Author: IFTAA

Bangun Rumah Sendiri Kena PPN? Cek Aturan yang Berlaku per 1 Agustus 2025

Memiliki rumah dengan desain sesuai selera adalah impian banyak orang. Sebagian memilih membeli rumah jadi, tetapi tidak sedikit yang lebih suka membangun sendiri. Alasannya beragam, mulai dari menyesuaikan desain, mengatur kualitas material, hingga menekan biaya. Namun, ada satu hal yang kerap luput dari perhatian. Membangun rumah di atas lahan berukuran tertentu juga bisa menimbulkan kewajiban pajak. Aturan ini dikenal dengan nama Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS).

Apa Itu Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)?

Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) adalah aktivitas membangun rumah atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan untuk dipakai sendiri, bukan untuk dijual atau disewakan. Objek pajaknya mencakup rumah tinggal, gedung, ruko, maupun bangunan permanen atau semi permanen lainnya.

Namun, tidak semua pembangunan otomatis dikenai pajak. Ada batasan yang perlu diperhatikan:

  • Subjek Pajak: orang pribadi atau badan yang membangun untuk dipakai sendiri.

  • Objek Pajak: bangunan dengan luas minimal 200 m². Jika kurang dari itu, tidak masuk kategori KMS kena pajak.

  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP): seluruh biaya pembangunan, tidak termasuk harga tanah.

Artinya, kalau seseorang membangun rumah di lahan 200 m² atau lebih, maka wajib menghitung dan membayar PPN KMS.

Tarif PPN KMS Mulai Berlaku 1 Agustus 2025

Pemerintah beberapa kali melakukan perubahan aturan terkait KMS. Terbaru, melalui PMK 53/2025, tarif PPN KMS ditetapkan sebesar 2,4% dari total biaya pembangunan (tidak termasuk tanah). Aturan ini berlaku mulai 1 Agustus 2025. Kewajiban PPN KMS dihitung dan dibayar setiap bulan, sesuai biaya riil pembangunan sampai bangunan selesai. Dengan mekanisme ini, pajak lebih proporsional dan tidak memberatkan arus kas pemilik rumah. Berikut ini merupakan simulasi perhitungan kewajiban perpajakan yang akan timbul apabila seorang membangun rumah di atas lahan sebesar atau lebih dari 200 m² dengan biaya Rp1,2 miliar dalam waktu 3 bulan .

  • Total biaya pembangunan: Rp1.200.000.000

  • Tarif PPN KMS: 2,4%

  • PPN terutang: Rp28.800.000

Jika biaya dikeluarkan bertahap Rp400 juta per bulan selama 3 bulan, maka:

  • Bulan 1: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta

  • Bulan 2: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta

  • Bulan 3: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta

Totalnya tetap Rp28,8 juta, tetapi dibayar sesuai progres pembangunan setiap bulannya.

Mekanisme Bayar dan Lapor

Sistem pajak di Indonesia menganut self-assessment, artinya wajib pajak harus menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri. Untuk KMS, mekanisme pembayaran dan lapor sbb.:

  • Pembayaran: paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah pengeluaran biaya.

  • Pelaporan: dalam SPT Masa PPN paling lambat akhir bulan berikutnya.

Contoh, biaya pembangunan di bulan September 2025 adalah Rp400 juta. PPN sebesar Rp9,6 juta harus dibayar maksimal pada 15 Oktober 2025, lalu dilaporkan dalam SPT Masa PPN September sebelum 31 Oktober 2025.

Risiko Tidak Lapor Melapor

Sebagian orang mungkin berpikir, “Kalau tidak lapor, siapa yang tahu?” Faktanya, kantor pajak punya banyak sumber data dan/atau informasi, misalnya:

  • Persetujuan Bangunan Gedung (PBG),

  • Data tanah dari BPN,

  • Informasi dari kontraktor atau penyedia jasa,

  • Pengawasan langsung di lapangan.

Karena itu, kecil kemungkinan aktivitas membangun rumah terlewat dari radar pajak. Jika seorang wajib pajak terdeteksi tidak melaksanakan dan melaporkan kewajiban PPN KMS, besar kemungkinan terdapat risiko sanksi administrasi maupun denda di kemudian hari.

Pentingnya Perencanaan Pajak

Membangun rumah di lahan 200 m² atau lebih tentu memerlukan biaya besar. Selain menghitung material, tenaga kerja, dan desain, wajib pajak juga harus memasukkan biaya pajak dalam rencana keuangan.

Dengan aturan baru, PPN KMS 2,4% seharusnya tidak dianggap beban besar jika dibandingkan total biaya pembangunan. Misalnya, dari Rp1,2 miliar, pajaknya hanya Rp28,8 juta dan dibayar bertahap sesuai pengeluaran riil.

Membangun rumah sendiri memang menyenangkan karena hasilnya sesuai impian. Namun, perlu diingat bahwa sejak 1 Agustus 2025, membangun di atas lahan minimal 200 m² akan dikenai PPN KMS sebesar 2,4% dari biaya pembangunan. Dengan memahami mekanisme pembayaran dan pelaporan sejak awal, pemilik rumah bisa membangun dengan tenang tanpa risiko terkena sanksi pajak di kemudian hari.

Kebijakan Pajak Baru E-Commerce Perlu Penyesuaian

Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia berlangsung sangat cepat, namun tidak selalu diikuti dengan peningkatan kontribusi fiskal. Nilai transaksi e-commerce domestik diperkirakan menyentuh angka Rp487 triliun pada tahun 2024, menurut data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Pajak. Meski besar secara nominal, sektor ini belum memberikan penerimaan pajak yang sebanding.

Laporan SEA e-Conomy 2023 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company memperkuat hal ini. Indonesia disebut sebagai pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai proyeksi mencapai USD82 miliar pada tahun 2025. Namun demikian, realisasi pajaknya masih terbatas.

Salah satu penyebabnya adalah tingkat kepatuhan pajak UMKM digital yang rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak tahun 2024, dari 1,6 juta wajib pajak UMKM, hanya sekitar 653 ribu yang menyetor PPh final. Sisanya, lebih dari 900 ribu pelaku usaha, belum berkontribusi terhadap penerimaan negara. Bila diasumsikan margin bersih usaha sebesar 10–20%, maka potensi penerimaan negara yang belum tergali dapat mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.

Pemungutan Pajak Melalui Platform Digital

Untuk meningkatkan kepatuhan dan perluasan basis pajak, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Peraturan ini menunjuk pengelola platform perdagangan digital (marketplace) sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan oleh pedagang dalam negeri yang bertransaksi melalui sistem elektronik. Besarnya tarif yang dikenakan adalah 0,5% dari peredaran bruto, tidak termasuk PPN. Skema ini dikenal sebagai pemungutan langsung di sumber (collect at the source).

Kebijakan ini berlaku bagi pedagang yang telah memiliki NPWP atau NIK yang terverifikasi. Sementara itu, pedagang dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta dapat dikecualikan dari pemungutan, asalkan menyampaikan surat pernyataan. Beberapa jenis transaksi juga tidak dikenai skema ini, termasuk layanan transportasi daring, pulsa dan token listrik, logam mulia, serta tanah dan bangunan.

Secara administratif, PMK 37/2025 dianggap lebih efisien. Proses pemungutan dilakukan oleh platform, sehingga pelaku usaha tidak perlu melakukan pembayaran sendiri. Ini mengurangi biaya kepatuhan dan mempermudah pelaporan. Di sisi lain, marketplace juga diwajibkan untuk menyetorkan pajak yang dipungut dan melaporkan datanya ke DJP secara berkala.

Dari sisi potensi penerimaan negara, jika hanya 10% dari total transaksi e-commerce dikenai PPh 22, maka diperkirakan akan ada tambahan penerimaan sekitar Rp2,4 triliun per tahun. Belum termasuk efek lanjutan berupa peningkatan pelaporan SPT, PPN, serta bertambahnya Wajib Pajak baru yang masuk ke sistem. DJP memperkirakan ada tambahan sekitar 800 ribu pelaku usaha digital yang akan masuk dalam basis data perpajakan melalui kebijakan ini.

Pelaksanaan Teknis dan Sosialisasi Kebijakan

Pelaksanaan di lapangan tetap menyisakan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah potensi duplikasi pemungutan bagi pedagang yang menjual melalui berbagai kanal digital. Selain itu, kepatuhan dari marketplace asing masih menjadi persoalan tersendiri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah juga mengacu pada PMK 60/PMK.03/2022 yang mengatur pajak atas jasa dan barang digital dari luar negeri melalui platform digital.

Tantangan lain adalah kurangnya pemahaman publik, terutama pelaku usaha kecil, mengenai sifat kebijakan ini. Banyak yang menganggap kebijakan ini sebagai bentuk pajak baru. Padahal, skema ini hanya mengubah cara pemungutan pajak, bukan jenis pajaknya. Oleh karena itu, edukasi menjadi langkah penting untuk menghindari resistensi dan kesalahpahaman.

PMK 37/2025 menjadi bagian dari langkah pemerintah untuk memperluas basis perpajakan, terutama di sektor ekonomi digital. Ini sejalan dengan target peningkatan rasio pajak dari sekitar 10,4% PDB di 2024 menuju lebih dari 13% pada 2028, sebagaimana tercantum dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.

Namun untuk memastikan efektivitasnya, kebijakan ini perlu terus dikawal dan disempurnakan. Mekanisme pengawasan lintas platform, integrasi data, dan keterlibatan marketplace asing harus diperkuat. Tanpa itu, efektivitas fiskal dari sektor digital akan tetap jauh dari potensinya.

Apakah Pajak Hiburan untuk Olahraga Sudah Tepat Sasaran?

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menerapkan pajak hiburan sebesar 10 persen terhadap sejumlah aktivitas olahraga komersial, seperti gym, yoga, padel, jetski, futsal, dan sebagainya. Kebijakan ini diambil sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan diperjelas melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 serta SK Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025.

Untuk kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), pemerintah daerah diberi kewenangan mengenakan pajak atas jasa kesenian dan hiburan. Di dalamnya kini dimasukkan pula berbagai aktivitas olahraga seperti futsal, gym, kolam renang, padel, yoga, hingga jetski. Pengecualian berlaku untuk golf karena sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh pemerintah pusat.

Namun demikian, langkah tersebut memunculkan pertanyaan fundamental, apakah olahraga adalah hiburan yang patut dikenai pajak? Atau sebaliknya, justru memang masih merupakan kebutuhan dasar warga kota untuk menjaga kesehatan?

Antara Hiburan dan Kebutuhan Kesehatan

Ketua Umum Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA), Prianto Budi Saptono, menyatakan bahwa pengenaan pajak hiburan terhadap olahraga merupakan hasil ekstensifikasi objek pajak daerah, sesuai mandat undang-undang. Dalam praktiknya, banyak bentuk olahraga telah bertransformasi menjadi gaya hidup modern—mengandung elemen hiburan, gaya, bahkan eksklusivitas.

Olahraga padel, misalnya, yang kini menjadi tren di kalangan kelas menengah atas Jakarta, punya harga sewa lapangan mencapai Rp400.000–Rp550.000 per jam. Menurut Kevin Mizan, host komunitas padel Padelton, jumlah anggota terus melonjak hingga 1.800 orang, dan lapangan padel penuh dipesan hingga tiga bulan ke depan. Dengan latar ini, penarikan pajak 10 persen memang tampak logis.

Akan tetapi, bagaimana dengan kegiatan olahraga lain? Banyak warga mengikuti yoga, renang, dan futsal bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Apakah kebijakan pajak ini mempertimbangkan perbedaan intensi dan aksesibilitas antar segmen masyarakat?

Efisiensi Pendapatan atau Beban Tersembunyi?

Dari kacamata fiskal, pajak atas olahraga komersial dapat dimaklumi sebagai upaya ekstensifikasi sumber pendapatan daerah. Namun, harus dicermati bahwa kesehatan publik juga merupakan prioritas pembangunan. Jika kebijakan fiskal justru menjadi disinsentif terhadap aktivitas sehat masyarakat, maka tujuan jangka panjang pembangunan manusia bisa terhambat.

Data dari BPS (2023) menunjukkan bahwa 41 persen masyarakat perkotaan mengakses fasilitas olahraga privat, terutama karena keterbatasan ruang publik. Pengenaan pajak justru memperbesar beban biaya yang harus ditanggung konsumen. Di sisi lain, harga sewa lapangan padel di Jakarta sudah mencapai Rp400.000–Rp550.000 per jam, belum termasuk jasa pelatih atau sewa perlengkapan. Tambahan pajak 10 persen bisa memicu peningkatan harga dan menurunkan aksesibilitas, terutama bagi kelompok menengah.

Dalam kondisi ini, pemerintah daerah seharusnya memisahkan antara olahraga massal (untuk kesehatan) dan olahraga rekreatif-eksklusif (untuk hiburan) secara lebih proporsional, bukan menyeragamkan perlakuan pajaknya.

Dari sisi regulasi, Pasal 49 Perda DKI Nomor 1 Tahun 2024 menyebutkan bahwa PBJT dikenakan atas “olahraga permainan yang menggunakan tempat dan perlengkapan khusus.” Formulasi ini cukup longgar, dan dapat menimbulkan tumpang tindih penafsiran. Misalnya, kegiatan yoga atau senam aerobik yang dilaksanakan di taman atau komunitas terbuka — apakah ini juga masuk objek pajak? Padahal, kebanyakan dari Masyarakat mengikuti olahraga adalah untuk hidup sehat, bukan hiburan.

Ketimpangan Kebijakan dalam Skema PBJT

Jenis aktivitas olahraga yang terkena pajak meliputi hampir semua fasilitas, dari gym hingga sasana tinju. Anehnya, olahraga seperti golf justru tidak dikenai pajak hiburan daerah karena sudah dikategorikan sebagai objek PPN pusat. Ini menimbulkan kesan diskriminatif: olahraga yang sangat elite justru “lolos” dari pajak daerah, sementara olahraga yang lebih membumi malah dikenakan pungutan.

Di sisi lain, masyarakat pun masih bingung oleh kurangnya sosialisasi. August Hamonangan, Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, menyebut bahwa meskipun payung hukumnya jelas (Pasal 49 Perda No. 1/2024), pemerintah nampaknya perlu mengomunikasikan esensinya kepada publik. Ketika masyarakat belum memahami esensi fiskal dari sebuah kebijakan, legitimasi publik pun sangat rentan.

Pajak yang Proporsional dan Progresif sebagai Jalan Tengah

Sebagai instrumen fiskal, pajak tidak hanya bertujuan untuk mengumpulkan penerimaan. Ia juga berfungsi sebagai alat redistribusi kesejahteraan dan insentif kebijakan publik. Dalam konteks ini, pendekatan proporsional—yakni membedakan antara olahraga rekreasi komersial dengan aktivitas kesehatan komunitas—perlu segera diterapkan.

  • Untuk olahraga mewah dengan karakteristik eksklusif (padel, jetski, golf), pajak hiburan 10 persen adalah bentuk kontribusi wajar dari kelompok berdaya beli tinggi.
  • Sebaliknya, untuk olahraga komunitas yang menyasar kelas pekerja atau pelajar, perlu disusun skema pembebasan, subsidi, atau insentif berbasis nilai kesehatan masyarakat.

Pemerintah DKI Jakarta juga harus menyalurkan hasil pajak secara transparan, misalnya untuk pembangunan ruang olahraga publik, renovasi GOR komunitas, atau subsidi keanggotaan olahraga rakyat. Tanpa ini, publik akan menganggap pajak olahraga sebagai beban, bukan sebagai investasi.

Pajak olahraga adalah contoh bagaimana fiskal harus bertemu dengan etika dan logika kebijakan. Jika orientasinya hanya mengejar tren dan angka penerimaan tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan nilai kesehatan, maka kebijakan ini akan kehilangan fondasinya.

Sebaliknya, bila diterapkan dengan diferensiasi, sosialisasi, dan pengembalian manfaat, maka pajak olahraga bisa menjadi instrumen pembangunan inklusif, yaitu sinergi antara fiskal, gaya hidup sehat, sekaligus keadilan sosial.

Seperti disampaikan oleh Prianto, “Perlu dijelaskan oleh pemerintah apakah benar ada esensi hiburan dalam olahraga”, dalam hal ini kita perlu membuka ruang diskusi yang lebih jernih, bukan hanya mengutip pasal, tetapi juga memahami dampak riil kebijakan terhadap publik luas.

Kebijakan pajak olahraga memang sah secara regulasi, tetapi perlu ditimbang secara lebih bijak dari aspek sosial dan ekonomi. Pajak tidak boleh menjadi penghalang akses masyarakat terhadap pola hidup sehat. Pemerintah daerah tidak harus selalu mengandalkan logika fiskal, tetapi perlu mulai membangun kebijakan pajak yang proporsional, adil, dan berpihak pada kualitas hidup warga kota. Jika olahraga diposisikan sebagai bagian dari investasi kesehatan nasional, maka pajaknya pun harus berimbang dengan nilai kemanfaatan jangka panjang

Tantangan Dirjen Pajak Baru dalam Mengatasi Kebocoran Pajak dan Meningkatkan Kepatuhan

Dalam konteks perpajakan nasional, kebocoran pajak bukan sekadar terminologi teknis, melainkan refleksi dari problem struktural dan kelemahan kelembagaan. Menurut data Indonesia Economic Quarterly terbaru yang dirilis Bank Dunia (Mei 2025), rasio pajak Indonesia masih stagnan di kisaran 10,4% terhadap PDB, jauh di bawah rata-rata negara-negara ASEAN yang telah mencapai 15–17%. Hal ini menunjukkan adanya celah besar antara potensi dan realisasi penerimaan pajak, sekaligus suatu indikasi kuat bahwa kebocoran pajak bukan isu spekulatif, melainkan hal yang nyata.

Menuru Prianto Budi Saptono, Ketua IFTAA, istilah “kebocoran” sendiri punya dua makna dalam KBBI. Pertama, terkait dengan masuknya sesuatu dari celah yang tak semestinya (misalnya air), dan kedua, menyangkut tersebarnya sesuatu yang seharusnya dirahasiakan. Dalam perpajakan, keduanya relevan. Kebocoran bisa berarti hilangnya penerimaan negara melalui celah hukum atau praktik ilegal, dan juga terkait penyalahgunaan kewenangan oleh aparat.

Prianto mengelompokkan penyebab kebocoran ke dalam dua kategori utama yaitu UGE dan kongkalikong:

  1. Shadow/Underground Economy (UGE)
    UGE mencakup empat jenis aktivitas ekonomi:
    • Illegal economy: perdagangan narkoba, senjata, dll;
    • Unreported economy: pendapatan sah tetapi tidak dilaporkan;
    • Unrecorded economy: kegiatan yang tidak tercatat dalam sistem akuntansi; dan
    • Informal economy: UMKM dengan potensi pajak rendah.

Dari keempat jenis ini, dua yang paling berdampak pada penerimaan pajak adalah unreported dan unrecorded economy. Praktik seperti tax avoidance dan tax evasion sering terjadi di sini. Tax avoidance memanfaatkan celah aturan, sementara tax evasion jelas melanggar hukum. Keduanya bisa menimbulkan sengketa, yang seringkali dibawa hingga Mahkamah Agung.

2. Kongkalikong antara Wajib Pajak dan Oknum Aparat Pajak

Praktik seperti tax evasion, yaitu penghindaran pajak yang melanggar hukum, merupakan indikasi adanya kegagalan sistem pengawasan internal. Ilustrasi konkret misalnya pada sebuah perusahaan yang seharusnya menyetor Rp1 miliar pajak, justru hanya membayar Rp100 juta. Sisanya? Sebagian masuk ke kantong oknum, sebagian menjadi “keuntungan ilegal” wajib pajak.

Contoh klasik adalah kasus Gayus Tambunan, terkuak karena transaksi mencurigakan di rekening bank. Demikian pula kasus Raphael Alun, yang mencuat dari kasus Mario Dandy, anaknya, dan berujung pada temuan kekayaan tak wajar. Kasus keduanya membuktikan bahwa integritas aparat pajak adalah isu mendasar.

Dalam hal ini, kita bukan hanya bicara tentang kelalaian administrasi, tetapi kejahatan fiskal yang terstruktur. Namun, menyalahkan semata individu tidak cukup. Kita perlu menyoroti kerentanan system, celah dalam core tax system, lemahnya sistem pengawasan seperti KITSDA atau Inspektorat Jenderal, serta minimnya integrasi dengan sistem perbankan dan pelaporan transaksi keuangan.

Langkah Dirjen Pajak Baru

Pertama, Dirjen Pajak baru harus melanjutkan reformasi coretax yang menjadi tulang punggung digitalisasi sistem pajak. Sistem yang transparan dan berbasis data real-time akan mempersulit celah manipulasi dan kongkalikong.

Kedua, penegakan hukum harus diperkuat. Tidak cukup hanya dengan tindakan administratif. Harus ada kolaborasi lintas institusi—PPATK, KPK, Bareskrim, OJK—untuk mendeteksi pola transaksi mencurigakan sejak dini.

Ketiga, membangun budaya kepatuhan pajak secara sukarela (voluntary tax compliance) dengan meningkatkan edukasi dan kepercayaan publik terhadap keadilan fiskal. Selama publik masih melihat bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil, kepatuhan akan tetap rendah.

Keempat, melakukan audit berbasis risiko dan memperluas penggunaan data eksternal (big data), seperti pelaporan dari e-commerce, transaksi non-tunai, dan SPT lintas entitas.

Berapa Besar Kebocoran Pajak?

Menurut Prianto, mengukur kebocoran pajak nyaris mustahil secara presisi karena menyangkut transaksi yang tak tercatat atau tak dilaporkan. Estimasi pun hanya bisa dilakukan dengan pendekatan moneter, misalnya dari jumlah peredaran uang tunai. World Bank (2024) memperkirakan potensi kebocoran sekitar 3–4% dari PDB, atau sekitar Rp500–600 triliun per tahun. Angka yang secara teoritis bisa menutup defisit APBN tanpa tambahan utang.

Pengawasan pun sebenarnya sudah ada di berbagai level, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) di lingkungan Ditjen Pajak, Inspektorat Jenderal Kemenkeu, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di tingkat pemerintah pusat

Namun, keberadaan lembaga pengawas saja belum cukup. Banyak kongkalikong justru lolos karena adanya kesepakatan informal antara WP dan petugas sebelum proses hukum terbuka. Dalam konteks ini, transparansi sistem (misalnya melalui digitalisasi core tax) lebih krusial dari sekadar pengawasan manual.

Membangun Ulang Kepercayaan

Dirjen Pajak baru menghadapi tantangan besar, namun juga memiliki peluang untuk mengukir warisan reformasi fiskal yang berdampak jangka panjang. Masalah kebocoran pajak bukan hanya teknis, tetapi simbol dari lemahnya tata kelola, integritas, dan kepercayaan publik.

Jika tiga fondasi utama—perbaikan coretax, pencegahan kebocoran, dan peningkatan rasio pajak—dijalankan secara simultan, bukan tidak mungkin Indonesia dapat mencapai rasio pajak di atas 13% dalam lima tahun ke depan, mendekati standar negara maju dan menopang visi Indonesia Emas 2045.

Penurunan Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) Dorong Konsumsi dan Stabilitas Ekonomi Jakarta

Jakarta — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menurunkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) melalui kebijakan fiskal yang diumumkan oleh Gubernur Pramono Anung. Kebijakan ini menurunkan tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi menjadi 5 persen dan kendaraan umum sebesar 2 persen.

Menurut Ketua IFTAA, Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., MBA, kebijakan tersebut diambil sebagai respons atas meningkatnya beban ekonomi masyarakat pasca fluktuasi harga bahan bakar, sekaligus upaya mendorong daya beli dan konsumsi rumah tangga di Ibu Kota. “Pengurangan tarif PBBKB melalui insentif fiskal oleh Gubernur Jakarta diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Dengan demikian, dana yang tidak digunakan untuk membayar PBBKB bisa dialokasikan ke konsumsi lainnya,” ujarnya.

Aturan tersebut merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 24, tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi ditetapkan sebesar 10 persen, sementara kendaraan umum sebesar 5 persen. Namun, Gubernur diberikan kewenangan memberikan insentif fiskal berdasarkan Pasal 96 dalam bentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah, termasuk PBBKB.

Dasar pemberian insentif ini mempertimbangkan tiga hal utama, yaitu kemampuan membayar wajib pajak, dukungan terhadap program pemerintah provinsi, serta dukungan terhadap program prioritas nasional pemerintah pusat. “Kondisi di atas diharapkan dapat menggerakkan roda ekonomi di Jakarta. Pada gilirannya, perekonomian di Jakarta dapat tetap terjaga dan terhindar dari keterpurukan yang lebih parah,” ungkap Prianto yang merupakan dosen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia.

Meski demikian, sejumlah pihak menyoroti potensi risiko fiskal jangka panjang akibat penurunan pendapatan daerah dari sektor PBBKB. Namun demikian, pihak Pemprov Jakarta memastikan kebijakan ini telah melalui kajian matang.  “Sesuai dengan Pasal 96 Perda 1/2024, Gubernur harus mempertimbangkan faktor-faktor yang terdampak. Karena itu, Gubernur Jakarta pasti sudah mempertimbangkan risiko fiskal jangka panjang agar pendapatan daerah tidak turun” jelas Prianto yang merupakan pakar perpajakan lebih dari 20 tahun.

Dalam konteks ini, disebutkan bahwa terdapat tradeoff dalam kebijakan fiskal tersebut. Penurunan penerimaan dari PBBKB diharapkan dapat dikompensasi dengan meningkatnya penerimaan pajak dari sektor lain. “Dengan demikian, secara agregat, tetap ada peningkatan penerimaan pajak daerah di Jakarta,” pungkasnya.

Kebijakan penurunan tarif PBBKB yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencerminkan komitmen untuk meringankan beban masyarakat sekaligus menjaga ketahanan ekonomi daerah. Dengan landasan hukum yang jelas dan pertimbangan yang menyeluruh, insentif fiskal ini diharapkan mampu mendorong konsumsi masyarakat tanpa mengorbankan keberlanjutan pendapatan daerah. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah responsif terhadap kondisi ekonomi warga, sembari tetap menjaga keseimbangan fiskal Jakarta secara menyeluruh.

SPT Tahunan 2024 Tembus 13 Juta, DJP Beri Kebijakan Relaksasi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, hingga 11 April 2025, sebanyak 13 juta Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) telah diterima untuk tahun pajak 2024. Dari total tersebut, 12,63 juta berasal dari wajib pajak orang pribadi dan 380,53 ribu dari badan usaha. Angka ini menunjukkan pertumbuhan pelaporan sebesar 3,26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini menandakan tren kepatuhan yang terus membaik di tengah tantangan reformasi administrasi perpajakan yang semakin kompleks dan terus mengalami perubahan.

Peningkatan jumlah pelaporan SPT tersebut tidak hanya mencerminkan aspek kepatuhan administratif, tetapi juga dapat mengindikasikan bahwa proses digitalisasi sistem perpajakan mulai memasuki fase konsolidasi. Dalam kerangka ekonomi fiskal, ini dapat dibaca sebagai hasil dari proses transisi menuju compliance-based taxation, yaitu kondisi kepatuhan didorong melalui penyederhanaan prosedur dan perluasan akses teknologi.

Sebagian besar pelaporan dilakukan secara elektronik, yang mencerminkan peningkatan literasi digital dan efisiensi layanan perpajakan. Tercatat 10,98 juta SPT dilaporkan melalui e-filing, 1,49 juta menggunakan e-form, dan 630 melalui eSPT. Hanya sekitar 537,92 ribu SPT yang masih dilaporkan secara manual melalui kantor pelayanan pajak. Namun, momentum pelaporan tahun ini sedikit terganggu oleh libur nasional dan cuti bersama yang cukup panjang pada akhir Maret hingga awal April 2025, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri. Kondisi ini membuat jumlah hari kerja efektif di bulan Maret berkurang cukup drastis.

Baca juga:  Optimalisasi Penerimaan Pajak di Tahun 2025

Kebijakan Responsif melalui Relaksasi Pajak

Menanggapi situasi tersebut, DJP segera mengambil langkah kebijakan yang responsif, yaitu memberikan relaksasi administratif berupa penghapusan sanksi atas keterlambatan pelaporan SPT dan pembayaran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak orang pribadi. Kebijakan relaksasi ini berlaku untuk pelaporan yang dilakukan setelah batas waktu normal (31 Maret) hingga 11 April 2025, tanpa dikenakan Surat Tagihan Pajak (STP). Kebijakan ini bersifat taktis dan adaptif, menghindari penalti kepada wajib pajak yang terdampak libur panjang, tanpa mengorbankan asas keadilan dan kepastian hukum di tengah momentum perayaan hari keagamaan yang mayoritas masyarakat merayakannya. Di sisi wajib pajak, wajib pajak mendapatkan kesempatan dan terpacu untuk tetap meningkatkan kepatuhan pajak tanpa ragu akan terkena sanksi administratif.

Kebijakan relaksasi ini bukan sekadar respons teknis terhadap kendala administratif, tetapi juga bagian dari strategi keberlanjutan fiskal. Kebijakan adaptif semacam ini dapat mencerminkan transformasi karakter otoritas pajak dari sekadar kolektor menjadi fasilitator kepatuhan. Ketika kebijakan fiskal mampu memahami konteks sosial dan kalender nasional, maka sistem perpajakan akan lebih dipercaya, sehingga ruang kepatuhan sukarela berpotensi menjadi lebih luas tanpa perlu menambah beban regulasi.

Di sisi lain, peningkatan pelaporan SPT 2024 dibandingkan tahun sebelumnya (2023) mencerminkan keberhasilan modernisasi sistem administrasi perpajakan. Akan tetapi, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk terus menerapkan ekspansi basis pajak untuk memperbaiki tax ratio yang cenderung masih rendah. Peningkatan kepatuhan formal, seperti pelaporan SPT, perlu didorong lebih jauh ke arah kepatuhan material, yaitu memastikan pelaporan sesuai dengan potensi ekonomi riil wajib pajak. Maka dari itu, kebijakan relaksasi ini juga bisa dimaknai sebagai langkah diplomasi fiskal yang bertujuan untuk menjaga ritme kepatuhan sambil tetap mendorong penerimaan negara.

Lebih jauh lagi, kebijakan semacam ini menunjukkan kemampuan fiskal negara untuk beradaptasi terhadap dinamika masyarakat tanpa kehilangan arah penerimaan. Singkatnya, langkah relaksasi DJP adalah manifestasi dari pajak sebagai instrumen pembangunan, bukan sekadar pungutan negara. Ketika kebijakan fiskal mampu berbicara dalam bahasa publik—yakni bahasa pemahaman dan partisipasi—maka di situlah pijakan fiskal menjadi semakin kokoh dan bermakna.

Ke depan, tantangan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menjaga kesinambungan tren kepatuhan ini agar tidak berhenti pada dimensi administratif semata. Dalam kerangka reformasi perpajakan yang menjadi tantangan saat ini seperti implementasi Core Tax Administration System (CTAS) menjadi hal yang perlu dievaluasi oleh DJP untuk memperkuat kapasitas sistem dalam mengelola compliance risk management secara lebih presisi. Melihat target-target besar pemerintah, CTAS diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara kepatuhan formal dan kepatuhan material, sekaligus mendorong integrasi data perpajakan dengan potensi ekonomi wajib pajak secara lebih akurat. Dengan demikian, kebijakan fiskal nasional tidak sekadar responsif terhadap dinamika jangka pendek, tetapi juga harus berorientasi jangka panjang dalam membangun sistem perpajakan yang inklusif.

Pengumuman Keputusan Ketua Umum IFTAA Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Program Studi di Bidang Perpajakan

Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) melalui Surat Keputusan Ketua Umum Nomor 1 Tahun 2024 secara resmi menetapkan Standar Kompetensi Lulusan Program Studi di Bidang Perpajakan. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 10 Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, serta hasil pembahasan bersama para pemangku kepentingan, termasuk dalam rapat yang diselenggarakan di Universitas Brawijaya dan Politeknik Keuangan Negara STAN.

Standar ini menjadi acuan minimal bagi penyelenggara pendidikan tinggi dalam menyusun kurikulum yang relevan, adaptif terhadap perkembangan ilmu, serta sesuai dengan kebutuhan dunia kerja di bidang perpajakan. Keputusan ini ditandatangani oleh Ketua Umum IFTAA, Dr. Prianto Budi Saptono, M.B.A, dan ditetapkan pada tanggal 13 September 2024.

Berikut adalah lampiran Surat Keputusan Nomor 1 Tahun 2024:
SURAT_KEPUTUSAN_PROFIL_LULUSAN_&_CPL_250411p

Memahami Underground Economy dan Dampaknya: Dari Judi Online Hingga Pedagang Kaki Lima

Jakarta, 18 November 2024 – Kompleksitas underground economy (UGE) di Indonesia semakin menjadi perhatian serius pemerintah, terutama setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti aktivitas ini sebagai bentuk penghindaran pajak. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa fenomena UGE memerlukan pemahaman komprehensif, mulai dari definisi hingga penanganannya.

“Untuk membahas underground economy, kita perlu menyepakati terlebih dahulu cakupan dan pengertiannya. Para ahli mendefinisikannya secara beragam, namun pada intinya underground economy adalah kegiatan ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam perhitungan Produk Domestik Bruto atau PDB,” jelas Prianto.

Memahami Komponen PDB dan Underground Economy

Prianto menjelaskan bahwa untuk memahami UGE, perlu terlebih dahulu mengerti komponen PDB. “PDB memiliki komponen yang meliputi konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Ini dapat dirumuskan dalam persamaan: Y = C + I + G + X – M,” paparnya.

Mengambil contoh ekspor, Prianto mengilustrasikan: “Dalam kegiatan ekspor, kita bisa melihat dua jenis: ekspor legal yang meningkatkan PDB, dan ekspor ilegal yang tidak menambah PDB. Ini salah satu contoh sederhana membedakan aktivitas resmi dan underground economy.”

Empat Kategori Underground Economy

Berdasarkan kajian para ahli, underground economy dapat dibagi menjadi empat kategori utama:

1. Illegal Economy

  • Perdagangan narkoba
  • Aktivitas prostitusi
  • Perjudian online
  • Penyelundupan barang
  • Berbagai bentuk penipuan

2. Unreported Economy

  • Transaksi ekonomi yang sengaja tidak dilaporkan
  • Bertujuan menghindari kewajiban perpajakan
  • Melanggar aturan pelaporan pajak

3. Unrecorded Economy

  • Aktivitas ekonomi yang tidak tercatat
  • Menghindari persyaratan pelaporan statistik pemerintah
  • Tidak masuk dalam data resmi

4. Informal Economy

  • Pedagang asongan dan kaki lima
  • Warung dan toko kelontong
  • Pekerja rumah tangga
  • Tukang ojek dan penarik becak
  • Pengemudi bajaj
  • Pemulung

Tantangan Penghitungan Potensi Pajak

Dalam hal potensi penerimaan pajak dari UGE, Prianto menegaskan bahwa penghitungannya sangat kompleks. “Untuk illegal economy, otoritas pajak biasanya tidak sampai mengenakan pajak karena sudah ditangani aparat penegak hukum yang akan menyita barang bukti termasuk hasil transaksinya,” jelasnya.

Untuk kategori UGE lainnya, penghitungan potensi pajak menggunakan pendekatan moneter. “Logika dasarnya adalah pelaku UGE umumnya menggunakan transaksi tunai. Kita perlu mengestimasi jumlah uang kartal di masyarakat dan menganalisis berapa bagian yang digunakan dalam official economy,” tambahnya.

Solusi Teknologi dan Kebijakan

Pemerintah telah mengambil langkah strategis dengan menerapkan Core Tax Administration System (CTAS). “CTAS merupakan terobosan yang tepat karena menggunakan enam jenis Artificial Intelligence berbeda untuk mendeteksi transaksi. Sistem ini sangat powerful untuk mengidentifikasi transaksi UGE, kecuali illegal economy,” ungkap Prianto.

Bank Indonesia juga berperan aktif dengan mendorong gerakan transaksi nontunai, terutama di sektor informal. Prianto menambahkan, “Kombinasi CTAS dan dorongan transaksi nontunai akan sangat efektif dalam mengawasi dan mengelola aktivitas ekonomi informal.”

Pembagian Wewenang Penanganan

Dalam penanganan UGE, terdapat pembagian wewenang yang jelas:

• Illegal economy ditangani oleh aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, dan KPK)

• Transaksi ekonomi lainnya menjadi domain otoritas pajak

• Pelaku UGE memiliki hak untuk upaya hukum hingga Mahkamah Agung

• Bank Indonesia fokus pada kebijakan transaksi nontunai

“Yang perlu digarisbawahi, penanganan illegal economy mengutamakan hukum pidana dibanding hukum administrasi pajak sesuai asas premium remedium. Sementara untuk jenis UGE lainnya, pemerintah terus melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak,” tutup Prianto.

Fenomena underground economy terus menjadi perhatian serius pemerintah mengingat potensi kerugian negara yang signifikan. Kombinasi pendekatan teknologi, regulasi, dan penegakan hukum diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang selama ini berada di bawah radar.

Kenaikan PPN 2025 Sudah Sesuai Regulasi, Pemerintah Perlu Siapkan Insentif

Jakarta, 18 November 2024 – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menuai berbagai tanggapan. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai kebijakan kenaikan tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang ada dan memiliki tujuan strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional.

“Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sudah sesuai regulasi yaitu diatur dalam Pasal 7 UU PPN hasil revisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ini artinya sudah ada kesepakatan antara rakyat, melalui wakilnya di DPR, dengan pemerintah,” jelas Prianto.

Menurut Prianto, kebijakan ini memiliki tujuan utama untuk meningkatkan rasio pajak. “Jika rasio pajak bisa mencapai 15%, akan ada keleluasaan bagi pemerintah untuk mendistribusikan pajak tersebut kembali ke masyarakat,” ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran terkait dampak kenaikan PPN di tengah kondisi ekonomi yang menantang, Prianto menyarankan pemerintah untuk tetap menjalankan amanat UU PPN tersebut sambil menyiapkan berbagai program insentif untuk masyarakat.

“Pemerintah dapat mengambil dua pendekatan kebijakan belanja. Pertama, kebijakan langsung seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat terdampak. Kedua, kebijakan tidak langsung melalui program Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor industri tertentu seperti properti atau tekstil,” jelasnya.

Terkait prospek ekonomi tahun 2025, Prianto tetap optimis namun realistis. “Kondisi warga Indonesia di 2025 akan lebih baik dari sekarang. Namun, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat, khususnya yang terdampak kondisi perekonomian, juga harus proaktif untuk keluar dari kondisi sulit,” tegasnya.

Sekilas Tentang Kenaikan PPN

• Kenaikan PPN dari 11% ke 12% akan berlaku mulai tahun 2025

• Kebijakan ini merupakan bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

• Target rasio pajak nasional adalah 15%

• Pemerintah berencana menyiapkan program kompensasi untuk masyarakat terdampak

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan rencana kenaikan PPN ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat basis perpajakan nasional sekaligus memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Optimalisasi Penerimaan Pajak di Tahun 2025

Penerimaan pajak merupakan salah satu elemen kunci dalam mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai sumber pendapatan negara, pajak memegang peranan vital dalam pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik. Menyongsong tahun 2025, pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan, sejalan dengan kompleksitas dinamika ekonomi domestik maupun global.

Dengan merujuk pada data realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2024, berbagai sektor telah menunjukkan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian target. Berdasarkan proyeksi dan analisis, peluang optimalisasi penerimaan pajak di tahun 2025 berpotensi menjanjikan, terutama dari sektor-sektor utama yang selama ini menjadi tulang punggung penerimaan pajak. Namun, untuk mencapai target yang diharapkan, diperlukan strategi yang tepat, dukungan teknologi, serta kebijakan yang adaptif terhadap tantangan yang mungkin muncul.

Sektor-Sektor Utama Penyumbang Pajak

Menurut data Kementerian Keuangan, tiga sektor utama penyumbang penerimaan pajak periode Januari hingga Oktober 2024 adalah:

  1. Sektor Industri Pengolahan: Sektor ini menyumbang sekitar 25,8% dari total penerimaan pajak, yang setara dengan Rp 369,72 triliun. Pajak di sektor ini didominasi oleh pajak dalam rangka impor, terutama PPN Impor sebesar 14,7% (Rp 223,08 triliun) dan PPh 22 Impor sebesar 4,1% (Rp 61,87 triliun).
  2. Sektor Perdagangan: Sektor ini menyumbang 25,5% atau sekitar Rp 365,28 triliun. Kontribusi utama datang dari PPN Dalam Negeri, yang mencapai 24,6% atau sebesar Rp 373,34 triliun dari total penerimaan pajak.
  3. Sektor Keuangan dan Asuransi: Sektor ini memberikan kontribusi sebesar 13,5% (Rp 193,12 triliun).

Jenis Pajak yang Menjadi Penopang Utama

Berdasarkan jenis pajak, PPN (dalam negeri dan impor) menjadi penyumbang terbesar dengan total kontribusi 39,3% dari penerimaan pajak. Selain itu, PPh Badan dan PPh Pasal 21 juga memberikan kontribusi signifikan, masing-masing sebesar 17,3% dan 13,6%.

Dengan melihat komposisi ini, fokus penerimaan pajak di tahun 2025 dapat diarahkan pada pengoptimalan penerimaan dari ketiga sektor utama tersebut. Dari sisi jenis pajak, PPN (dalam negeri dan impor), PPh Badan, dan PPh Pasal 21 perlu menjadi prioritas.

Langkah-Langkah untuk Mencapai Target Penerimaan Pajak 2025

Untuk memastikan tercapainya target penerimaan pajak, pemerintah akan mulai menerapkan Core Tax Administration System (CTAS) pada tahun 2025. Sistem CTAS ini didukung oleh teknologi informasi canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI), yang dirancang untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi, dan keadilan dalam pengawasan kepatuhan pajak. Penggunaan teknologi ini diharapkan dapat mempercepat proses administrasi dan meningkatkan kualitas data yang dapat digunakan untuk memonitor kepatuhan wajib pajak.

Selain itu, pemerintah akan menerapkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak:

  • Intensifikasi pajak adalah upaya untuk menggali potensi pajak dari wajib pajak yang sudah ada melalui peningkatan kepatuhan dan pengawasan.
  • Ekstensifikasi pajak berfokus pada perluasan basis pajak, terutama dengan menarik subjek pajak yang masih berada dalam ekonomi bawah tanah atau underground economy agar tercatat dan memenuhi kewajiban perpajakan.

Tantangan yang Dihadapi

Meskipun prospek penerimaan pajak pada tahun 2025 terlihat positif, beberapa tantangan perlu diwaspadai, antara lain:

  1. Kepatuhan Wajib Pajak: Meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah tantangan besar, terutama dengan adanya underground economy yang sulit diawasi.
  2. Implementasi Teknologi Baru: Penggunaan CTAS dengan dukungan teknologi canggih seperti AI memerlukan adaptasi dan kesiapan infrastruktur yang baik agar sistem dapat berjalan dengan efektif.
  3. Perubahan Ekonomi Global: Perkembangan ekonomi global, seperti fluktuasi harga bahan baku dan dampak geopolitik, bisa mempengaruhi penerimaan pajak, terutama dari sektor-sektor industri pengolahan dan perdagangan yang sangat bergantung pada impor bahan baku.

Dengan demikian, penerimaan pajak 2025 dapat dioptimalisasi melalui langkah-langkah strategis dan upaya adaptasi di area penting seperti infrastruktur administrasi perpajakan. Dengan demikian, pemerintah dapat mendorong masyarakat untuk mendukung pembenahan sistem perpajakan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.