Tag: regulasi

Analisis Kompleksitas Pajak dan Penghindaran Pajak oleh Perusahaan

Artikel ini menganalisis dan meninjau penelitian yang berjudul Tax Complexity and Firm Tax Evasion: A Cross-Country Investigation oleh Prianto Budi Saptono et al (2024). Studi tersebut mengeksplorasi dampak kompleksitas sistem perpajakan terhadap kecenderungan perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak di berbagai negara, dengan memanfaatkan data dari lebih dari 46.000 perusahaan yang tersebar di 83 negara, melalui sumber survei World Bank Enterprise Survey (WBES) dan World Bank’s Doing Business (WBDB).

Penghindaran Pajak

Fenomena penghindaran pajak telah menjadi isu yang bersifat global, yang secara signifikan menurunkan kapasitas pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara dan mengalokasikan sumber daya secara efisien. Semakin kompleks sistem perpajakan, semakin besar pula peluang bagi perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah regulasi guna mengurangi beban pajak yang harus ditanggung. Studi ini secara empiris menyoroti hubungan antara tingkat kerumitan sistem pajak dengan intensitas dan insiden penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan.

Kompleksitas Pajak dan Kaitannya dengan Tax Compliance

Kompleksitas pajak (tax complexity) didefinisikan dalam penelitian ini melalui dua indikator utama, yaitu jumlah waktu yang diperlukan untuk mematuhi kewajiban perpajakan (tax time) dan frekuensi pembayaran pajak (tax payment). Temuan penelitian mengindikasikan bahwa peningkatan waktu yang diperlukan serta banyaknya frekuensi pembayaran berkorelasi positif dengan tingginya tingkat penghindaran pajak oleh perusahaan.

Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan cenderung untuk menghindari kewajiban pajak ketika biaya kepatuhan meningkat, terutama di negara-negara dengan sistem perpajakan yang sangat rumit. Selain itu, hasil heterogenitas dari analisis menunjukkan bahwa pengaruh kompleksitas pajak terhadap penghindaran pajak lebih dominan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, serta pada sektor industri primer.

Implikasi Temuan terhadap Kebijakan Perpajakan

Temuan pada penelitian ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pembuat kebijakan, terutama di negara-negara berkembang. Studi ini menyarankan bahwa penyederhanaan sistem perpajakan dapat menjadi langkah strategis yang efektif untuk mengurangi insentif bagi perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak. Selain itu, penyeragaman dan penyelarasan sistem perpajakan di tingkat regional atau internasional juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi disparitas regulasi yang sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka.

Penelitian ini juga menekankan pentingnya adopsi teknologi digital dalam proses administrasi perpajakan sebagai upaya untuk menyederhanakan prosedur dan meningkatkan transparansi, sehingga mampu menurunkan tingkat penghindaran pajak melalui pengurangan biaya kepatuhan.

Tax Complexity dan Penghindaran Pajak

Kompleksitas sistem perpajakan terbukti memiliki dampak signifikan terhadap kecenderungan penghindaran pajak oleh perusahaan. Reformasi kebijakan yang mengarah pada penyederhanaan dan harmonisasi peraturan perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan fiskal dan mengurangi kesenjangan yang terjadi akibat praktik penghindaran pajak. Oleh karena itu, studi ini memberikan landasan empiris bagi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan reformasi struktural dalam sistem perpajakan guna menciptakan ekosistem bisnis yang lebih transparan dan berkeadilan.

Artikel ini dirangkum dari hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Economies (2024) oleh Saptono et al., yang dapat diakses melalui: https://doi.org/10.3390/economies12050097

Potensi Pajak Kripto Menanti Kejelasan Regulasi Pengawasan

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Optimalisasi penerimaan pajak dari perdagangan aset kripto masih menunggu kepastian pengalihan pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ditargetkan rampung pada awal 2025.

Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa potensi penerimaan pajak kripto akan sangat bergantung pada jenis dan tarif pajak yang akan ditetapkan setelah peralihan pengawasan tersebut.

“Saat peralihan pengawasan ke OJK terjadi, akan muncul persoalan legalitas dan hierarki hukum yang perlu diperhatikan. Pasalnya, berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pengenaan pajak di Indonesia harus didasarkan pada undang-undang,” jelasnya.

Skema Perpajakan Saat Ini

Saat ini, perpajakan aset kripto mengacu pada UU PPh dan UU PPN dengan peraturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 (PMK 68/2022). Regulasi ini mengatur pengenaan PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto sebagai berikut:

Pajak Pertambahan Nilai (PPN):

1. 1% dari nilai transaksi aset kripto yang diserahkan oleh penjual

2. 11% dari nilai jasa penyediaan sarana elektronik untuk transaksi perdagangan aset kripto

3. 1,1% atas nilai jasa verifikasi transaksi dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto

Pajak Penghasilan (PPh):

1. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari nilai transaksi penjualan aset kripto

2. Tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh untuk penghasilan dari penyediaan sarana elektronik

3. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari penghasilan penambangan aset kripto

Tantangan Regulasi

Prianto menekankan adanya potensi kendala regulasi dalam peralihan pengawasan ke OJK. “UU perpajakan yang berlaku saat ini memberikan amanat pengaturan teknisnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, bukan Peraturan OJK,” ujarnya.

Optimalisasi Penerimaan

Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor kripto, Prianto menyarankan agar otoritas yang nantinya berwenang dapat memastikan terciptanya ekosistem perdagangan aset kripto yang semarak, serupa dengan transaksi aset keuangan lainnya seperti saham atau surat utang.

Langkah ini menjadi krusial mengingat potensi pertumbuhan pasar aset kripto di Indonesia yang terus berkembang. Kejelasan regulasi dan pengawasan yang efektif diharapkan dapat mendorong peningkatan volume transaksi sekaligus optimalisasi penerimaan pajak dari sektor ini.