Pesatnya aktivitas bisnis dan kegiatan ekonomi terutama di daerah metropolitan, membuat masyarakat meningkatkan kecenderungannya untuk mencari hiburan. Kebutuhan akan hiburan tergolong tersier sehingga hanya dapat dijangkau oleh masyarakat golongan atau kelas tertentu.
Sejak pertengahan Januari ini, pemberitaan terkait kenaikan tarif pajak hiburan santer diberitakan banyak media nasional. Pajak hiburan sendiri diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU HKPD telah berlaku efektif sejak 1 Januari 2022. Pertanyaannya, mengapa protes terkait pajak hiburan baru ramai akhir-akhir ini?
UU HKPD mereformasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk sumber penerimaan daerah dari pajak dan retribusi. Sesuai Undang-undang HKPD Pasal 1 angka 49, Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/ atau keramaian untuk dinikmati.
Lebih lanjut, Pasal 50 huruf e UU HKPD mengatur bahwa Jasa Kesenian dan Hiburan termasuk Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Pajak hiburan dibayarkan oleh konsumen akhir atas suatu konsumsi hiburan dan pemungutanya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pada Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU HKPD, tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Sementara itu, khusus jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif pajaknya ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Timbul pertanyaan, mengapa tarif pajak jasa hiburan tertentu tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan PBJT pada umumnya. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Kementerian Keuangan, Lydia Kurniawati Christyana mengatakan bahwa alasanya adalah daya beli konsumen terhadap hiburan (diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa) hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas tertentu. Terlebih lagi, pemerintah bahkan perlu menekan konsumsi atas jasa tersebut.
Akan tetapi, aturan tersebut justru memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat, yang mempertanyakan landasan batas minimal 40% untuk PBJT hiburan tertentu yang dianggap muncul secara tiba-tiba. Dikutip dari CNBC Indonesia (16/1/2024), pakar pajak sekaligus Ketua IFTAA, Dr. Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa usulan tarif 40% untuk jasa hiburan sebenarnya telah dimasukkan dalam naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) HKPD, bukan diambil secara mendadak.
Penetapan tarif pajak hiburan di dalam UU HKPD ternyata telah mendapat dukungan dari sejumlah fraksi partai. Mereka yang mendukung kenaikan tarif PBJT menilai bahwa jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa hanya dinikmati oleh masyarakat kalangan atas. Dalam RUU HKPD, sebetulnya tarif tertinggi yang diusulkan pemerintah khusus PBJT untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa adalah 40%. Akan tetapi, pada UU HKPD akhirnya tarif jasa tersebut ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Lebih lanjut, Dr. Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa besaran tarif 40%-75% memang tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi daerah atau sektor usaha yang tercakup dalam batasan tarif tersebut. Menurut Prianto, rentang tarif tersebut dianggap tepat secara politik karena UU HKPD merupakan hasil kompromi politik antara pemerintah eksekutif dan pemerintah legislatif.
Meskipun demikian, beliau mengkritisi formulasi RUU HKPD yang minim akan keterlibatan pakar pajak dan pengusaha selaku pihak yang diatur. Sebagai konsekuensinya, saat UU HKPD yang berlaku mulai 1 Januari 2022 harus diturunkan ke Peraturan Daerah, timbul penentangan di masyarakat/pengusaha/stakeholder.
Sementara itu, UU HKPD menetapkan tarif PBJT paling tinggi 10% selain untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa. Tujuannya adalah memberikan dorongan bagi pengusaha sektor pariwisata. Hal ini berbeda dengan pajak hiburan tertentu tersebut yang dikenakan tarif tinggi dengan alasan untuk mengendalikan konsumsinya.
Dengan demikian, kebijakan tarif pajak hiburan atas jasa diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa yang dinilai sangat tinggi oleh sejumlah kalangan merupakan hasil dari kesepakatan bersama pembuat kebijakan, baik dari eksekutif maupun legislatif. Pemerintah tentunya menerapkan kebijakan tarif tersebut setelah melalui berbagai pertimbangan. Kebijakan tersebut di antaranya sebagai upaya pemerintah mengatur tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik.