Selama dua dekade terakhir, batu bara menjadi pilar penting bagi perekonomian Indonesia. Komoditas ini menyumbang devisa besar melalui ekspor sekaligus menjadi sumber utama pasokan energi nasional. Namun di balik kontribusinya, terdapat dinamika fiskal yang semakin mengemuka pasca perubahan regulasi perpajakan yang menetapkan batu bara sebagai barang kena pajak. Status tersebut membuat produsen batu bara berhak mengajukan restitusi PPN masukan, sementara ekspor tetap diperlakukan dengan tarif PPN 0 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU PPN dan peraturan pelaksananya. Konsekuensinya, negara harus mengembalikan pajak masukan dalam jumlah besar kepada eksportir, terlepas dari situasi harga komoditas di pasar global. Data yang dipaparkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam rapat kerja dengan Komisi XI menunjukkan bahwa restitusi PPN dari sektor ini mencapai sekitar Rp 25 triliun per tahun, menjadikannya salah satu sektor dengan restitusi terbesar di Indonesia.
Ketidakseimbangan inilah yang mendorong pemerintah merumuskan rencana penerapan bea keluar untuk batu bara mulai 2026, sebuah kebijakan yang kini tengah digodok lebih lanjut dalam kerangka undang-undang kepabeanan dan perpajakan, khususnya berlandaskan UU 10/1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU 17/2006. Bea keluar merupakan instrumen fiskal yang secara hukum dapat diterapkan untuk barang tertentu guna menjaga kepentingan nasional, termasuk stabilitas penerimaan negara. Pemerintah memandang kebijakan ini sebagai langkah korektif yang dapat menangkap sebagian keuntungan tambahan ketika harga global sedang tinggi dan pada saat yang sama mengurangi beban negara ketika restitusi meningkat saat harga turun. Dalam perspektif jangka panjang, rancangan ini berpotensi menjadi salah satu reformasi fiskal paling signifikan di sektor pertambangan dalam beberapa tahun terakhir.
Ketidakseimbangan Fiskal dan Rasionalitas Pembentukan Kebijakan Baru
Akar persoalan fiskal batu bara dapat ditelusuri pada perubahan status hukum komoditas ini sebagai BKP. Ketika status tersebut berlaku, eksportir diperkenankan mengajukan restitusi atas PPN masukan yang timbul dari kegiatan produksi, sementara PPN keluaran tidak muncul karena tarif ekspor 0 persen. Secara mekanisme, hal ini sah menurut UU PPN, tetapi menimbulkan konsekuensi fiskal yang besar. Dalam forum DPR, Menteri Keuangan menggambarkan kondisi ini sebagai bentuk “subsidi tidak langsung” yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan fiskal, terutama karena restitusi tetap mengalir meski perusahaan sedang menikmati windfall profit akibat lonjakan harga global.
Masalah tersebut semakin mengemuka ketika dibandingkan dengan tren komoditas tambang lain. Berbagai analisis lembaga publik dan asosiasi industri menunjukkan bahwa akumulasi restitusi dari enam komoditas tambang selama 2020–2023 mencapai ratusan triliun rupiah. Pola ini menunjukkan bahwa masalah yang terjadi pada batu bara bukanlah kasus tunggal, tetapi bagian dari struktur fiskal yang secara sistemik kurang mampu menyeimbangkan risiko antara negara dan pelaku industri.
Melalui bea keluar, pemerintah berupaya memulihkan keseimbangan fiskal tanpa harus merevisi tarif pajak lain yang berdampak luas. Instrumen ini bekerja hanya ketika barang dijual ke luar negeri, sehingga tidak mengganggu dinamika pasar domestik. Perhitungan awal pemerintah menunjukkan bahwa tarif bea keluar antara 1 hingga 5 persen dapat memberikan tambahan penerimaan sekitar Rp 20 triliun per tahun, jumlah yang cukup untuk mengimbangi beban restitusi yang selama ini ditanggung negara.
Dampak Ekonomi, Perilaku Pasar, dan Implikasi bagi Kebijakan Energi
Pengenaan bea keluar tentu membawa implikasi pada struktur industri. Margin eksportir akan mengalami penyesuaian, tetapi pemerintah menilai bahwa mayoritas perusahaan batu bara nasional memiliki kapasitas finansial yang memadai untuk menyerap beban tambahan tersebut. Pengalaman sebelum 2020, ketika batu bara belum menjadi BKP dan restitusi tidak menimbulkan distorsi besar, menunjukkan bahwa industri masih dapat beroperasi secara kompetitif di pasar internasional.
Di sisi lain, pungutan ekspor berpotensi mendorong sebagian pasokan tetap berada di pasar domestik, terutama jika selisih harga setelah dikenakan bea keluar membuat penjualan lokal menjadi lebih menarik. Dampak ini penting bagi stabilitas pasokan nasional, mengingat PLTU masih mendominasi bauran energi Indonesia dan menjadi komponen vital dalam menjaga keandalan sistem kelistrikan. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya berdampak fiskal, tetapi juga memperkuat pengendalian pemerintah atas ketersediaan energi dalam masa transisi menuju sumber energi yang lebih bersih.
Lebih jauh, rencana bea keluar menunjukkan pendekatan baru pemerintah dalam mengoptimalkan nilai fiskal dari sumber daya alam tidak terbarukan. Di tengah tekanan global untuk dekarbonisasi dan berkurangnya peran batu bara dalam jangka panjang, pemerintah berupaya memastikan bahwa nilai ekonomi dari komoditas ini dapat dimaksimalkan selama masa transisi. Penambahan instrumen fiskal seperti bea keluar bukan hanya bertujuan menutup celah kebijakan sebelumnya, tetapi juga untuk memperkuat ruang fiskal dalam mendukung agenda pembangunan, termasuk hilirisasi dan pengembangan energi bersih.