Tag: PPN

Kebijakan di Tengah Lonjakan Keuntungan Batu Bara

Selama dua dekade terakhir, batu bara menjadi pilar penting bagi perekonomian Indonesia. Komoditas ini menyumbang devisa besar melalui ekspor sekaligus menjadi sumber utama pasokan energi nasional. Namun di balik kontribusinya, terdapat dinamika fiskal yang semakin mengemuka pasca perubahan regulasi perpajakan yang menetapkan batu bara sebagai barang kena pajak. Status tersebut membuat produsen batu bara berhak mengajukan restitusi PPN masukan, sementara ekspor tetap diperlakukan dengan tarif PPN 0 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU PPN dan peraturan pelaksananya. Konsekuensinya, negara harus mengembalikan pajak masukan dalam jumlah besar kepada eksportir, terlepas dari situasi harga komoditas di pasar global. Data yang dipaparkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam rapat kerja dengan Komisi XI menunjukkan bahwa restitusi PPN dari sektor ini mencapai sekitar Rp 25 triliun per tahun, menjadikannya salah satu sektor dengan restitusi terbesar di Indonesia.

Ketidakseimbangan inilah yang mendorong pemerintah merumuskan rencana penerapan bea keluar untuk batu bara mulai 2026, sebuah kebijakan yang kini tengah digodok lebih lanjut dalam kerangka undang-undang kepabeanan dan perpajakan, khususnya berlandaskan UU 10/1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU 17/2006. Bea keluar merupakan instrumen fiskal yang secara hukum dapat diterapkan untuk barang tertentu guna menjaga kepentingan nasional, termasuk stabilitas penerimaan negara. Pemerintah memandang kebijakan ini sebagai langkah korektif yang dapat menangkap sebagian keuntungan tambahan ketika harga global sedang tinggi dan pada saat yang sama mengurangi beban negara ketika restitusi meningkat saat harga turun. Dalam perspektif jangka panjang, rancangan ini berpotensi menjadi salah satu reformasi fiskal paling signifikan di sektor pertambangan dalam beberapa tahun terakhir.

Ketidakseimbangan Fiskal dan Rasionalitas Pembentukan Kebijakan Baru

Akar persoalan fiskal batu bara dapat ditelusuri pada perubahan status hukum komoditas ini sebagai BKP. Ketika status tersebut berlaku, eksportir diperkenankan mengajukan restitusi atas PPN masukan yang timbul dari kegiatan produksi, sementara PPN keluaran tidak muncul karena tarif ekspor 0 persen. Secara mekanisme, hal ini sah menurut UU PPN, tetapi menimbulkan konsekuensi fiskal yang besar. Dalam forum DPR, Menteri Keuangan menggambarkan kondisi ini sebagai bentuk “subsidi tidak langsung” yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan fiskal, terutama karena restitusi tetap mengalir meski perusahaan sedang menikmati windfall profit akibat lonjakan harga global.

Masalah tersebut semakin mengemuka ketika dibandingkan dengan tren komoditas tambang lain. Berbagai analisis lembaga publik dan asosiasi industri menunjukkan bahwa akumulasi restitusi dari enam komoditas tambang selama 2020–2023 mencapai ratusan triliun rupiah. Pola ini menunjukkan bahwa masalah yang terjadi pada batu bara bukanlah kasus tunggal, tetapi bagian dari struktur fiskal yang secara sistemik kurang mampu menyeimbangkan risiko antara negara dan pelaku industri.

Melalui bea keluar, pemerintah berupaya memulihkan keseimbangan fiskal tanpa harus merevisi tarif pajak lain yang berdampak luas. Instrumen ini bekerja hanya ketika barang dijual ke luar negeri, sehingga tidak mengganggu dinamika pasar domestik. Perhitungan awal pemerintah menunjukkan bahwa tarif bea keluar antara 1 hingga 5 persen dapat memberikan tambahan penerimaan sekitar Rp 20 triliun per tahun, jumlah yang cukup untuk mengimbangi beban restitusi yang selama ini ditanggung negara.

Dampak Ekonomi, Perilaku Pasar, dan Implikasi bagi Kebijakan Energi

Pengenaan bea keluar tentu membawa implikasi pada struktur industri. Margin eksportir akan mengalami penyesuaian, tetapi pemerintah menilai bahwa mayoritas perusahaan batu bara nasional memiliki kapasitas finansial yang memadai untuk menyerap beban tambahan tersebut. Pengalaman sebelum 2020, ketika batu bara belum menjadi BKP dan restitusi tidak menimbulkan distorsi besar, menunjukkan bahwa industri masih dapat beroperasi secara kompetitif di pasar internasional.

Di sisi lain, pungutan ekspor berpotensi mendorong sebagian pasokan tetap berada di pasar domestik, terutama jika selisih harga setelah dikenakan bea keluar membuat penjualan lokal menjadi lebih menarik. Dampak ini penting bagi stabilitas pasokan nasional, mengingat PLTU masih mendominasi bauran energi Indonesia dan menjadi komponen vital dalam menjaga keandalan sistem kelistrikan. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya berdampak fiskal, tetapi juga memperkuat pengendalian pemerintah atas ketersediaan energi dalam masa transisi menuju sumber energi yang lebih bersih.

Lebih jauh, rencana bea keluar menunjukkan pendekatan baru pemerintah dalam mengoptimalkan nilai fiskal dari sumber daya alam tidak terbarukan. Di tengah tekanan global untuk dekarbonisasi dan berkurangnya peran batu bara dalam jangka panjang, pemerintah berupaya memastikan bahwa nilai ekonomi dari komoditas ini dapat dimaksimalkan selama masa transisi. Penambahan instrumen fiskal seperti bea keluar bukan hanya bertujuan menutup celah kebijakan sebelumnya, tetapi juga untuk memperkuat ruang fiskal dalam mendukung agenda pembangunan, termasuk hilirisasi dan pengembangan energi bersih.

FIA UI Tanamkan Kesadaran Pajak Sejak Sekolah untuk Bentuk Generasi Bijak Pajak

Purwokerto, 14 Oktober 2025 — Kesadaran pajak merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga kemandirian ekonomi dan keberlanjutan pembangunan nasional. Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya peran vital pajak dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari keprihatinan tersebut, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Mengenal Pajak Sejak Usia Sekolah untuk Mewujudkan Generasi Bijak Pajak” di SMAN 1 Purwokerto, Jawa Tengah, pada Selasa, 14 Oktober 2025.

Program ini menjadi bagian dari upaya FIA UI untuk menanamkan kesadaran pajak sejak usia sekolah. Kegiatan tersebut menyasar lebih dari 390 siswa kelas XI dari 11 kelas, dengan pendekatan pembelajaran yang interaktif, aplikatif, dan menyenangkan. Diharapkan, para peserta dapat memahami pajak bukan hanya sebagai kewajiban negara, melainkan juga sebagai bentuk partisipasi aktif dalam membangun kesejahteraan bersama.

Kegiatan pengabdian ini dipimpin oleh Dr. Arfah Habib Saragih, S.E., M.S.Ak., CA., Asean CPA., dosen senior FIA UI yang juga menjadi Ketua Tim Pengabdian Masyarakat, bersama delapan dosen lainnya, antara lain Prof. Dr. Milla Sepliana Setyowati, S.Sos, M.Ak., Dr. Prianto Budi Saptono, M.B.A., Drs. Adang Hendrawan, M. Si., dan Wulandari Kartika Sari, S.Sos, M.A., Dr. Mohammad Wangsit Supriyadi, M.A.В., Dr. Adiwarman, S.H., M.H., Donny Oktavian Syah, S.E., M.E-Bus, Ph.D, dan Ismail Khozen, S.I.A., M.A., CSRS., CSRA, CertDA..

Selama kegiatan berlangsung, para dosen mengajak siswa berdiskusi mengenai bagaimana pajak berperan dalam kehidupan publik, mulai dari penyediaan jalan raya, fasilitas kesehatan, pendidikan, hingga subsidi sosial. Melalui metode partisipatif, para peserta diajak untuk melihat keterkaitan antara pajak yang mereka bayar di masa depan dengan manfaat yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari.

“Pajak sering kali dianggap sebagai beban, padahal sejatinya merupakan wujud gotong royong nasional,” ujar Dr. Arfah Habib Saragih di sela kegiatan. “Dengan mengenalkan pajak sejak dini, kami berharap generasi muda dapat tumbuh menjadi warga negara yang memahami dan menghargai kontribusinya terhadap negara.”

Kegiatan ini juga menekankan pentingnya literasi pajak (tax literacy) sebagai bekal pembentukan sikap kepatuhan pajak di masa depan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian internasional oleh Nora Cechovsky (2018) dalam studi berjudul “The Importance of Tax Knowledge for Tax Compliance”. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang pajak, semakin besar pula kecenderungannya untuk patuh membayar pajak secara sukarela.

Untuk mengukur efektivitas kegiatan, tim FIA UI melakukan survei kepada para peserta. Dari 176 siswa yang memberikan tanggapan, tingkat pengetahuan pajak rata-rata mencapai skor 6,15 dari skala 10. Angka ini menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah memiliki potensi besar dalam memahami konsep perpajakan, asalkan disampaikan dengan pendekatan yang kontekstual dan menarik.

Selain survei literasi, tim juga mengadakan pengukuran social return on investment (SROI) guna mengetahui persepsi peserta terhadap nilai sosial kegiatan tersebut. Rata-rata, para siswa menilai kegiatan ini bernilai setara Rp173.267,00 per orang jika dikonversi ke biaya pelatihan profesional. Nilai ini menunjukkan bahwa kegiatan edukatif tersebut dinilai bermanfaat dan berdampak positif oleh para peserta.

Kegiatan pengabdian masyarakat FIA UI ini menjadi bukti nyata sinergi antara dunia akademik dan kebutuhan masyarakat. Dengan melibatkan siswa sekolah menengah, FIA UI berupaya menciptakan lingkungan belajar yang relevan dengan kehidupan nyata, sekaligus menanamkan nilai-nilai kewarganegaraan. Pendekatan ini dianggap efektif dalam membangun pemahaman bahwa pajak bukan semata angka di atas kertas, tetapi representasi nyata dari kontribusi sosial setiap individu terhadap negara.

Lebih dari sekadar kegiatan edukatif, inisiatif ini juga diharapkan dapat menjadi model pembelajaran lintas daerah. FIA UI berkomitmen untuk memperluas jangkauan program serupa ke berbagai sekolah di Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kesadaran pajak yang masih rendah. “Kami ingin menanamkan nilai tanggung jawab dan kepedulian sosial sejak masa sekolah. Karena masa depan kepatuhan pajak Indonesia bergantung pada generasi muda hari ini,” tambah Dr. Arfah.

Melalui kegiatan ini, FIA UI menegaskan perannya sebagai institusi pendidikan tinggi yang tidak hanya fokus pada pengajaran dan penelitian, tetapi juga berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat. Pembentukan generasi bijak pajak sejak dini diharapkan menjadi langkah awal menuju masyarakat yang lebih sadar, peduli, dan bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa. Dengan penanaman nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, serta gotong royong, diharapkan siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang cerdas secara akademik sekaligus berintegritas dalam peran mereka sebagai warga negara.

Kegiatan “FIA UI Mengabdi” ini menjadi refleksi bahwa membangun kesadaran pajak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, termasuk dunia pendidikan. Karena dari sekolahlah, fondasi karakter dan kesadaran sosial mulai terbentuk dan dari generasi mudalah masa depan kepatuhan pajak Indonesia akan ditentukan.

 

Bangun Rumah Sendiri Kena PPN? Cek Aturan yang Berlaku per 1 Agustus 2025

Memiliki rumah dengan desain sesuai selera adalah impian banyak orang. Sebagian memilih membeli rumah jadi, tetapi tidak sedikit yang lebih suka membangun sendiri. Alasannya beragam, mulai dari menyesuaikan desain, mengatur kualitas material, hingga menekan biaya. Namun, ada satu hal yang kerap luput dari perhatian. Membangun rumah di atas lahan berukuran tertentu juga bisa menimbulkan kewajiban pajak. Aturan ini dikenal dengan nama Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS).

Apa Itu Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)?

Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) adalah aktivitas membangun rumah atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan untuk dipakai sendiri, bukan untuk dijual atau disewakan. Objek pajaknya mencakup rumah tinggal, gedung, ruko, maupun bangunan permanen atau semi permanen lainnya.

Namun, tidak semua pembangunan otomatis dikenai pajak. Ada batasan yang perlu diperhatikan:

  • Subjek Pajak: orang pribadi atau badan yang membangun untuk dipakai sendiri.

  • Objek Pajak: bangunan dengan luas minimal 200 m². Jika kurang dari itu, tidak masuk kategori KMS kena pajak.

  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP): seluruh biaya pembangunan, tidak termasuk harga tanah.

Artinya, kalau seseorang membangun rumah di lahan 200 m² atau lebih, maka wajib menghitung dan membayar PPN KMS.

Tarif PPN KMS Mulai Berlaku 1 Agustus 2025

Pemerintah beberapa kali melakukan perubahan aturan terkait KMS. Terbaru, melalui PMK 53/2025, tarif PPN KMS ditetapkan sebesar 2,4% dari total biaya pembangunan (tidak termasuk tanah). Aturan ini berlaku mulai 1 Agustus 2025. Kewajiban PPN KMS dihitung dan dibayar setiap bulan, sesuai biaya riil pembangunan sampai bangunan selesai. Dengan mekanisme ini, pajak lebih proporsional dan tidak memberatkan arus kas pemilik rumah. Berikut ini merupakan simulasi perhitungan kewajiban perpajakan yang akan timbul apabila seorang membangun rumah di atas lahan sebesar atau lebih dari 200 m² dengan biaya Rp1,2 miliar dalam waktu 3 bulan .

  • Total biaya pembangunan: Rp1.200.000.000

  • Tarif PPN KMS: 2,4%

  • PPN terutang: Rp28.800.000

Jika biaya dikeluarkan bertahap Rp400 juta per bulan selama 3 bulan, maka:

  • Bulan 1: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta

  • Bulan 2: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta

  • Bulan 3: Rp400 juta × 2,4% = Rp9,6 juta

Totalnya tetap Rp28,8 juta, tetapi dibayar sesuai progres pembangunan setiap bulannya.

Mekanisme Bayar dan Lapor

Sistem pajak di Indonesia menganut self-assessment, artinya wajib pajak harus menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri. Untuk KMS, mekanisme pembayaran dan lapor sbb.:

  • Pembayaran: paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah pengeluaran biaya.

  • Pelaporan: dalam SPT Masa PPN paling lambat akhir bulan berikutnya.

Contoh, biaya pembangunan di bulan September 2025 adalah Rp400 juta. PPN sebesar Rp9,6 juta harus dibayar maksimal pada 15 Oktober 2025, lalu dilaporkan dalam SPT Masa PPN September sebelum 31 Oktober 2025.

Risiko Tidak Lapor Melapor

Sebagian orang mungkin berpikir, “Kalau tidak lapor, siapa yang tahu?” Faktanya, kantor pajak punya banyak sumber data dan/atau informasi, misalnya:

  • Persetujuan Bangunan Gedung (PBG),

  • Data tanah dari BPN,

  • Informasi dari kontraktor atau penyedia jasa,

  • Pengawasan langsung di lapangan.

Karena itu, kecil kemungkinan aktivitas membangun rumah terlewat dari radar pajak. Jika seorang wajib pajak terdeteksi tidak melaksanakan dan melaporkan kewajiban PPN KMS, besar kemungkinan terdapat risiko sanksi administrasi maupun denda di kemudian hari.

Pentingnya Perencanaan Pajak

Membangun rumah di lahan 200 m² atau lebih tentu memerlukan biaya besar. Selain menghitung material, tenaga kerja, dan desain, wajib pajak juga harus memasukkan biaya pajak dalam rencana keuangan.

Dengan aturan baru, PPN KMS 2,4% seharusnya tidak dianggap beban besar jika dibandingkan total biaya pembangunan. Misalnya, dari Rp1,2 miliar, pajaknya hanya Rp28,8 juta dan dibayar bertahap sesuai pengeluaran riil.

Membangun rumah sendiri memang menyenangkan karena hasilnya sesuai impian. Namun, perlu diingat bahwa sejak 1 Agustus 2025, membangun di atas lahan minimal 200 m² akan dikenai PPN KMS sebesar 2,4% dari biaya pembangunan. Dengan memahami mekanisme pembayaran dan pelaporan sejak awal, pemilik rumah bisa membangun dengan tenang tanpa risiko terkena sanksi pajak di kemudian hari.

Kenaikan PPN 2025 Sudah Sesuai Regulasi, Pemerintah Perlu Siapkan Insentif

Jakarta, 18 November 2024 – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menuai berbagai tanggapan. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai kebijakan kenaikan tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang ada dan memiliki tujuan strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional.

“Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sudah sesuai regulasi yaitu diatur dalam Pasal 7 UU PPN hasil revisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ini artinya sudah ada kesepakatan antara rakyat, melalui wakilnya di DPR, dengan pemerintah,” jelas Prianto.

Menurut Prianto, kebijakan ini memiliki tujuan utama untuk meningkatkan rasio pajak. “Jika rasio pajak bisa mencapai 15%, akan ada keleluasaan bagi pemerintah untuk mendistribusikan pajak tersebut kembali ke masyarakat,” ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran terkait dampak kenaikan PPN di tengah kondisi ekonomi yang menantang, Prianto menyarankan pemerintah untuk tetap menjalankan amanat UU PPN tersebut sambil menyiapkan berbagai program insentif untuk masyarakat.

“Pemerintah dapat mengambil dua pendekatan kebijakan belanja. Pertama, kebijakan langsung seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat terdampak. Kedua, kebijakan tidak langsung melalui program Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor industri tertentu seperti properti atau tekstil,” jelasnya.

Terkait prospek ekonomi tahun 2025, Prianto tetap optimis namun realistis. “Kondisi warga Indonesia di 2025 akan lebih baik dari sekarang. Namun, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat, khususnya yang terdampak kondisi perekonomian, juga harus proaktif untuk keluar dari kondisi sulit,” tegasnya.

Sekilas Tentang Kenaikan PPN

• Kenaikan PPN dari 11% ke 12% akan berlaku mulai tahun 2025

• Kebijakan ini merupakan bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

• Target rasio pajak nasional adalah 15%

• Pemerintah berencana menyiapkan program kompensasi untuk masyarakat terdampak

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan rencana kenaikan PPN ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat basis perpajakan nasional sekaligus memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia Targetkan Rp945,1 Triliun dari PPN di 2025: Strategi Pergeseran Basis Pajak dan Adopsi Aturan Global

Jakarta, 23 September 2024 – Pemerintah Indonesia membuat langkah berani dengan menetapkan target penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp945,1 triliun untuk tahun 2025. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan sekitar Rp125 triliun dari outlook tahun ini, mengindikasikan perubahan strategi dalam kebijakan perpajakan nasional.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif, mengungkap detail strategi di balik target ambisius ini dan menganalisis langkah terbaru Indonesia dalam arena perpajakan internasional.

Pergeseran Paradigma: Dari PPh ke PPN

“Sejak disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kita menyaksikan pergeseran paradigma dalam basis pemajakan dari Pajak Penghasilan (PPh) ke PPN,” jelas Prianto. Ia menekankan bahwa langkah ini merupakan respons strategis terhadap maraknya praktik perencanaan pajak agresif dalam sistem PPh secara global, termasuk di Indonesia.

Prianto merinci keunggulan sistem PPN: “Basis PPN langsung ke penjualan dengan tarif tertentu. Misalnya, jika tarif PPN 12% dan total penjualan Rp1 miliar, maka PPN yang harus dipungut sebesar Rp120 juta. Perhitungannya sangat simpel dan minim celah untuk aggressive tax planning.” Sebaliknya, ia menjelaskan kelemahan sistem PPh: “Wajib Pajak harus menghitung PPh melalui pengurangan penghasilan dengan beban sebagai pengurang penghasilan bruto. Ini membuka peluang untuk mempraktikkan perlakuan akuntansi yang dapat meminimalkan PPh kurang bayar.”

Adopsi Aturan Pajak Global: MLI STTR

Selain fokus pada peningkatan penerimaan PPN, Indonesia juga mengambil langkah signifikan dalam perpajakan internasional dengan menandatangani kesepakatan Multilateral Instrument Subject-to-Tax Rule (MLI STTR). Prianto menjelaskan bahwa STTR merupakan bagian dari Global Minimum Tax (GMT) dalam Pilar Dua perpajakan internasional. “Melalui Peraturan Pemerintah No. 55/2022, Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk mengatur GMT,” ujarnya. GMT terdiri dari dua komponen utama:

1. Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules: “GloBE rules menetapkan tarif minimum 15% di setiap negara yang mengadopsi Pilar Dua,” Prianto menjelaskan. “Perusahaan multinasional harus membayar pajak tambahan (top-up tax) sebesar selisih antara tarif pajak efektif di setiap yurisdiksi dan tarif minimum 15%, jika tarif efektif tersebut kurang dari 15%.”

2. Subject-to-Tax Rule (STTR): “STTR memungkinkan negara sumber penghasilan mengenakan pajak tambahan hingga 9% atas penghasilan tertentu,” tambah Prianto. Ia merinci bahwa STTR mencakup berbagai jenis penghasilan seperti bunga, royalti, premi asuransi/reasuransi, imbalan jaminan keuangan, biaya pembiayaan, imbalan sewa, dan imbalan atas penyediaan layanan.

Prianto memberikan contoh konkret penerapan STTR: “Jika negara sumber memotong PPh sebesar 5% atas covered income senilai USD 1 juta, dan penerima penghasilan tersebut membayar PPh badan 1% di negara domisilinya, negara sumber masih berhak memotong PPh tambahan berdasarkan STTR sebesar 3% dari USD 1 juta. Perhitungannya adalah (9% – 5% – 1%) x USD 1 juta = 3% x USD 1 juta.”

Tantangan bagi Indonesia

Dengan penandatanganan MLI STTR, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam upaya global menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, Prianto mengingatkan bahwa implementasi aturan baru ini akan memerlukan penyesuaian signifikan dalam sistem perpajakan nasional. “Pemerintah harus mengkaji ulang tarif pemotongan PPh sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang masih di bawah 9%,” ujarnya. “Fokus utama akan diberikan pada tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B.”

Prianto menyimpulkan bahwa kombinasi antara peningkatan target PPN dan adopsi aturan pajak global menunjukkan strategi komprehensif pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dan menjaga keadilan sistem perpajakan. Namun, keberhasilan strategi ini akan bergantung pada implementasi yang cermat dan kemampuan adaptasi sistem perpajakan nasional terhadap standar global yang baru.

Dengan langkah-langkah strategis ini, pemerintah Indonesia tidak hanya berharap dapat mencapai target penerimaan pajak yang ambisius, tetapi juga memperkuat posisinya dalam lanskap perpajakan global yang semakin kompleks. Masyarakat dan pelaku bisnis diharapkan untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan signifikan dalam landscape perpajakan nasional dan internasional ini.