Jakarta, 23 September 2024 – Menteri Keuangan Republik Indonesia baru-baru ini menandatangani perjanjian Multilateral Instrument Subject-to-Tax Rule (MLI STTR) bersama 42 yurisdiksi lainnya. Langkah ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara pionir (early adopter) dalam implementasi Pilar Dua perpajakan internasional, sebuah inisiatif global yang bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil bagi perusahaan multinasional.
Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif memberikan analisis mendalam tentang implikasi dan signifikansi langkah strategis ini bagi Indonesia.
Memahami STTR dalam Konteks Global Minimum Tax
“Subject-to-Tax Rule (STTR) merupakan komponen integral dari kebijakan pajak internasional Pilar Dua, yang berfokus pada penerapan Global Minimum Tax (GMT),” jelas Prianto. Ia menambahkan bahwa Indonesia telah mempersiapkan landasan hukum untuk ini melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Pemerintah No. 55/2022.
Prianto merinci bahwa GMT terdiri dari dua elemen utama:
- Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules: “Aturan ini menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15% di setiap negara yang mengadopsi Pilar Dua,” ujarnya. “Perusahaan multinasional akan dikenakan ‘top-up tax’ atau pajak tambahan, yang besarnya adalah selisih antara tarif pajak efektif di setiap yurisdiksi dan tarif minimum 15%, jika tarif efektif tersebut kurang dari 15%.”
- Subject-to-Tax Rule (STTR): “STTR memungkinkan negara sumber penghasilan untuk mengenakan pajak tambahan hingga 9% atas penghasilan tertentu,” Prianto menjelaskan. “Ini berlaku untuk ‘Covered Income’ yang mencakup bunga, royalti, premi asuransi/reasuransi, imbalan jaminan keuangan, biaya pembiayaan, imbalan sewa, dan imbalan atas penyediaan layanan.”
Mekanisme Penghitungan STTR
Prianto memberikan contoh konkret tentang cara kerja STTR: “Misalkan negara sumber memotong PPh sebesar 5% atas covered income senilai USD 1 juta, dan penerima penghasilan tersebut membayar PPh badan 1% di negara domisilinya. Dalam kasus ini, negara sumber masih berhak memotong PPh tambahan berdasarkan STTR sebesar 3% dari USD 1 juta. Perhitungannya adalah (9% – 5% – 1%) x USD 1 juta = 3% x USD 1 juta.”
Potensi Peningkatan Penerimaan Pajak
Meski belum ada perhitungan pasti mengenai potensi peningkatan penerimaan pajak dari penerapan STTR, Prianto menekankan signifikansi langkah ini. “Saat ini, fokus utama Pemerintah Indonesia adalah memastikan kebijakan pajak internasional kita tetap selaras dengan lanskap global,” ujarnya. “Indonesia, sebagai bagian dari G20, berkomitmen untuk mengusung kebijakan pajak internasional berbasis konsensus bersama.”
Implikasi terhadap Kebijakan Pajak Indonesia
Sebagai konsekuensi dari penandatanganan STTR, Prianto menjelaskan bahwa Indonesia perlu melakukan evaluasi menyeluruh. “Pemerintah harus mengkaji ulang tarif pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang masih di bawah 9%,” jelasnya. “Fokus utama akan diberikan pada tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B.”
Langkah Selanjutnya
Prianto mengungkapkan bahwa pemerintah akan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih lanjut tentang implementasi STTR di Indonesia. “Wajib Pajak tinggal menunggu PerMenkeu yang mengatur tentang STTR sebagai bagian dari Global Minimum Tax,” tambahnya.
Kesimpulan
Penandatanganan MLI STTR oleh Indonesia merupakan langkah signifikan dalam upaya global untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Meski dampak finansial belum bisa dipastikan, langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak negara di masa mendatang, terutama dari transaksi lintas batas yang melibatkan perusahaan multinasional.
Dengan menjadi early adopter Pilar Dua, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam memerangi penghindaran pajak dan memastikan perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi. Langkah strategis ini tidak hanya berpotensi meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam arena perpajakan internasional.