarif tertentu. Misalnya, jika tarif PPN 12% dan total penjualan Rp1 miliar, maka PPN yang harus dipungut sebesar Rp120 juta. Perhitungannya sangat simpel dan minim celah untuk aggressive tax planning.” Sebaliknya, ia menjelaskan kelemahan sistem PPh: “Wajib Pajak harus menghitung PPh melalui pengurangan penghasilan dengan beban sebagai pengurang penghasilan bruto. Ini membuka peluang untuk mempraktikkan perlakuan akuntansi yang dapat meminimalkan PPh kurang bayar.”

Adopsi Aturan Pajak Global: MLI STTR

Selain fokus pada peningkatan penerimaan PPN, Indonesia juga mengambil langkah signifikan dalam perpajakan internasional dengan menandatangani kesepakatan Multilateral Instrument Subject-to-Tax Rule (MLI STTR). Prianto menjelaskan bahwa STTR merupakan bagian dari Global Minimum Tax (GMT) dalam Pilar Dua perpajakan internasional. “Melalui Peraturan Pemerintah No. 55/2022, Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk mengatur GMT,” ujarnya. GMT terdiri dari dua komponen utama:

1. Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules: “GloBE rules menetapkan tarif minimum 15% di setiap negara yang mengadopsi Pilar Dua,” Prianto menjelaskan. “Perusahaan multinasional harus membayar pajak tambahan (top-up tax) sebesar selisih antara tarif pajak efektif di setiap yurisdiksi dan tarif minimum 15%, jika tarif efektif tersebut kurang dari 15%.”

2. Subject-to-Tax Rule (STTR): “STTR memungkinkan negara sumber penghasilan mengenakan pajak tambahan hingga 9% atas penghasilan tertentu,” tambah Prianto. Ia merinci bahwa STTR mencakup berbagai jenis penghasilan seperti bunga, royalti, premi asuransi/reasuransi, imbalan jaminan keuangan, biaya pembiayaan, imbalan sewa, dan imbalan atas penyediaan layanan.

Prianto memberikan contoh konkret penerapan STTR: “Jika negara sumber memotong PPh sebesar 5% atas covered income senilai USD 1 juta, dan penerima penghasilan tersebut membayar PPh badan 1% di negara domisilinya, negara sumber masih berhak memotong PPh tambahan berdasarkan STTR sebesar 3% dari USD 1 juta. Perhitungannya adalah (9% – 5% – 1%) x USD 1 juta = 3% x USD 1 juta.”

Tantangan bagi Indonesia

Dengan penandatanganan MLI STTR, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam upaya global menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, Prianto mengingatkan bahwa implementasi aturan baru ini akan memerlukan penyesuaian signifikan dalam sistem perpajakan nasional. “Pemerintah harus mengkaji ulang tarif pemotongan PPh sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang masih di bawah 9%,” ujarnya. “Fokus utama akan diberikan pada tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B.”

Prianto menyimpulkan bahwa kombinasi antara peningkatan target PPN dan adopsi aturan pajak global menunjukkan strategi komprehensif pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dan menjaga keadilan sistem perpajakan. Namun, keberhasilan strategi ini akan bergantung pada implementasi yang cermat dan kemampuan adaptasi sistem perpajakan nasional terhadap standar global yang baru.

Dengan langkah-langkah strategis ini, pemerintah Indonesia tidak hanya berharap dapat mencapai target penerimaan pajak yang ambisius, tetapi juga memperkuat posisinya dalam lanskap perpajakan global yang semakin kompleks. Masyarakat dan pelaku bisnis diharapkan untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan signifikan dalam landscape perpajakan nasional dan internasional ini.