Tag: PPN

Kenaikan PPN 2025 Sudah Sesuai Regulasi, Pemerintah Perlu Siapkan Insentif

Jakarta, 18 November 2024 – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menuai berbagai tanggapan. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai kebijakan kenaikan tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang ada dan memiliki tujuan strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional.

“Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sudah sesuai regulasi yaitu diatur dalam Pasal 7 UU PPN hasil revisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ini artinya sudah ada kesepakatan antara rakyat, melalui wakilnya di DPR, dengan pemerintah,” jelas Prianto.

Menurut Prianto, kebijakan ini memiliki tujuan utama untuk meningkatkan rasio pajak. “Jika rasio pajak bisa mencapai 15%, akan ada keleluasaan bagi pemerintah untuk mendistribusikan pajak tersebut kembali ke masyarakat,” ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran terkait dampak kenaikan PPN di tengah kondisi ekonomi yang menantang, Prianto menyarankan pemerintah untuk tetap menjalankan amanat UU PPN tersebut sambil menyiapkan berbagai program insentif untuk masyarakat.

“Pemerintah dapat mengambil dua pendekatan kebijakan belanja. Pertama, kebijakan langsung seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat terdampak. Kedua, kebijakan tidak langsung melalui program Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor industri tertentu seperti properti atau tekstil,” jelasnya.

Terkait prospek ekonomi tahun 2025, Prianto tetap optimis namun realistis. “Kondisi warga Indonesia di 2025 akan lebih baik dari sekarang. Namun, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat, khususnya yang terdampak kondisi perekonomian, juga harus proaktif untuk keluar dari kondisi sulit,” tegasnya.

Sekilas Tentang Kenaikan PPN

• Kenaikan PPN dari 11% ke 12% akan berlaku mulai tahun 2025

• Kebijakan ini merupakan bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

• Target rasio pajak nasional adalah 15%

• Pemerintah berencana menyiapkan program kompensasi untuk masyarakat terdampak

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan rencana kenaikan PPN ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat basis perpajakan nasional sekaligus memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia Targetkan Rp945,1 Triliun dari PPN di 2025: Strategi Pergeseran Basis Pajak dan Adopsi Aturan Global

Jakarta, 23 September 2024 – Pemerintah Indonesia membuat langkah berani dengan menetapkan target penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp945,1 triliun untuk tahun 2025. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan sekitar Rp125 triliun dari outlook tahun ini, mengindikasikan perubahan strategi dalam kebijakan perpajakan nasional.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif, mengungkap detail strategi di balik target ambisius ini dan menganalisis langkah terbaru Indonesia dalam arena perpajakan internasional.

Pergeseran Paradigma: Dari PPh ke PPN

“Sejak disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kita menyaksikan pergeseran paradigma dalam basis pemajakan dari Pajak Penghasilan (PPh) ke PPN,” jelas Prianto. Ia menekankan bahwa langkah ini merupakan respons strategis terhadap maraknya praktik perencanaan pajak agresif dalam sistem PPh secara global, termasuk di Indonesia.

Prianto merinci keunggulan sistem PPN: “Basis PPN langsung ke penjualan dengan tarif tertentu. Misalnya, jika tarif PPN 12% dan total penjualan Rp1 miliar, maka PPN yang harus dipungut sebesar Rp120 juta. Perhitungannya sangat simpel dan minim celah untuk aggressive tax planning.” Sebaliknya, ia menjelaskan kelemahan sistem PPh: “Wajib Pajak harus menghitung PPh melalui pengurangan penghasilan dengan beban sebagai pengurang penghasilan bruto. Ini membuka peluang untuk mempraktikkan perlakuan akuntansi yang dapat meminimalkan PPh kurang bayar.”

Adopsi Aturan Pajak Global: MLI STTR

Selain fokus pada peningkatan penerimaan PPN, Indonesia juga mengambil langkah signifikan dalam perpajakan internasional dengan menandatangani kesepakatan Multilateral Instrument Subject-to-Tax Rule (MLI STTR). Prianto menjelaskan bahwa STTR merupakan bagian dari Global Minimum Tax (GMT) dalam Pilar Dua perpajakan internasional. “Melalui Peraturan Pemerintah No. 55/2022, Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk mengatur GMT,” ujarnya. GMT terdiri dari dua komponen utama:

1. Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules: “GloBE rules menetapkan tarif minimum 15% di setiap negara yang mengadopsi Pilar Dua,” Prianto menjelaskan. “Perusahaan multinasional harus membayar pajak tambahan (top-up tax) sebesar selisih antara tarif pajak efektif di setiap yurisdiksi dan tarif minimum 15%, jika tarif efektif tersebut kurang dari 15%.”

2. Subject-to-Tax Rule (STTR): “STTR memungkinkan negara sumber penghasilan mengenakan pajak tambahan hingga 9% atas penghasilan tertentu,” tambah Prianto. Ia merinci bahwa STTR mencakup berbagai jenis penghasilan seperti bunga, royalti, premi asuransi/reasuransi, imbalan jaminan keuangan, biaya pembiayaan, imbalan sewa, dan imbalan atas penyediaan layanan.

Prianto memberikan contoh konkret penerapan STTR: “Jika negara sumber memotong PPh sebesar 5% atas covered income senilai USD 1 juta, dan penerima penghasilan tersebut membayar PPh badan 1% di negara domisilinya, negara sumber masih berhak memotong PPh tambahan berdasarkan STTR sebesar 3% dari USD 1 juta. Perhitungannya adalah (9% – 5% – 1%) x USD 1 juta = 3% x USD 1 juta.”

Tantangan bagi Indonesia

Dengan penandatanganan MLI STTR, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam upaya global menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, Prianto mengingatkan bahwa implementasi aturan baru ini akan memerlukan penyesuaian signifikan dalam sistem perpajakan nasional. “Pemerintah harus mengkaji ulang tarif pemotongan PPh sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang masih di bawah 9%,” ujarnya. “Fokus utama akan diberikan pada tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B.”

Prianto menyimpulkan bahwa kombinasi antara peningkatan target PPN dan adopsi aturan pajak global menunjukkan strategi komprehensif pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dan menjaga keadilan sistem perpajakan. Namun, keberhasilan strategi ini akan bergantung pada implementasi yang cermat dan kemampuan adaptasi sistem perpajakan nasional terhadap standar global yang baru.

Dengan langkah-langkah strategis ini, pemerintah Indonesia tidak hanya berharap dapat mencapai target penerimaan pajak yang ambisius, tetapi juga memperkuat posisinya dalam lanskap perpajakan global yang semakin kompleks. Masyarakat dan pelaku bisnis diharapkan untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan signifikan dalam landscape perpajakan nasional dan internasional ini.