Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, hingga 11 April 2025, sebanyak 13 juta Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) telah diterima untuk tahun pajak 2024. Dari total tersebut, 12,63 juta berasal dari wajib pajak orang pribadi dan 380,53 ribu dari badan usaha. Angka ini menunjukkan pertumbuhan pelaporan sebesar 3,26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini menandakan tren kepatuhan yang terus membaik di tengah tantangan reformasi administrasi perpajakan yang semakin kompleks dan terus mengalami perubahan.
Peningkatan jumlah pelaporan SPT tersebut tidak hanya mencerminkan aspek kepatuhan administratif, tetapi juga dapat mengindikasikan bahwa proses digitalisasi sistem perpajakan mulai memasuki fase konsolidasi. Dalam kerangka ekonomi fiskal, ini dapat dibaca sebagai hasil dari proses transisi menuju compliance-based taxation, yaitu kondisi kepatuhan didorong melalui penyederhanaan prosedur dan perluasan akses teknologi.
Sebagian besar pelaporan dilakukan secara elektronik, yang mencerminkan peningkatan literasi digital dan efisiensi layanan perpajakan. Tercatat 10,98 juta SPT dilaporkan melalui e-filing, 1,49 juta menggunakan e-form, dan 630 melalui eSPT. Hanya sekitar 537,92 ribu SPT yang masih dilaporkan secara manual melalui kantor pelayanan pajak. Namun, momentum pelaporan tahun ini sedikit terganggu oleh libur nasional dan cuti bersama yang cukup panjang pada akhir Maret hingga awal April 2025, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri. Kondisi ini membuat jumlah hari kerja efektif di bulan Maret berkurang cukup drastis.
Baca juga: Optimalisasi Penerimaan Pajak di Tahun 2025
Kebijakan Responsif melalui Relaksasi Pajak
Menanggapi situasi tersebut, DJP segera mengambil langkah kebijakan yang responsif, yaitu memberikan relaksasi administratif berupa penghapusan sanksi atas keterlambatan pelaporan SPT dan pembayaran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak orang pribadi. Kebijakan relaksasi ini berlaku untuk pelaporan yang dilakukan setelah batas waktu normal (31 Maret) hingga 11 April 2025, tanpa dikenakan Surat Tagihan Pajak (STP). Kebijakan ini bersifat taktis dan adaptif, menghindari penalti kepada wajib pajak yang terdampak libur panjang, tanpa mengorbankan asas keadilan dan kepastian hukum di tengah momentum perayaan hari keagamaan yang mayoritas masyarakat merayakannya. Di sisi wajib pajak, wajib pajak mendapatkan kesempatan dan terpacu untuk tetap meningkatkan kepatuhan pajak tanpa ragu akan terkena sanksi administratif.
Kebijakan relaksasi ini bukan sekadar respons teknis terhadap kendala administratif, tetapi juga bagian dari strategi keberlanjutan fiskal. Kebijakan adaptif semacam ini dapat mencerminkan transformasi karakter otoritas pajak dari sekadar kolektor menjadi fasilitator kepatuhan. Ketika kebijakan fiskal mampu memahami konteks sosial dan kalender nasional, maka sistem perpajakan akan lebih dipercaya, sehingga ruang kepatuhan sukarela berpotensi menjadi lebih luas tanpa perlu menambah beban regulasi.
Di sisi lain, peningkatan pelaporan SPT 2024 dibandingkan tahun sebelumnya (2023) mencerminkan keberhasilan modernisasi sistem administrasi perpajakan. Akan tetapi, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk terus menerapkan ekspansi basis pajak untuk memperbaiki tax ratio yang cenderung masih rendah. Peningkatan kepatuhan formal, seperti pelaporan SPT, perlu didorong lebih jauh ke arah kepatuhan material, yaitu memastikan pelaporan sesuai dengan potensi ekonomi riil wajib pajak. Maka dari itu, kebijakan relaksasi ini juga bisa dimaknai sebagai langkah diplomasi fiskal yang bertujuan untuk menjaga ritme kepatuhan sambil tetap mendorong penerimaan negara.
Lebih jauh lagi, kebijakan semacam ini menunjukkan kemampuan fiskal negara untuk beradaptasi terhadap dinamika masyarakat tanpa kehilangan arah penerimaan. Singkatnya, langkah relaksasi DJP adalah manifestasi dari pajak sebagai instrumen pembangunan, bukan sekadar pungutan negara. Ketika kebijakan fiskal mampu berbicara dalam bahasa publik—yakni bahasa pemahaman dan partisipasi—maka di situlah pijakan fiskal menjadi semakin kokoh dan bermakna.
Ke depan, tantangan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menjaga kesinambungan tren kepatuhan ini agar tidak berhenti pada dimensi administratif semata. Dalam kerangka reformasi perpajakan yang menjadi tantangan saat ini seperti implementasi Core Tax Administration System (CTAS) menjadi hal yang perlu dievaluasi oleh DJP untuk memperkuat kapasitas sistem dalam mengelola compliance risk management secara lebih presisi. Melihat target-target besar pemerintah, CTAS diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara kepatuhan formal dan kepatuhan material, sekaligus mendorong integrasi data perpajakan dengan potensi ekonomi wajib pajak secara lebih akurat. Dengan demikian, kebijakan fiskal nasional tidak sekadar responsif terhadap dinamika jangka pendek, tetapi juga harus berorientasi jangka panjang dalam membangun sistem perpajakan yang inklusif.