Tag: Kepatuhan pajak

Apakah Pajak Hiburan untuk Olahraga Sudah Tepat Sasaran?

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menerapkan pajak hiburan sebesar 10 persen terhadap sejumlah aktivitas olahraga komersial, seperti gym, yoga, padel, jetski, futsal, dan sebagainya. Kebijakan ini diambil sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan diperjelas melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 serta SK Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025.

Untuk kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), pemerintah daerah diberi kewenangan mengenakan pajak atas jasa kesenian dan hiburan. Di dalamnya kini dimasukkan pula berbagai aktivitas olahraga seperti futsal, gym, kolam renang, padel, yoga, hingga jetski. Pengecualian berlaku untuk golf karena sudah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh pemerintah pusat.

Namun demikian, langkah tersebut memunculkan pertanyaan fundamental, apakah olahraga adalah hiburan yang patut dikenai pajak? Atau sebaliknya, justru memang masih merupakan kebutuhan dasar warga kota untuk menjaga kesehatan?

Antara Hiburan dan Kebutuhan Kesehatan

Ketua Umum Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA), Prianto Budi Saptono, menyatakan bahwa pengenaan pajak hiburan terhadap olahraga merupakan hasil ekstensifikasi objek pajak daerah, sesuai mandat undang-undang. Dalam praktiknya, banyak bentuk olahraga telah bertransformasi menjadi gaya hidup modern—mengandung elemen hiburan, gaya, bahkan eksklusivitas.

Olahraga padel, misalnya, yang kini menjadi tren di kalangan kelas menengah atas Jakarta, punya harga sewa lapangan mencapai Rp400.000–Rp550.000 per jam. Menurut Kevin Mizan, host komunitas padel Padelton, jumlah anggota terus melonjak hingga 1.800 orang, dan lapangan padel penuh dipesan hingga tiga bulan ke depan. Dengan latar ini, penarikan pajak 10 persen memang tampak logis.

Akan tetapi, bagaimana dengan kegiatan olahraga lain? Banyak warga mengikuti yoga, renang, dan futsal bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental. Apakah kebijakan pajak ini mempertimbangkan perbedaan intensi dan aksesibilitas antar segmen masyarakat?

Efisiensi Pendapatan atau Beban Tersembunyi?

Dari kacamata fiskal, pajak atas olahraga komersial dapat dimaklumi sebagai upaya ekstensifikasi sumber pendapatan daerah. Namun, harus dicermati bahwa kesehatan publik juga merupakan prioritas pembangunan. Jika kebijakan fiskal justru menjadi disinsentif terhadap aktivitas sehat masyarakat, maka tujuan jangka panjang pembangunan manusia bisa terhambat.

Data dari BPS (2023) menunjukkan bahwa 41 persen masyarakat perkotaan mengakses fasilitas olahraga privat, terutama karena keterbatasan ruang publik. Pengenaan pajak justru memperbesar beban biaya yang harus ditanggung konsumen. Di sisi lain, harga sewa lapangan padel di Jakarta sudah mencapai Rp400.000–Rp550.000 per jam, belum termasuk jasa pelatih atau sewa perlengkapan. Tambahan pajak 10 persen bisa memicu peningkatan harga dan menurunkan aksesibilitas, terutama bagi kelompok menengah.

Dalam kondisi ini, pemerintah daerah seharusnya memisahkan antara olahraga massal (untuk kesehatan) dan olahraga rekreatif-eksklusif (untuk hiburan) secara lebih proporsional, bukan menyeragamkan perlakuan pajaknya.

Dari sisi regulasi, Pasal 49 Perda DKI Nomor 1 Tahun 2024 menyebutkan bahwa PBJT dikenakan atas “olahraga permainan yang menggunakan tempat dan perlengkapan khusus.” Formulasi ini cukup longgar, dan dapat menimbulkan tumpang tindih penafsiran. Misalnya, kegiatan yoga atau senam aerobik yang dilaksanakan di taman atau komunitas terbuka — apakah ini juga masuk objek pajak? Padahal, kebanyakan dari Masyarakat mengikuti olahraga adalah untuk hidup sehat, bukan hiburan.

Ketimpangan Kebijakan dalam Skema PBJT

Jenis aktivitas olahraga yang terkena pajak meliputi hampir semua fasilitas, dari gym hingga sasana tinju. Anehnya, olahraga seperti golf justru tidak dikenai pajak hiburan daerah karena sudah dikategorikan sebagai objek PPN pusat. Ini menimbulkan kesan diskriminatif: olahraga yang sangat elite justru “lolos” dari pajak daerah, sementara olahraga yang lebih membumi malah dikenakan pungutan.

Di sisi lain, masyarakat pun masih bingung oleh kurangnya sosialisasi. August Hamonangan, Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, menyebut bahwa meskipun payung hukumnya jelas (Pasal 49 Perda No. 1/2024), pemerintah nampaknya perlu mengomunikasikan esensinya kepada publik. Ketika masyarakat belum memahami esensi fiskal dari sebuah kebijakan, legitimasi publik pun sangat rentan.

Pajak yang Proporsional dan Progresif sebagai Jalan Tengah

Sebagai instrumen fiskal, pajak tidak hanya bertujuan untuk mengumpulkan penerimaan. Ia juga berfungsi sebagai alat redistribusi kesejahteraan dan insentif kebijakan publik. Dalam konteks ini, pendekatan proporsional—yakni membedakan antara olahraga rekreasi komersial dengan aktivitas kesehatan komunitas—perlu segera diterapkan.

  • Untuk olahraga mewah dengan karakteristik eksklusif (padel, jetski, golf), pajak hiburan 10 persen adalah bentuk kontribusi wajar dari kelompok berdaya beli tinggi.
  • Sebaliknya, untuk olahraga komunitas yang menyasar kelas pekerja atau pelajar, perlu disusun skema pembebasan, subsidi, atau insentif berbasis nilai kesehatan masyarakat.

Pemerintah DKI Jakarta juga harus menyalurkan hasil pajak secara transparan, misalnya untuk pembangunan ruang olahraga publik, renovasi GOR komunitas, atau subsidi keanggotaan olahraga rakyat. Tanpa ini, publik akan menganggap pajak olahraga sebagai beban, bukan sebagai investasi.

Pajak olahraga adalah contoh bagaimana fiskal harus bertemu dengan etika dan logika kebijakan. Jika orientasinya hanya mengejar tren dan angka penerimaan tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan nilai kesehatan, maka kebijakan ini akan kehilangan fondasinya.

Sebaliknya, bila diterapkan dengan diferensiasi, sosialisasi, dan pengembalian manfaat, maka pajak olahraga bisa menjadi instrumen pembangunan inklusif, yaitu sinergi antara fiskal, gaya hidup sehat, sekaligus keadilan sosial.

Seperti disampaikan oleh Prianto, “Perlu dijelaskan oleh pemerintah apakah benar ada esensi hiburan dalam olahraga”, dalam hal ini kita perlu membuka ruang diskusi yang lebih jernih, bukan hanya mengutip pasal, tetapi juga memahami dampak riil kebijakan terhadap publik luas.

Kebijakan pajak olahraga memang sah secara regulasi, tetapi perlu ditimbang secara lebih bijak dari aspek sosial dan ekonomi. Pajak tidak boleh menjadi penghalang akses masyarakat terhadap pola hidup sehat. Pemerintah daerah tidak harus selalu mengandalkan logika fiskal, tetapi perlu mulai membangun kebijakan pajak yang proporsional, adil, dan berpihak pada kualitas hidup warga kota. Jika olahraga diposisikan sebagai bagian dari investasi kesehatan nasional, maka pajaknya pun harus berimbang dengan nilai kemanfaatan jangka panjang

Tantangan Dirjen Pajak Baru dalam Mengatasi Kebocoran Pajak dan Meningkatkan Kepatuhan

Dalam konteks perpajakan nasional, kebocoran pajak bukan sekadar terminologi teknis, melainkan refleksi dari problem struktural dan kelemahan kelembagaan. Menurut data Indonesia Economic Quarterly terbaru yang dirilis Bank Dunia (Mei 2025), rasio pajak Indonesia masih stagnan di kisaran 10,4% terhadap PDB, jauh di bawah rata-rata negara-negara ASEAN yang telah mencapai 15–17%. Hal ini menunjukkan adanya celah besar antara potensi dan realisasi penerimaan pajak, sekaligus suatu indikasi kuat bahwa kebocoran pajak bukan isu spekulatif, melainkan hal yang nyata.

Menuru Prianto Budi Saptono, Ketua IFTAA, istilah “kebocoran” sendiri punya dua makna dalam KBBI. Pertama, terkait dengan masuknya sesuatu dari celah yang tak semestinya (misalnya air), dan kedua, menyangkut tersebarnya sesuatu yang seharusnya dirahasiakan. Dalam perpajakan, keduanya relevan. Kebocoran bisa berarti hilangnya penerimaan negara melalui celah hukum atau praktik ilegal, dan juga terkait penyalahgunaan kewenangan oleh aparat.

Prianto mengelompokkan penyebab kebocoran ke dalam dua kategori utama yaitu UGE dan kongkalikong:

  1. Shadow/Underground Economy (UGE)
    UGE mencakup empat jenis aktivitas ekonomi:
    • Illegal economy: perdagangan narkoba, senjata, dll;
    • Unreported economy: pendapatan sah tetapi tidak dilaporkan;
    • Unrecorded economy: kegiatan yang tidak tercatat dalam sistem akuntansi; dan
    • Informal economy: UMKM dengan potensi pajak rendah.

Dari keempat jenis ini, dua yang paling berdampak pada penerimaan pajak adalah unreported dan unrecorded economy. Praktik seperti tax avoidance dan tax evasion sering terjadi di sini. Tax avoidance memanfaatkan celah aturan, sementara tax evasion jelas melanggar hukum. Keduanya bisa menimbulkan sengketa, yang seringkali dibawa hingga Mahkamah Agung.

2. Kongkalikong antara Wajib Pajak dan Oknum Aparat Pajak

Praktik seperti tax evasion, yaitu penghindaran pajak yang melanggar hukum, merupakan indikasi adanya kegagalan sistem pengawasan internal. Ilustrasi konkret misalnya pada sebuah perusahaan yang seharusnya menyetor Rp1 miliar pajak, justru hanya membayar Rp100 juta. Sisanya? Sebagian masuk ke kantong oknum, sebagian menjadi “keuntungan ilegal” wajib pajak.

Contoh klasik adalah kasus Gayus Tambunan, terkuak karena transaksi mencurigakan di rekening bank. Demikian pula kasus Raphael Alun, yang mencuat dari kasus Mario Dandy, anaknya, dan berujung pada temuan kekayaan tak wajar. Kasus keduanya membuktikan bahwa integritas aparat pajak adalah isu mendasar.

Dalam hal ini, kita bukan hanya bicara tentang kelalaian administrasi, tetapi kejahatan fiskal yang terstruktur. Namun, menyalahkan semata individu tidak cukup. Kita perlu menyoroti kerentanan system, celah dalam core tax system, lemahnya sistem pengawasan seperti KITSDA atau Inspektorat Jenderal, serta minimnya integrasi dengan sistem perbankan dan pelaporan transaksi keuangan.

Langkah Dirjen Pajak Baru

Pertama, Dirjen Pajak baru harus melanjutkan reformasi coretax yang menjadi tulang punggung digitalisasi sistem pajak. Sistem yang transparan dan berbasis data real-time akan mempersulit celah manipulasi dan kongkalikong.

Kedua, penegakan hukum harus diperkuat. Tidak cukup hanya dengan tindakan administratif. Harus ada kolaborasi lintas institusi—PPATK, KPK, Bareskrim, OJK—untuk mendeteksi pola transaksi mencurigakan sejak dini.

Ketiga, membangun budaya kepatuhan pajak secara sukarela (voluntary tax compliance) dengan meningkatkan edukasi dan kepercayaan publik terhadap keadilan fiskal. Selama publik masih melihat bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil, kepatuhan akan tetap rendah.

Keempat, melakukan audit berbasis risiko dan memperluas penggunaan data eksternal (big data), seperti pelaporan dari e-commerce, transaksi non-tunai, dan SPT lintas entitas.

Berapa Besar Kebocoran Pajak?

Menurut Prianto, mengukur kebocoran pajak nyaris mustahil secara presisi karena menyangkut transaksi yang tak tercatat atau tak dilaporkan. Estimasi pun hanya bisa dilakukan dengan pendekatan moneter, misalnya dari jumlah peredaran uang tunai. World Bank (2024) memperkirakan potensi kebocoran sekitar 3–4% dari PDB, atau sekitar Rp500–600 triliun per tahun. Angka yang secara teoritis bisa menutup defisit APBN tanpa tambahan utang.

Pengawasan pun sebenarnya sudah ada di berbagai level, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) di lingkungan Ditjen Pajak, Inspektorat Jenderal Kemenkeu, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di tingkat pemerintah pusat

Namun, keberadaan lembaga pengawas saja belum cukup. Banyak kongkalikong justru lolos karena adanya kesepakatan informal antara WP dan petugas sebelum proses hukum terbuka. Dalam konteks ini, transparansi sistem (misalnya melalui digitalisasi core tax) lebih krusial dari sekadar pengawasan manual.

Membangun Ulang Kepercayaan

Dirjen Pajak baru menghadapi tantangan besar, namun juga memiliki peluang untuk mengukir warisan reformasi fiskal yang berdampak jangka panjang. Masalah kebocoran pajak bukan hanya teknis, tetapi simbol dari lemahnya tata kelola, integritas, dan kepercayaan publik.

Jika tiga fondasi utama—perbaikan coretax, pencegahan kebocoran, dan peningkatan rasio pajak—dijalankan secara simultan, bukan tidak mungkin Indonesia dapat mencapai rasio pajak di atas 13% dalam lima tahun ke depan, mendekati standar negara maju dan menopang visi Indonesia Emas 2045.