Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia berlangsung sangat cepat, namun tidak selalu diikuti dengan peningkatan kontribusi fiskal. Nilai transaksi e-commerce domestik diperkirakan menyentuh angka Rp487 triliun pada tahun 2024, menurut data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Pajak. Meski besar secara nominal, sektor ini belum memberikan penerimaan pajak yang sebanding.
Laporan SEA e-Conomy 2023 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company memperkuat hal ini. Indonesia disebut sebagai pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai proyeksi mencapai USD82 miliar pada tahun 2025. Namun demikian, realisasi pajaknya masih terbatas.
Salah satu penyebabnya adalah tingkat kepatuhan pajak UMKM digital yang rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak tahun 2024, dari 1,6 juta wajib pajak UMKM, hanya sekitar 653 ribu yang menyetor PPh final. Sisanya, lebih dari 900 ribu pelaku usaha, belum berkontribusi terhadap penerimaan negara. Bila diasumsikan margin bersih usaha sebesar 10–20%, maka potensi penerimaan negara yang belum tergali dapat mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.
Pemungutan Pajak Melalui Platform Digital
Untuk meningkatkan kepatuhan dan perluasan basis pajak, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Peraturan ini menunjuk pengelola platform perdagangan digital (marketplace) sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan oleh pedagang dalam negeri yang bertransaksi melalui sistem elektronik. Besarnya tarif yang dikenakan adalah 0,5% dari peredaran bruto, tidak termasuk PPN. Skema ini dikenal sebagai pemungutan langsung di sumber (collect at the source).
Kebijakan ini berlaku bagi pedagang yang telah memiliki NPWP atau NIK yang terverifikasi. Sementara itu, pedagang dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta dapat dikecualikan dari pemungutan, asalkan menyampaikan surat pernyataan. Beberapa jenis transaksi juga tidak dikenai skema ini, termasuk layanan transportasi daring, pulsa dan token listrik, logam mulia, serta tanah dan bangunan.
Secara administratif, PMK 37/2025 dianggap lebih efisien. Proses pemungutan dilakukan oleh platform, sehingga pelaku usaha tidak perlu melakukan pembayaran sendiri. Ini mengurangi biaya kepatuhan dan mempermudah pelaporan. Di sisi lain, marketplace juga diwajibkan untuk menyetorkan pajak yang dipungut dan melaporkan datanya ke DJP secara berkala.
Dari sisi potensi penerimaan negara, jika hanya 10% dari total transaksi e-commerce dikenai PPh 22, maka diperkirakan akan ada tambahan penerimaan sekitar Rp2,4 triliun per tahun. Belum termasuk efek lanjutan berupa peningkatan pelaporan SPT, PPN, serta bertambahnya Wajib Pajak baru yang masuk ke sistem. DJP memperkirakan ada tambahan sekitar 800 ribu pelaku usaha digital yang akan masuk dalam basis data perpajakan melalui kebijakan ini.
Pelaksanaan Teknis dan Sosialisasi Kebijakan
Pelaksanaan di lapangan tetap menyisakan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah potensi duplikasi pemungutan bagi pedagang yang menjual melalui berbagai kanal digital. Selain itu, kepatuhan dari marketplace asing masih menjadi persoalan tersendiri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah juga mengacu pada PMK 60/PMK.03/2022 yang mengatur pajak atas jasa dan barang digital dari luar negeri melalui platform digital.
Tantangan lain adalah kurangnya pemahaman publik, terutama pelaku usaha kecil, mengenai sifat kebijakan ini. Banyak yang menganggap kebijakan ini sebagai bentuk pajak baru. Padahal, skema ini hanya mengubah cara pemungutan pajak, bukan jenis pajaknya. Oleh karena itu, edukasi menjadi langkah penting untuk menghindari resistensi dan kesalahpahaman.
PMK 37/2025 menjadi bagian dari langkah pemerintah untuk memperluas basis perpajakan, terutama di sektor ekonomi digital. Ini sejalan dengan target peningkatan rasio pajak dari sekitar 10,4% PDB di 2024 menuju lebih dari 13% pada 2028, sebagaimana tercantum dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.
Namun untuk memastikan efektivitasnya, kebijakan ini perlu terus dikawal dan disempurnakan. Mekanisme pengawasan lintas platform, integrasi data, dan keterlibatan marketplace asing harus diperkuat. Tanpa itu, efektivitas fiskal dari sektor digital akan tetap jauh dari potensinya.