Tag: DJP

Tantangan Dirjen Pajak Baru dalam Mengatasi Kebocoran Pajak dan Meningkatkan Kepatuhan

Dalam konteks perpajakan nasional, kebocoran pajak bukan sekadar terminologi teknis, melainkan refleksi dari problem struktural dan kelemahan kelembagaan. Menurut data Indonesia Economic Quarterly terbaru yang dirilis Bank Dunia (Mei 2025), rasio pajak Indonesia masih stagnan di kisaran 10,4% terhadap PDB, jauh di bawah rata-rata negara-negara ASEAN yang telah mencapai 15–17%. Hal ini menunjukkan adanya celah besar antara potensi dan realisasi penerimaan pajak, sekaligus suatu indikasi kuat bahwa kebocoran pajak bukan isu spekulatif, melainkan hal yang nyata.

Menuru Prianto Budi Saptono, Ketua IFTAA, istilah “kebocoran” sendiri punya dua makna dalam KBBI. Pertama, terkait dengan masuknya sesuatu dari celah yang tak semestinya (misalnya air), dan kedua, menyangkut tersebarnya sesuatu yang seharusnya dirahasiakan. Dalam perpajakan, keduanya relevan. Kebocoran bisa berarti hilangnya penerimaan negara melalui celah hukum atau praktik ilegal, dan juga terkait penyalahgunaan kewenangan oleh aparat.

Prianto mengelompokkan penyebab kebocoran ke dalam dua kategori utama yaitu UGE dan kongkalikong:

  1. Shadow/Underground Economy (UGE)
    UGE mencakup empat jenis aktivitas ekonomi:
    • Illegal economy: perdagangan narkoba, senjata, dll;
    • Unreported economy: pendapatan sah tetapi tidak dilaporkan;
    • Unrecorded economy: kegiatan yang tidak tercatat dalam sistem akuntansi; dan
    • Informal economy: UMKM dengan potensi pajak rendah.

Dari keempat jenis ini, dua yang paling berdampak pada penerimaan pajak adalah unreported dan unrecorded economy. Praktik seperti tax avoidance dan tax evasion sering terjadi di sini. Tax avoidance memanfaatkan celah aturan, sementara tax evasion jelas melanggar hukum. Keduanya bisa menimbulkan sengketa, yang seringkali dibawa hingga Mahkamah Agung.

2. Kongkalikong antara Wajib Pajak dan Oknum Aparat Pajak

Praktik seperti tax evasion, yaitu penghindaran pajak yang melanggar hukum, merupakan indikasi adanya kegagalan sistem pengawasan internal. Ilustrasi konkret misalnya pada sebuah perusahaan yang seharusnya menyetor Rp1 miliar pajak, justru hanya membayar Rp100 juta. Sisanya? Sebagian masuk ke kantong oknum, sebagian menjadi “keuntungan ilegal” wajib pajak.

Contoh klasik adalah kasus Gayus Tambunan, terkuak karena transaksi mencurigakan di rekening bank. Demikian pula kasus Raphael Alun, yang mencuat dari kasus Mario Dandy, anaknya, dan berujung pada temuan kekayaan tak wajar. Kasus keduanya membuktikan bahwa integritas aparat pajak adalah isu mendasar.

Dalam hal ini, kita bukan hanya bicara tentang kelalaian administrasi, tetapi kejahatan fiskal yang terstruktur. Namun, menyalahkan semata individu tidak cukup. Kita perlu menyoroti kerentanan system, celah dalam core tax system, lemahnya sistem pengawasan seperti KITSDA atau Inspektorat Jenderal, serta minimnya integrasi dengan sistem perbankan dan pelaporan transaksi keuangan.

Langkah Dirjen Pajak Baru

Pertama, Dirjen Pajak baru harus melanjutkan reformasi coretax yang menjadi tulang punggung digitalisasi sistem pajak. Sistem yang transparan dan berbasis data real-time akan mempersulit celah manipulasi dan kongkalikong.

Kedua, penegakan hukum harus diperkuat. Tidak cukup hanya dengan tindakan administratif. Harus ada kolaborasi lintas institusi—PPATK, KPK, Bareskrim, OJK—untuk mendeteksi pola transaksi mencurigakan sejak dini.

Ketiga, membangun budaya kepatuhan pajak secara sukarela (voluntary tax compliance) dengan meningkatkan edukasi dan kepercayaan publik terhadap keadilan fiskal. Selama publik masih melihat bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil, kepatuhan akan tetap rendah.

Keempat, melakukan audit berbasis risiko dan memperluas penggunaan data eksternal (big data), seperti pelaporan dari e-commerce, transaksi non-tunai, dan SPT lintas entitas.

Berapa Besar Kebocoran Pajak?

Menurut Prianto, mengukur kebocoran pajak nyaris mustahil secara presisi karena menyangkut transaksi yang tak tercatat atau tak dilaporkan. Estimasi pun hanya bisa dilakukan dengan pendekatan moneter, misalnya dari jumlah peredaran uang tunai. World Bank (2024) memperkirakan potensi kebocoran sekitar 3–4% dari PDB, atau sekitar Rp500–600 triliun per tahun. Angka yang secara teoritis bisa menutup defisit APBN tanpa tambahan utang.

Pengawasan pun sebenarnya sudah ada di berbagai level, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) di lingkungan Ditjen Pajak, Inspektorat Jenderal Kemenkeu, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di tingkat pemerintah pusat

Namun, keberadaan lembaga pengawas saja belum cukup. Banyak kongkalikong justru lolos karena adanya kesepakatan informal antara WP dan petugas sebelum proses hukum terbuka. Dalam konteks ini, transparansi sistem (misalnya melalui digitalisasi core tax) lebih krusial dari sekadar pengawasan manual.

Membangun Ulang Kepercayaan

Dirjen Pajak baru menghadapi tantangan besar, namun juga memiliki peluang untuk mengukir warisan reformasi fiskal yang berdampak jangka panjang. Masalah kebocoran pajak bukan hanya teknis, tetapi simbol dari lemahnya tata kelola, integritas, dan kepercayaan publik.

Jika tiga fondasi utama—perbaikan coretax, pencegahan kebocoran, dan peningkatan rasio pajak—dijalankan secara simultan, bukan tidak mungkin Indonesia dapat mencapai rasio pajak di atas 13% dalam lima tahun ke depan, mendekati standar negara maju dan menopang visi Indonesia Emas 2045.

SPT Tahunan 2024 Tembus 13 Juta, DJP Beri Kebijakan Relaksasi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, hingga 11 April 2025, sebanyak 13 juta Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) telah diterima untuk tahun pajak 2024. Dari total tersebut, 12,63 juta berasal dari wajib pajak orang pribadi dan 380,53 ribu dari badan usaha. Angka ini menunjukkan pertumbuhan pelaporan sebesar 3,26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini menandakan tren kepatuhan yang terus membaik di tengah tantangan reformasi administrasi perpajakan yang semakin kompleks dan terus mengalami perubahan.

Peningkatan jumlah pelaporan SPT tersebut tidak hanya mencerminkan aspek kepatuhan administratif, tetapi juga dapat mengindikasikan bahwa proses digitalisasi sistem perpajakan mulai memasuki fase konsolidasi. Dalam kerangka ekonomi fiskal, ini dapat dibaca sebagai hasil dari proses transisi menuju compliance-based taxation, yaitu kondisi kepatuhan didorong melalui penyederhanaan prosedur dan perluasan akses teknologi.

Sebagian besar pelaporan dilakukan secara elektronik, yang mencerminkan peningkatan literasi digital dan efisiensi layanan perpajakan. Tercatat 10,98 juta SPT dilaporkan melalui e-filing, 1,49 juta menggunakan e-form, dan 630 melalui eSPT. Hanya sekitar 537,92 ribu SPT yang masih dilaporkan secara manual melalui kantor pelayanan pajak. Namun, momentum pelaporan tahun ini sedikit terganggu oleh libur nasional dan cuti bersama yang cukup panjang pada akhir Maret hingga awal April 2025, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri. Kondisi ini membuat jumlah hari kerja efektif di bulan Maret berkurang cukup drastis.

Baca juga:  Optimalisasi Penerimaan Pajak di Tahun 2025

Kebijakan Responsif melalui Relaksasi Pajak

Menanggapi situasi tersebut, DJP segera mengambil langkah kebijakan yang responsif, yaitu memberikan relaksasi administratif berupa penghapusan sanksi atas keterlambatan pelaporan SPT dan pembayaran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak orang pribadi. Kebijakan relaksasi ini berlaku untuk pelaporan yang dilakukan setelah batas waktu normal (31 Maret) hingga 11 April 2025, tanpa dikenakan Surat Tagihan Pajak (STP). Kebijakan ini bersifat taktis dan adaptif, menghindari penalti kepada wajib pajak yang terdampak libur panjang, tanpa mengorbankan asas keadilan dan kepastian hukum di tengah momentum perayaan hari keagamaan yang mayoritas masyarakat merayakannya. Di sisi wajib pajak, wajib pajak mendapatkan kesempatan dan terpacu untuk tetap meningkatkan kepatuhan pajak tanpa ragu akan terkena sanksi administratif.

Kebijakan relaksasi ini bukan sekadar respons teknis terhadap kendala administratif, tetapi juga bagian dari strategi keberlanjutan fiskal. Kebijakan adaptif semacam ini dapat mencerminkan transformasi karakter otoritas pajak dari sekadar kolektor menjadi fasilitator kepatuhan. Ketika kebijakan fiskal mampu memahami konteks sosial dan kalender nasional, maka sistem perpajakan akan lebih dipercaya, sehingga ruang kepatuhan sukarela berpotensi menjadi lebih luas tanpa perlu menambah beban regulasi.

Di sisi lain, peningkatan pelaporan SPT 2024 dibandingkan tahun sebelumnya (2023) mencerminkan keberhasilan modernisasi sistem administrasi perpajakan. Akan tetapi, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk terus menerapkan ekspansi basis pajak untuk memperbaiki tax ratio yang cenderung masih rendah. Peningkatan kepatuhan formal, seperti pelaporan SPT, perlu didorong lebih jauh ke arah kepatuhan material, yaitu memastikan pelaporan sesuai dengan potensi ekonomi riil wajib pajak. Maka dari itu, kebijakan relaksasi ini juga bisa dimaknai sebagai langkah diplomasi fiskal yang bertujuan untuk menjaga ritme kepatuhan sambil tetap mendorong penerimaan negara.

Lebih jauh lagi, kebijakan semacam ini menunjukkan kemampuan fiskal negara untuk beradaptasi terhadap dinamika masyarakat tanpa kehilangan arah penerimaan. Singkatnya, langkah relaksasi DJP adalah manifestasi dari pajak sebagai instrumen pembangunan, bukan sekadar pungutan negara. Ketika kebijakan fiskal mampu berbicara dalam bahasa publik—yakni bahasa pemahaman dan partisipasi—maka di situlah pijakan fiskal menjadi semakin kokoh dan bermakna.

Ke depan, tantangan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menjaga kesinambungan tren kepatuhan ini agar tidak berhenti pada dimensi administratif semata. Dalam kerangka reformasi perpajakan yang menjadi tantangan saat ini seperti implementasi Core Tax Administration System (CTAS) menjadi hal yang perlu dievaluasi oleh DJP untuk memperkuat kapasitas sistem dalam mengelola compliance risk management secara lebih presisi. Melihat target-target besar pemerintah, CTAS diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara kepatuhan formal dan kepatuhan material, sekaligus mendorong integrasi data perpajakan dengan potensi ekonomi wajib pajak secara lebih akurat. Dengan demikian, kebijakan fiskal nasional tidak sekadar responsif terhadap dinamika jangka pendek, tetapi juga harus berorientasi jangka panjang dalam membangun sistem perpajakan yang inklusif.