Category: Artikel Populer

Haruskah Tarif Pajak Hiburan Melonjak?

Pesatnya aktivitas bisnis dan kegiatan ekonomi terutama di daerah metropolitan, membuat masyarakat meningkatkan kecenderungannya untuk mencari hiburan. Kebutuhan akan hiburan tergolong tersier sehingga hanya dapat dijangkau oleh masyarakat golongan atau kelas tertentu.

Sejak pertengahan Januari ini, pemberitaan terkait kenaikan tarif pajak hiburan santer diberitakan  banyak media nasional. Pajak hiburan sendiri diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU HKPD telah berlaku efektif sejak 1 Januari 2022. Pertanyaannya, mengapa protes terkait pajak hiburan baru ramai akhir-akhir ini?

UU HKPD mereformasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk sumber penerimaan daerah dari pajak dan retribusi. Sesuai Undang-undang HKPD Pasal 1 angka 49, Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/ atau keramaian untuk dinikmati.

Lebih lanjut, Pasal 50 huruf e UU HKPD mengatur bahwa Jasa Kesenian dan Hiburan termasuk Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Pajak hiburan dibayarkan oleh konsumen akhir atas suatu konsumsi hiburan dan pemungutanya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Pada Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU HKPD, tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Sementara itu, khusus jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif pajaknya ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Timbul pertanyaan, mengapa tarif pajak jasa hiburan tertentu tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan PBJT pada umumnya. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Christyana mengatakan bahwa alasanya adalah daya beli konsumen terhadap hiburan (diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa) hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas tertentu. Terlebih lagi, pemerintah bahkan perlu menekan konsumsi atas jasa tersebut.

Akan tetapi, aturan tersebut justru memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat, yang mempertanyakan landasan batas minimal 40% untuk PBJT hiburan tertentu yang dianggap muncul secara tiba-tiba. Dikutip dari CNBC Indonesia (16/1/2024), pakar pajak sekaligus Ketua IFTAA, Dr. Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa usulan tarif 40% untuk jasa hiburan sebenarnya telah dimasukkan dalam naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) HKPD, bukan diambil secara mendadak.

Penetapan tarif pajak hiburan di dalam UU HKPD ternyata telah mendapat dukungan dari sejumlah fraksi partai. Mereka yang mendukung kenaikan tarif PBJT menilai bahwa jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa hanya dinikmati oleh masyarakat kalangan atas. Dalam RUU HKPD, sebetulnya tarif tertinggi yang diusulkan pemerintah khusus PBJT untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa adalah 40%. Akan tetapi, pada UU HKPD akhirnya tarif jasa tersebut ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Lebih lanjut, Dr. Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa besaran tarif 40%-75% memang tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi daerah atau sektor usaha yang tercakup dalam batasan tarif tersebut. Menurut Prianto, rentang tarif tersebut dianggap tepat secara politik karena UU HKPD merupakan hasil kompromi politik antara pemerintah eksekutif dan pemerintah legislatif.

Meskipun demikian, beliau mengkritisi formulasi RUU HKPD yang minim akan keterlibatan pakar pajak dan pengusaha selaku pihak yang diatur. Sebagai konsekuensinya, saat UU HKPD yang berlaku mulai 1 Januari 2022 harus diturunkan ke Peraturan Daerah, timbul penentangan di masyarakat/pengusaha/stakeholder.

Sementara itu, UU HKPD menetapkan tarif PBJT paling tinggi 10% selain untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa. Tujuannya adalah memberikan dorongan bagi pengusaha sektor pariwisata. Hal ini berbeda dengan pajak hiburan tertentu tersebut yang dikenakan tarif tinggi dengan alasan untuk mengendalikan konsumsinya.

Dengan demikian, kebijakan tarif pajak hiburan atas jasa diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa yang dinilai sangat tinggi oleh sejumlah kalangan merupakan hasil dari kesepakatan bersama pembuat kebijakan, baik dari eksekutif maupun legislatif. Pemerintah tentunya menerapkan kebijakan tarif tersebut setelah melalui berbagai pertimbangan. Kebijakan tersebut di antaranya sebagai upaya pemerintah mengatur tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Rasio Pajak Indonesia dalam 20 Tahun Terakhir

Pada 16 Agustus lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah membacakan nota keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2024. Dari nota keuangan tersebut, dapat diperoleh beberapa informasi penting terkait perekonomian Indonesia ke depannya. Salah satunya adalah target rasio pajak 2024 yang ditetapkan sebesar 10,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) (Kementerian Keuangan, 2023).

Target sebesar ini naik sedikit dari outlook rasio pajak 2023 yaitu sebesar 10%, dan kurang lebih hampir sama dengan target rasio pajak 2022 sebesar 10,39%. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, rasio pajak Indonesia mulai mengalami tren membaik meskipun masih cenderung stagnan.

Menurut Prasetyo, A (2016), tax ratio atau rasio pajak adalah angka perbandingan antara penerimaan pajak yang dihimpun oleh suatu negara terhadap PDB. Sementara itu, PDB adalah akumulasi nilai tambah atau penghasilan seluruh penduduk di suatu negara. Angka rasio pajak digunakan untuk mengukur optimalisasi kapasitas administrasi perpajakan di suatu negara dalam rangka menghimpun penerimaan pajaknya. Oleh karena itu, rasio pajak dapat menjadi salah satu indikator kemampuan negara untuk mengumpulkan pajak.

Pada pengukuran nilai rasio pajak, Indonesia memasukkan unsur penerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan penerimaan dari Sumber Daya Alam Minyak dan Gas (SDA Migas) sesuai dengan rekomendasi International and Monetary Fund (IMF) dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Akan tetapi, Indonesia tidak sepenuhnya mengadopsi anjuran IMF dan OECD karena tidak memasukkan penerimaan pajak daerah di dalam komponen penghitungan rasio pajak.

Tren Rasio Pajak di Indonesia

Rasio pajak merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak sehingga ukuran rasio pajak dapat menunjukkan kemampuan pemerintah dalam membiayai keperluan negaranya. Akan tetapi, selama 20 tahun terakhir rasio pajak Indonesia cenderung mengalami tren penurunan (lihat Gambar 1).

Data Kementerian Keuangan Indonesia menunjukkan realisasi rasio pajak pada tahun 2022 sebesar 10,41% dari PDB. Angka ini berhasil melewati target rasio pajak tahun 2022 sebesar 10,39%. Akan tetapi, berdasarkan data Badan Keuangan Fiskal 2023, rasio pajak 2023 diproyeksikan hanya sebesar 9,61%. Jika hal itu terjadi, rasio pajak 2023 akan menjadi angka terendah dalam 20 tahun terakhir (pengecualian pada tahun 2020 dan 2021). Penurunan rasio pajak 2020 dan 2021 diabaikan dalam pembahasan ini karena kondisi khusus tersebut muncul sebagai akibat dari Pandemi Covid-19.

Pengamat perpajakan Prianto Budi Saptono menilai angka rasio pajak Indonesia seharusnya berada di kisaran 15% (CNBC, 2023). Menurutnya, tidak tercapainya target rasio pajak disebabkan oleh faktor ketidakmampuan pemerintah dalam menghimpun dana pajak yang setara dengan peningkatan kondisi ekonomi.

Namun demikian, menurut Fuad Rahmani (2012) dikutip dari publikasi Kementerian Keuangan, rendahnya  rasio pajak Indonesia disebabkan beberapa faktor, yaitu perbedaan perhitungan rasio pajak Indonesia dengan negara berkembang lain, rendahnya daya cakupan pajak, dan perbedaan tarif dan dasar pengenaan pajak.

Menurut beberapa hasil studi, faktor yang dianggap mempengaruhi tinggi atau rendahnya rasio pajak suatu negara adalah tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita, dan tingkat optimalisasi good governance (Prasetyo, 2016). Menurutnya, selain faktor-faktor makro tersebut, faktor yang paling berpengaruh terhadap rasio pajak salah satunya adalah tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP).

Menurut laporan OECD (Gambar 2), jika dibandingkan dengan negara ASEAN (Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Filipina, dan Vietnam), rasio pajak Indonesia pada 2021 berada di peringkat ke-2 terakhir. Artinya, rasio pajak Indonesia masih cukup memprihatinkan dibandingkan dengan negara ASEAN, mengingat Indonesia merupakan negara dengan PDB tertinggi di ASEAN pada tahun 2021 dengan nilai Rp16.970,8 triliun (BPS, 2022). Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu menerapkan strategi untuk menaikkan rasio pajak agar pajak sebagai instrumen fiskal dapat berperan besar dan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia.

Target Rasio Pajak Indonesia 2023

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak, namun demikian tercapainya target rasio pajak bukan merupakan sasaran khusus pemerintah Indonesia (CNBC, 2023). Penerimaan pajak pada 2023 menjadi tantangan berat karena penerimaan pajak harus terus tumbuh untuk mempertahankan rasio pajak sebelumnya.

Lebih lanjut, menurut Yon Arsal (CNBC, 2023), yang akan menjadi tantangan penerimaan pajak di 2023 antara lain adalah perlambatan ekonomi, moderasi harga komoditas, basis perpajakan yang belum optimal, tingkat kepatuhan yang perlu terus dioptimalkan, dan perubahan aktivitas perekonomian pada masa pemulihan ekonomi pascapandemi.

Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa rasio pajak perlu ditingkatkan agar pendapatan pajak meningkat (CNBC,2023). Selain itu, pemerintah lebih leluasa dalam menentukan alokasi anggaran dan tidak mengandalkan utang. Menurutnya, pemerintah pada dasarnya berupaya menaikkan rasio pajak, terutama dari WP orang pribadi dengan pemberlakuan UU HPP yang mengatur tentang perluasan basis WP, terutama PPh 21 karyawan.

Pada faktanya, realisasi pendapatan negara dari penerimaan pajak sebesar Rp 1.547,8 triliun pada tahun 2021 dan sebesar Rp 1.716,8 triliun pada tahun 2022. Sementara itu, per 31 September 2023 penerimaan pajak mencapai 1.387,78 triliun dengan realisasi target mencapai 80,78%. Dengan demikian, di tahun 2023 Indonesia layak optimis dengan performa penerimaan pajak sehingga diharapkan target rasio pajak tercapai.

Dikutip dari situs web Kementerian Keuangan, Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam pidato di Kementerian Keuangan pada 12 Juli 2023 pun optimis target pajak tahun 2023 akan kembali tercapai. Jika hal itu terjadi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berpeluang menorehkan kinerja penerimaan yang optimal melampaui target APBN. Menkeu juga mengapresiasi capaian rasio pajak tertinggi dalam 7 tahun terakhir. Sri Mulyani menekankan bahwa pekerjaan rumah DJP semakin banyak dan tantangan semakin sulit mengingat kondisi global saat ini yang kurang kondusif.

Demi mewujudkan target rasio pajak, perlu dimulai dari sinergi antara pihak-pihak terkait, terutama kerja sama yang baik antara fiskus dan WP. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi saat ini adalah masih rendahnya tingkat kesadaran pajak (tax awareness) di masyarakat. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pajak.

Dengan demikian, apabila kesadaran pajak masyarakat meningkat, kepatuhan pajak pun diperkirakan akan mengalami peningkatan. Dalam hal ini, apabila fiskus dan WP dapat bersikap kooperatif dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, kepatuhan pajak diperkirakan akan terus meningkat. Bagaimana cara pemerintah mengatasi masalah ini, menjadi salah satu kunci mengoptimalkan rasio pajak Indonesia.

Dua Dosen FIA UB Dipercaya Menjabat Ketua Umum dan Sekretaris Umum IFTAA Jawa Timur

FIA UB – 23 April 

Bersamaan dengan penyelenggaraan Seminar Nasional Perpajakan bertajuk “Base Erosion and Profit Sharing dalam Penerimaan Pajak, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kedaulatan Negara”, dilaksanakan pula Peresmian dan Pelantikan Pengurus Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) cabang Jawa Timur. Asosiasi ilmu administrasi fiskal dan perpajakan se-Indonesia itu kini resmi memiliki cabang kedua setelah berdiri di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk mengisi kepengurusan itu, dua orang dosen Perpajakan mendapat kepercayaan untuk mengisi jabatan ketua umum dan sekretaris umum IFTAA Jawa Timur, yakni Dr. Kadarisman Hidayat dan Yuniadi Mayowan, M.AB. Selama ini, mereka berdua sudah terbiasa bekerja bersama sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Perpajakan FIA UB.

IFTAA merupakan organisasi keilmuan(dan profesi) yang bersifat independen dan kecendekiaan sertaberfungsi sebagai wadah berhimpun akademisi dan praktisi perpajakan.Tujuannya ikut memajukan dan mengembangkan ilmu administrasi fiskal dan perpajakan serta memberikan penguatan learning outcome pendidikan perpajakan. Dengan demikianterjadi peningkatan kompetensi SDM perpajakan Indonesia baik akademisi maupun praktisi di legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Sebagai lembaga keilmuan dan kecendekiaan, agar dikenal para penguasa, otoritas kompeten dan para pihak yang berpengaruh terhadap sistem perpajakan Indonesia, IFTAA beserta beberapa pengurus dan pemangku kepentingan telah melakukan audiensi dengan Bapak Menteri Ristek dan Pendidikan Tinggi (Prof Dr Mohammad Nasir) pada 12 Pebruari 2015 dan Menteri Keuangan (Prof Dr Bambang Permadi Sumantri Brojonegoro) pada 12 Maret 2015.

Sebelum itu, IFTAA bersama teman-teman dari Departemen Administrasi FISIP UI beraudiensi dengan Bapak Sekjen Kementerian Keuangan (Dr Ki Agus Badaruddin) pada bulan Januari 2015. Selanjutnya, dengan Ibu Sekjen IFTAA dan Ibu Wakil Dekan Bidang Administrasi, SDM dan Keuangan FISIP UI pada 16 April berdiskusi dengan Tim Expert for Tax Policy to the MoF dan DGT dari World Bank sekitar evaluasi realisasi penerimaan TR I APBNP 2015 dan beberapa saran solusi.

Beberapa substansi pembicaraan yang juga sudah disampaikan dalam sebuah surat kepada beliau-beliau agar berkenan mengabulkannya, misalnya sbb:

(1) memohon pemulihan pencantuman program studi fiskal/perpajakan dalam lampiran Peraturan Menteri;

(2) mencantumkan partisipasi lulusan program Vokasi Pajak, D IV Pajak, dan S1 Administrasi Fiskal/Pajak dalam rekruitmen CPNS Kementerian Keuangan tidak hanya pada profesi Analis Pajak, tetapi semua proses pemajakan, Bea Cukai, Badan Analisa Fiskal dan posisi lainnya;

(3) memperluas program studi pajak selain di FIA (tax administration), tetapi juga di Fakultas Ekonomi (tax policy analysis), dan di Fakultas Hukum (tax law);

(4) melibatkan IFTAA dan Perguruan Tinggi dalam pembentukan konsorsium sertifikasi dan kompetensi; dan

(5) realisasi ketentuan PMK-111/2015 yang menyatakan bahwa alumni DIV dan S1 Prodi Fiskal/Pajak berhak atas Brevet A. Kepada Tim Expert dari World Bank juga kita sampaikan perlunya peningkatan kapabilitas SDM Perpajakan melalui pendidikan S1 atau D4 Prodi Fiskal/Pajak di FIA, FEB, dan FH.

Dosen Pascasarjana IIB Darmajaya Jadi Moderator Semnas IFTAA

MMDarmajaya – 31 Agustus

BANDAR LAMPUNG —- Dosen Pascasarjana Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya Dr. Ir. Indra Jaya, M.M. akan menjadi moderator dalam seminar nasional yang digelar Indonesian Fiscal And Tax Administration Association (IFTAA), yang di The Sultan Hotel & Residence (Semeru Room-Lovel BI) Jakarta Pusat, Jumat (20/3/2020).

Dr. Indra Jaya menjelaskan, seminar nasional itu dalam konsep diskusi panel yang akan dibagi dalam dua sesi. “Saya akan menjadi moderator di sesi pertama dengan tema Kebijakan Pajak Indonesia, Daya Tarik Investasi, dan Pertumbuhan Ekonomi: Quo Vadis,” kata Indra Jaya dihubungi Kamis (13/3/2020).

Menurut Indra Jaya, dalam Diskusi Panel 1 akan menghadirkan pembicara Darussalam, SE., Ak., CA., M.Si., LL.M.,Tax; Hi. Muhammad Misbakhum, SE., MM; Faisal H. Basri, SE., MA; Dr. Ning Rahayu, M.Si. “Pada Diskusi Panel 2 akan mengangkat tema Kebijakan Pajak: Diskursus antara Pertumbuhan Ekonomi versus Keadilan Sosial. Moderatornya Wisamodro Jati, S.Sos., S.H., M.Int. Tax,” kata Indra Jaya.

Dosen Magister Manajemen IIB Darmajaya itu juga mengatakan tujuan dari semniar nasional ini salah satunya untuk menjalin komunikasi dan memperkuat network dengan para pemangku kepentingan perpajakan di Indonesia. “Selain itu, merumuskan strategi untuk memperkuat peran dan meningkatkan kontribusi IFTAA bagi bangsa dan negara Indonesia,” kata dia.

Sementara itu, Rektor IIB Darmajaya Dr. (Can). Ir. H. Firmansyah Y. Alfian, MBA., M.Sc, mengaku bangga dengan salah satu dosen yang berkiprah di tingkat nasional, bahkan internasional. “IIB Darmajaya banyak melahirkan dosen-dosen berkualitas dengan bidang keahlian manajemen dan teknologi. Kepakaran dosen-dosen kami bisa dipakai untuk pembangunan daerah dan bangsa,” kata Firmansyah.

Selain Dr. Indra Jaya, lanjut Firmansyah, kampus yang dipimpinnya juga memiliki pakar IT berkelas internasional yaitu, Dr. Onno W. Purbo, serta pakar Digital Marketing Dr. Angga Wibasuri. “Intinya, mau bicara ekonomi, manajemen, IT, kami banyak SDM yang bisa dipakai, baik sebagai pembicara maupun sebagai moderator,” kata calon Wali Kota Bandar Lampung dari jalur independen itu. (**)

 

Artikel ini telah tayang pada 31 Agustus 2020 dengan judul “Dosen Pascasarjana IIB Darmajaya Jadi Moderator Semnas IFTAA” melalui  tautan berikut

https://mm.darmajaya.ac.id/dosen-pascasarjana-iib-darmajaya-jadi-moderator-semnas-iftaa/ 

 

Program Studi Perpajakan Diskusikan Tax Amnesty bersama Pemerintah dan Praktisi

FIA UB – 10 Oktober 

Program Studi Perpajakan FIA UB menyelenggarakan dua kegiatan berskala nasional secara berturut-turut. Yang pertama adalah Seminar Nasional “Kompetisi Tarif Pajak dalam Persaingan Global” pada Rabu (5/10), dan yang kedua adalah Diskusi Terbatas “Tax Amnesty: Momentum Menuju Penguatan Sistem Perpajakan Indonesia” pada Kamis (6/10).

Pada Seminar Nasional “Kompetisi Tarif Pajak dalam Persaingan Global”, topik yang diangkat adalah seputar kebijakan tarif pajak untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Sebagaimana disampaikan oleh Kartika Putri Kumalasari, S.E., M.SA., Ak selaku Panitia, bahwa penentuan tarif pajak yang tepat perlu dipertimbangkan oleh Indonesia dalam rangka menarik investor sebesar-besarnya untuk berinvestasi di Indonesia. Menurut Kartika, tarif pajak Indonesia secara global masih tergolong lebih tinggi daripada negara tetangga seperti Singapura, sehingga dikhawatirkan investor lebih menyukai berinvestasi di negara yang tarif pajaknya lebih rendah.

Narasumber yang hadir dalam Seminar Nasional tersebut adalah Hidayat Amir, M.S.E., Ak, Ph.D (Research Coordinator, Badan Kebijakan Fiskal Republik Indonesia), Darussalam, S.E., Ak., M.Si, LLM Int.Tax (Managing Partner, Danny Darussalam Tax Center), dan Dr. Kadarisman Hidayat, M.Si. (Ketua Program Studi Perpajakan FIA UB).

Sementara itu, dalam diskusi terbatas “Tax Amnesty: Momentum Menuju Penguatan Sistem Perpajakan Indonesia”, tiga pihak turut hadir untuk mendiskusikan implementasi dan evaluasi kebijakan pengampunan pajak tersebut yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan pemerintah. Dalam hal ini, akademisi diwakili oleh para peneliti administrasi pajak dan fiskal dari Universitas Indonesia dan Universitas Brawijaya yang tergabung dalam Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA), sementara pemerintah diwakili oleh Dr. Rudy Gunawan Bastari (Kepala Kantor Wilayah DJP Jatim 3).

Hasil diskusi tersebut menyimpulkan bahwa kebijakan pengampunan pajak memang masih mengandung pro dan kontra dari berbagai kalangan, baik dari sisi ekonomis maupun politis. Namun, dengan adanya dukungan pemerintah serta DPR yang kuat, program ini dapat dinyatakan berhasil pada periode pertama ini, sehingga forum mendukung keberlanjutannya pada periode kedua yang direncanakan akan mengundang keikutsertaan kalangan UMKM.

 

Artikel ini telah tayang pada 10 Oktober 2016 dengan judul “Program Studi Perpajakan Diskusikan Tax Amnesty bersama Pemerintah dan Praktisi” dengan tautan berikut

https://fia.ub.ac.id/lama/blog/berita/program-studi-perpajakan-diskusikan-tax-amnesty-bersama-pemerintah-dan-praktisi.html

Kuliah Umum Pajak di Era Ekonomi Digital

FIA UI – 5 Oktober 

Depok (5/10) – Kluster Riset Politik Perpajakan, Kesejahteraan, dan Ketahanan Nasional (Politics of Taxation, Welfare, and National Resilience/POLTAX) bekerja sama dengan Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI dan Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) akan menyelenggarakan kuliah umum mengenai perpajakan di era ekonomi digital.

Perencanaan Pajak (Tax Planning) sebagai salah satu cara memaksimalkan keuntungan usaha di era ekonomi digital ini akan menjadi bahasan pada kuliah umum yang bertempat di Auditorium Gedung M Lantai 4 FIA UI, Depok, Rabu mendatang (11/10/2017).

Sementara dari sisi pemerintah, saat ini otoritas pajak tengah menyiapkan aturan yang dapat memfasilitasi aspek perpajakan dalam memajaki sektor digital. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya potensi kehilangan pajak dari pengaruh teknologi informasi yang semakin pesat. Hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Kuliah umum ini akan berlangsung pada Rabu, 11 Oktober 2017, pukul 08.30 – 10.30 WIB bertempat di Auditorium Gedung M lantai 4, Fakultas Ilmu Administrasi UI, Depok.

Kuliah umum yang mengangkat tema ‘Challenges and Way Forward with Company Taxation in the Digital Economy’ ini akan diisi oleh pembicara yang pakar di bidangnya, yaitu Prof Jan J.P. de Goede yang merupakan Senior Principal, Tax Knowledge Management, the International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD). Ia juga merupakan Professor of International & European Tax Law, Lodz University di Polandia.

Selain itu, acara ini akan dibuka oleh sambutan dari Ketua Pelaksana Harian IFTAA Edi Slamet Irianto yang juga merupakan Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II dan dimoderatori oleh Dosen FIA UI Vishnu Juwono.

Acara ini terbuka untuk umum dan tidak dikenakan biaya (gratis). Untuk informasi lebih lanjut seputar acara dapat menghubungi Maria Tambunan (0852-1384-5094). (DS/HA)

Artikel ini telah tayang pada 5 Oktober 2017 dengan judul “Kuliah Umum Pajak di Era Ekonomi Digital” dengan tautan berikut
https://fia.ui.ac.id/kuliah-umum-pajak-di-era-ekonomi-digital/

Simposium Kurikulum Nasional Perpajakan 2014

FIA UB – 2 September 2014

Simposium Kurikulum Nasional Perpajakan merupakan salah satu agenda yang diselenggarakan oleh IFTAA (Indonesian Fiscal and Tax Administration Association) bekerjasama dengan universitas yang memiliki jurusan atau program studi Perpajakan, yaitu program studi Administrasi Fiskal FISIP Universitas Indonesia dan Program studi perpajakan FIA Universitas Brawijaya untuk bersama-sama menyusun kurikulum nasional perpajakan. Pada kesempatan kali ini, Program studi Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi mendapatkan mandat sebagai ketua rumah dalam penyusunan kurikulum perpajakan nasional untuk jenjang S1. Dalam simposium ini juga melibatkan Direktorat jenderal perpajakan, para konsultan perpajakan dan Direktorat jenderal pendidikan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan serta undangan yang berasal dari STIAMI, MIM, Untirta dan masih banyak lagi lembaga yang ikut serta dalam keterlaksanaan kegiatan ini.

Pada kegiatan ini diawali pembukaan oleh MC dan menyanyikan Lagu Nasional serta dilanjutkan dengan sambutan oleh Bapak Dr. M.R Khairul Muluk, S.Sos, M.Si selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, dan sambutan oleh Bapak Prof. Syafri Nurmanto selaku perwakilan IFTAA, serta sambutan dari Bapak Budi Santoso selaku Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur III.

Agenda ini mengaju pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi mengacu pada standar nasional untuk pendidikan, standar nasional penelitian dan standar nasional pengabdian kepada masyarakat sehingga nantinya para lulusan dari tiap perguruan tinggi memiliki kualitas dan kompetensi yang sesuai dengan standar nasional dan mampu mengaplikasikan keilmuannya di masyarakat. Sedangkan KKNI itu sendiri merupakan penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja, KKNI adalah kerangka penjenjangan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegerasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan sehingga ke depannya mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang bermutu dan produktif.

Acara selanjutnya yaitu Keynote Speech dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia, namun dikarenakan masih dalam perjalanan, acara dilanjutkan kepada sesi 1 terlebih dahulu. Pada sesi 1, materi disampaikan oleh Bapak Bobby Ariwibowo selaku kepala seksi bantuan hukum I Direktorat Jenderal Pajak serta perumus PMK Nomor 111 tahun 2014 dengan dimoderatori Ibu Inayati M,Si dari Universitas Indonesia menjelaskan mengenai pemberlakuan PMK Nomor 111 Tahun 2014 tentang Konsultan Pajak dan Implikasinya bagi program studi perpajakan. Sebagaimana kita ketahui, penerimaan pajak masih dikategorikan rendah, hal ini dikarenakan kurangnya atau rendahnya komunikasi yang terjalin antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak dengan alasan yang berbagai macam. Oleh karena itu sangat dibutuhkan perantara diantara keduanya, yaitu seorang Konsultan Pajak, dimana konsultan pajak berperan dalam kepentingan Wajib Pajak dalam hal pembayaran pajak, dan Konsultan pajak juga memiliki kepentingan negara dengan Direktorat Jenderal Pajak dalam hal penerimaan negara.

Dengan diberlakukannya PMK No 111 tahun 2014 merupakan suatu titik terang dalam standarisasi seorang konsultan pajak, baik meliputi persyaratan konsultan pajak, perijinan tempat praktek, sertifikat konsultan pajak, panitia penyelenggara sertifikasi konsultan pajak, asosiasi konsultan pajak, hak dan kewajiban konsultan pajak hingga pembekuan atau pencabutan ijin praktek konsultan pajak. Di harapkan dengan adanya peraturan terbaru ini merupakan progress yang maksimal dari peraturan yang lama, yaitu PMK Nomor 485 Tahun 2003.

Sebelum dilanjutkan pada Sesi 2, acara dilanjutkan dengan kuliah umum perpajakan dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang diwakili oleh Bapak Wahyu K. Tumakaka, Ak, M.Si. Sebagaimana salah satu tujuan bernegara adalah untuk membangun masyarakat adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD Tahun 1945 melalui APBN sebagai pihak yang berperan penting dalam membangun partisipasi politik. Namun, pada kenyataannya partisipasi politik dalam menyumbang APBN, khususnya Pajak yang menyumbang 70% dari total APBN. Hal ini dikarenakan persepsi masyarakat tentang pajak sebagai pungutan yang tidak ada timbal baliknya. Ada baiknya ketika masyarakat menganggap bahwa pajak adalah pengalihan atau kontrol terhadap sumber daya dari masyarakat kepada pemerintah sebagaimana telah didefinisikan oleh Richard Good, dengan begitu wajib pajak tidak lagi merasa berat ataupun terpaksa dalam membayar pajak.

Sedangkan pada sisi administrasi perpajakan, pihak ini berfungsi untuk menghimpun penerimaan negara berdasarkan Undang-undang pajak yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan APBN melalui administrasi perpajakan yang governed, efektif dan efisien. Pihak ini pula harus mampu memberikan pelayanan, pengawasan serta penegakan hukum yang seadil-adilnya untuk meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Paja dalam pemenuhan hak dan pelaaksanaan kewajibannya.

Sesi Kedua dilanjutkan dengan pembekalan penyusunan kurikulum nasional untuk program sarjana (S1) program studi Perpajakan yang disampaikan oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Hendrawan Soetanto M.Rur.Sc selaku tim pengembang kurikulum perguruan tinggi direktorat BELMAWA-Ditjen DIKTI. Pada materi ini disampaikan mengenai bagaimana keterkaitan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang diselaraskan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 mengenai Standar Nasional Perguruan Tinggi, oleh karena itu perlu diadakannya pembaharuan kurikulum sebagai acuan dalam pengembangan kebijakan ini. Disampainkan juga bahwa untuk program studi perpajakan, terdapat 144 sks yang mana 60% dari total sks tersebut merupakan mata kuliah tentang perpajakan, sedangkan untuk sisanya merupakan mata kuliah pendukung, seperti agama, pendidikan kewarganegaraan, manajemen ataupun yang lainnya. Acara selanjutnya adalah pembahasan kurikulum oleh masing-masing komisi dan dilanjutkan dengan rapat pleno draft masing-masing komisi, dan untuk hari Rabu (3/8) akan ada diskusi tindak lanjut draft masing-masing komisi.

 

Artikel ini telah tayang pada 3 September 2014 dengan judul “Simposium Kurikulum Nasional Perpajakan 2014” dengan tautan berikut

SIMPOSIUM KURIKULUM NASIONAL PERPAJAKAN 2014 (1)

Urgensi Pengaturan Kembali Pajak atas Natura dan/atau Kenikmatan

Pandemi Corona Virus Desease 2019 (“COVID-19”) telah terbukti meningkatkan risiko ketidakpastian pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Selain bidang kesehatan, dunia bisnis juga mengalami kegagapan dalam menghadapi virus mematikan tersebut. Semua lini masyarakat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang disebabkan oleh virus yang membuat kita harus menjaga jarak antarmanusia.

Bisnis harus agile dan beradaptasi, begitupun pemerintah dan regulasinya, termasuk regulasi perpajakan. Hal tersebut membuktikan bahwa regulasi perpajakan yang diatur sedemikian rupa sangat penting untuk memenuhi fungsi perpajakan dan menghadapi ketidakpastian. Menurut Adiyanta (2020), dipadukan dengan dinamika global saat ini, reformasi kebijakan perpajakan yang berkelanjutan diperlukan untuk menyederhanakan sistem perpajakan dan menciptakan keseimbangan antara pemerintah, masyarakat, dan ekonomi.

Ketidakpastian ini pada akhirnya menyebabkan pemerintah Indonesia melaksanakan reformasi kebijakan perpajakan yang mendasar dengan disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP dibentuk untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian berkelanjutan, mendukung percepatan pemulihan perekonomian, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) secara sukarela.

Penerbitan UU HPP menandakan era baru reformasi perpajakan dengan salah satu poin yang tercantum adalah pengaturan kembali perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan di Indonesia. Pada UU HPP, penggantian atau imbalan sehubungan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari WP atau pemerintah kini dikategorikan menjadi objek pajak penghasilan.

Pengaturan kembali tentang penggantian atau imbalan natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai akan mempengaruhi paradigma sebagian kalangan, tidak hanya fiskus pajak, tetapi juga WP. Pada ketentuan sebelum diberlakukan UU HPP, natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai dianggap sebagai non taxable income sehingga pengeluaran yang dilakukan oleh pemberi kerja atas natura dan/atau kenikmatan tersebut digolongkan sebagai non deductible expense.

Di sisi lain, terdapat beberapa pengecualian seperti natura yang dapat dikenakan pajak bila pemberi kerja merupakan WP dengan tarif PPh final n pemberian natura dalam bentuk sesuai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 167/PMK.03/2018. Pengecualian tersebut memicu upaya-upaya tax planning yang tentunya merugikan negara dari segi penerimaan pajak (Dewanto & Wijaya, 2018). Selain itu, biaya upah dalam bentuk natura yang dilakukan pemberi kerja, secara substansial merupakan biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan (Richter, 2006). Dengan demikian, biaya atas natura dan/atau kenikmatan seharusnya dapat digolongkan sebagai deductible sesuai dengan yang tertera pada Pasal 6 ayat 1 UU PPh.

Pengaturan kembali objek natura sebagai objek PPh dilatarbelakangi oleh kecenderungan perilaku perusahaan sebagai pemberi kerja (corporate opportunistic behavior) yang menggunakan kesempatan celah pajak (tax loophole) di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 (“UU PPh sebelum direvisi menjadi UU HPP”). Adapun perilaku oportunistik ini disebabkan oleh perbedaan tarif PPh Pasal 21 dan tarif PPh Badan sehingga menimbulkan perilaku creative tax compliance yaitu penghindaran pajak secara legal (tax avoidance).


Penghindaran
Pajak/Tax Avoidance pada Kenikmatan

Sebelum berlakunya UU HPP, natura dan/atau kenikmatan merupakan salah satu instrumen tax avoidance bagi WP. Praktik penghindaran pajak melalui skema pemberian natura dan/atau kenikmatan bagi pegawai terletak pada perbedaan tarif PPh yang dikenakan pada individu orang pribadi dan badan. Pada prinsip pemajakan atas pemberian natura dan/atau kenikmatan adalah beban pajak ditanggung oleh penerima natura dan/atau kenikmatan. Prinsip tersebut kemudian dimanfaatkan oleh WP yang memiliki persyaratan objektif untuk melakukan efisiensi pajak. Dengan adanya celah ini, tentunya potensi penerimaan pajak yang dapat terealisasi akan terkikis. Perlakuan efisiensi pajak melalui pemberian natura dan/atau kenikmatan yang berlaku pada UU PPh sebelum direvisi UU HPP terbagi menjadi dua alternatif.

Alternatif pertama berlaku bagi pegawai yang memiliki penghasilan dari pemberi kerja dikenakan tarif PPh progresif paling tinggi sebesar 15%. Imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berpotensi lebih menguntungkan bagi perusahaan daripada imbalan dalam bentuk tunai. Keuntungan bagi perusahaan didapatkan melalui penghasilan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek PPh bagi pegawai (taxable) yang dikenakan tarif yang lebih rendah dari pada tarif PPh badan sebesar 22%.  Sementara itu, perusahaan dapat mengakui pemberian natura dan/atau kenikmatan sebagai biaya yang dapat mengurangi  penghasilan bruto (deductability). Dengan demikian, skema taxable-deductability mengakibatkan berkurangnya PPh Badan yang seharusnya dibayarkan oleh perusahaan (potential tax loss) karena selisih tarif PPh badan dengan tarif PPh orang pribadi.

Alternatif kedua berlaku bagi pegawai yang memiliki penghasilan dari perusahaan yang menggunakan tarif progresif lebih dari 15% (tarif PPh orang pribadi progresif 15%-30%). Opsi ini memberlakukan skema pemberian natura dan/atau kenikmatan bukan merupakan objek pajak (non-taxability) bagi pegawai dan tidak dapat dibiayakan (non-deductibility) bagi perusahaan. Pada umumnya, perusahaan memberlakukan alternatif kedua bagi pegawai yang memiliki jabatan tinggi (top level management) dengan pemberian tunjangan rumah, kendaraan, dan tunjangan lainnya. Skema pemberian natura dan/atau kenikmatan melalui opsi kedua ini cenderung membebankan tunjangan yang diterima oleh pegawai dengan jabatan tinggi kepada perusahaan untuk kepentingan pribadi mereka.

Perencanaan pajak melalui alternatif kedua memiliki dampak pada berkurangnya nilai PPh 21 yang harus dibayar oleh para karyawan top level dan mengalihkan beban pajak pada perusahaan. Berkurangnya nilai pajak yang harus dibayar oleh para karyawan top level tentunya akan berimplikasi pada keberhasilan fungsi redistribusi pajak.

Sejak berlakunya UU HPP dengan mencantumkan pengaturan kembali PPh atas natura dan/atau kenikmatan mengubah regulasi sebelumnya dengan harapan menutup celah tax avoidance. UU HPP beserta aturan turunannya menetapkan bahwa pemberi kerja hanya memiliki satu opsi untuk memberlakukan natura dan/atau kenikmatan agar diklasifikasikan sebagai deductible bagi pemberi kerja dan taxable bagi penerima. Perubahan regulasi ini mendorong pemberi kerja untuk mengurangi nilai gaji dan meningkatkan jumlah natura dan/atau kenikmatan yang diberikan pemberi kerja kepada pegawai.

Pemberian natura dan/atau kenikmatan yang seharusnya dikategorikan sebagai nondeductible expense diubah menjadi jenis akun lain yang dikategorikan sebagai deductible expense, misalnya gaji. Hal ini juga didukung dengan sulitnya melakukan tracing sehingga akan sangat rumit untuk bisa membuktikan apakah biaya yang telah dikeluarkan ditujukan untuk pemberian natura dan/atau kenikmatan. Beragam praktik tax avoidance tersebut akhirnya memunculkan urgensi untuk menciptakan suatu regulasi yang dapat memitigasi risiko-risiko tersebut ke depannya.

Maka dari itu, UU HPP hadir sebagai angin segar khususnya terkait permasalahan tax avoidance pada aspek perpajakan natura dan/atau kenikmatan. Dengan menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible, celah tax avoidance diharapkan dapat dicegah dan upaya pemerataan serta keadilan dapat tercapai. Hal ini akan berdampak pada rendahnya proporsi biaya yang dapat dibebankan secara fiskal bagi perusahaan sehingga pajak atas penghasilan badan yang dikenakan akan bertambah dan di sisi lain nilai pajak penghasilan orang pribadi penerima natura dan/atau kenikmatan akan jauh lebih kecil.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, regulasi sebelum UU HPP berkaitan dengan aspek perpajakan natura dan/atau kenikmatan telah menimbulkan distorsi pada perekonomian dengan meletakkan beban pajak pada badan/perusahaan. Maka dari itu, regulasi dalam UU HPP yang menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible menjadi titik awal optimalisasi perpajakan khususnya dari segi PPh orang pribadi.

Pemajakan yang dilakukan terhadap natura dan/atau kenikmatan akan mengeruk potensi penerimaan perpajakan yang cukup besar dari karyawan top level dan tidak akan memberatkan karyawan low level. Selain itu, regulasi dalam UU HPP juga berusaha untuk lebih berfokus pada aspek taxable income daripada deductibility pada natura dan/atau kenikmatan sehingga beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan lebih rendah dan diharapkan dapat mengurangi distorsi pada perekonomian.

Pada sisi pengawasan, pengaturan kembali PPh atas natura dan/atau kenikmatan dimasukkan dalam objek pemotongan PPh Pasal 21 diharapkan dapat mempermudah pengawasan dan kepatuhan WP dan perusahaan. Dasar pertimbangannya adalah bahwa mengawasi pelaporan SPT PPh 21 oleh pemberi kerja akan jauh lebih efektif dari pekerjaan mengawasi pelaporan SPT PPh orang pribadi pegawai dari pemberi kerja tersebut. Secara sederhana, bahwa mengawasi laporan pajak satu pemberi kerja yang mempekerjakan 1.000 pegawai akan lebih efektif dan efisien dari mengawasi 1.000 laporan pajak pegawainya.