Jakarta, 12 Agustus 2024 – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47/2024 yang baru-baru ini diterbitkan untuk memperketat aturan Automatic Exchange of Information (AEoI) telah memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dan perpajakan. Aturan ini ditujukan untuk menangani pihak-pihak yang bersekongkol dengan wajib pajak dalam melakukan penghindaran pajak.
Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam sebuah wawancara eksklusif menjelaskan bahwa PMK 47/2024 merupakan perubahan ketiga dari PMK 70/2017 yang mengatur tentang akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan.
“Pemerintah ingin memasukkan General Anti-avoidance Rules (GAAR) ke dalam aturan ini,” ujar Budi. “Namun, implementasinya menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang perlu diperhatikan.”
Menurut Budi, salah satu konsekuensi dari penambahan pasal tentang GAAR adalah petugas pajak dapat melakukan penilaian subjektif atas kesepakatan yang dilandasi asas kesucian kontrak dalam KUH Perdata. “Ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambahnya.
Lebih lanjut, Budi mengkritisi hierarki hukum dari PMK 47/2024. “Ada indikasi pengaturan yang melebihi kewenangan dari sebuah PMK,” jelasnya. Ia merujuk pada UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang membatasi pendelegasian kewenangan dari UU kepada menteri hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
PMK 47/2024 tampaknya membuat norma hukum baru, termasuk larangan membuat kesepakatan perdata yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak menurut penilaian petugas pajak, serta memberi kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menyatakan kesepakatan tersebut tidak berlaku tanpa proses pengadilan.
Meski demikian, Budi mengingatkan bahwa setiap kebijakan selalu memiliki dua sisi. “Dari sisi pembuat kebijakan, isi perubahan aturan di PMK 47/2024 tetap dapat dianggap sebagai bagian dari petunjuk teknis dari UU No. 9/2017,” katanya.
Kontroversi ini menyoroti ketegangan antara upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dan kebutuhan untuk menjaga kepastian hukum bagi wajib pajak dan pelaku usaha. Para pemangku kepentingan kini menanti kemungkinan pengujian aturan ini di Mahkamah Agung untuk memastikan keabsahannya.
Sementara itu, Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi terkait kritik terhadap PMK 47/2024. Namun, sumber internal menyatakan bahwa aturan ini diperlukan untuk menutup celah penghindaran pajak yang semakin canggih.
Terlepas dari kontroversi, para ahli berharap akan ada dialog lebih lanjut antara pemerintah, pelaku usaha, dan ahli hukum untuk mencapai keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dan kepastian hukum dalam praktik perpajakan di Indonesia