Day: November 19, 2024

Memahami Underground Economy dan Dampaknya: Dari Judi Online Hingga Pedagang Kaki Lima

Jakarta, 18 November 2024 – Kompleksitas underground economy (UGE) di Indonesia semakin menjadi perhatian serius pemerintah, terutama setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti aktivitas ini sebagai bentuk penghindaran pajak. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa fenomena UGE memerlukan pemahaman komprehensif, mulai dari definisi hingga penanganannya.

“Untuk membahas underground economy, kita perlu menyepakati terlebih dahulu cakupan dan pengertiannya. Para ahli mendefinisikannya secara beragam, namun pada intinya underground economy adalah kegiatan ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam perhitungan Produk Domestik Bruto atau PDB,” jelas Prianto.

Memahami Komponen PDB dan Underground Economy

Prianto menjelaskan bahwa untuk memahami UGE, perlu terlebih dahulu mengerti komponen PDB. “PDB memiliki komponen yang meliputi konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Ini dapat dirumuskan dalam persamaan: Y = C + I + G + X – M,” paparnya.

Mengambil contoh ekspor, Prianto mengilustrasikan: “Dalam kegiatan ekspor, kita bisa melihat dua jenis: ekspor legal yang meningkatkan PDB, dan ekspor ilegal yang tidak menambah PDB. Ini salah satu contoh sederhana membedakan aktivitas resmi dan underground economy.”

Empat Kategori Underground Economy

Berdasarkan kajian para ahli, underground economy dapat dibagi menjadi empat kategori utama:

1. Illegal Economy

  • Perdagangan narkoba
  • Aktivitas prostitusi
  • Perjudian online
  • Penyelundupan barang
  • Berbagai bentuk penipuan

2. Unreported Economy

  • Transaksi ekonomi yang sengaja tidak dilaporkan
  • Bertujuan menghindari kewajiban perpajakan
  • Melanggar aturan pelaporan pajak

3. Unrecorded Economy

  • Aktivitas ekonomi yang tidak tercatat
  • Menghindari persyaratan pelaporan statistik pemerintah
  • Tidak masuk dalam data resmi

4. Informal Economy

  • Pedagang asongan dan kaki lima
  • Warung dan toko kelontong
  • Pekerja rumah tangga
  • Tukang ojek dan penarik becak
  • Pengemudi bajaj
  • Pemulung

Tantangan Penghitungan Potensi Pajak

Dalam hal potensi penerimaan pajak dari UGE, Prianto menegaskan bahwa penghitungannya sangat kompleks. “Untuk illegal economy, otoritas pajak biasanya tidak sampai mengenakan pajak karena sudah ditangani aparat penegak hukum yang akan menyita barang bukti termasuk hasil transaksinya,” jelasnya.

Untuk kategori UGE lainnya, penghitungan potensi pajak menggunakan pendekatan moneter. “Logika dasarnya adalah pelaku UGE umumnya menggunakan transaksi tunai. Kita perlu mengestimasi jumlah uang kartal di masyarakat dan menganalisis berapa bagian yang digunakan dalam official economy,” tambahnya.

Solusi Teknologi dan Kebijakan

Pemerintah telah mengambil langkah strategis dengan menerapkan Core Tax Administration System (CTAS). “CTAS merupakan terobosan yang tepat karena menggunakan enam jenis Artificial Intelligence berbeda untuk mendeteksi transaksi. Sistem ini sangat powerful untuk mengidentifikasi transaksi UGE, kecuali illegal economy,” ungkap Prianto.

Bank Indonesia juga berperan aktif dengan mendorong gerakan transaksi nontunai, terutama di sektor informal. Prianto menambahkan, “Kombinasi CTAS dan dorongan transaksi nontunai akan sangat efektif dalam mengawasi dan mengelola aktivitas ekonomi informal.”

Pembagian Wewenang Penanganan

Dalam penanganan UGE, terdapat pembagian wewenang yang jelas:

• Illegal economy ditangani oleh aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, dan KPK)

• Transaksi ekonomi lainnya menjadi domain otoritas pajak

• Pelaku UGE memiliki hak untuk upaya hukum hingga Mahkamah Agung

• Bank Indonesia fokus pada kebijakan transaksi nontunai

“Yang perlu digarisbawahi, penanganan illegal economy mengutamakan hukum pidana dibanding hukum administrasi pajak sesuai asas premium remedium. Sementara untuk jenis UGE lainnya, pemerintah terus melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak,” tutup Prianto.

Fenomena underground economy terus menjadi perhatian serius pemerintah mengingat potensi kerugian negara yang signifikan. Kombinasi pendekatan teknologi, regulasi, dan penegakan hukum diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang selama ini berada di bawah radar.

Kenaikan PPN 2025 Sudah Sesuai Regulasi, Pemerintah Perlu Siapkan Insentif

Jakarta, 18 November 2024 – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menuai berbagai tanggapan. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai kebijakan kenaikan tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang ada dan memiliki tujuan strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional.

“Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sudah sesuai regulasi yaitu diatur dalam Pasal 7 UU PPN hasil revisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ini artinya sudah ada kesepakatan antara rakyat, melalui wakilnya di DPR, dengan pemerintah,” jelas Prianto.

Menurut Prianto, kebijakan ini memiliki tujuan utama untuk meningkatkan rasio pajak. “Jika rasio pajak bisa mencapai 15%, akan ada keleluasaan bagi pemerintah untuk mendistribusikan pajak tersebut kembali ke masyarakat,” ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran terkait dampak kenaikan PPN di tengah kondisi ekonomi yang menantang, Prianto menyarankan pemerintah untuk tetap menjalankan amanat UU PPN tersebut sambil menyiapkan berbagai program insentif untuk masyarakat.

“Pemerintah dapat mengambil dua pendekatan kebijakan belanja. Pertama, kebijakan langsung seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat terdampak. Kedua, kebijakan tidak langsung melalui program Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor industri tertentu seperti properti atau tekstil,” jelasnya.

Terkait prospek ekonomi tahun 2025, Prianto tetap optimis namun realistis. “Kondisi warga Indonesia di 2025 akan lebih baik dari sekarang. Namun, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat, khususnya yang terdampak kondisi perekonomian, juga harus proaktif untuk keluar dari kondisi sulit,” tegasnya.

Sekilas Tentang Kenaikan PPN

• Kenaikan PPN dari 11% ke 12% akan berlaku mulai tahun 2025

• Kebijakan ini merupakan bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

• Target rasio pajak nasional adalah 15%

• Pemerintah berencana menyiapkan program kompensasi untuk masyarakat terdampak

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan rencana kenaikan PPN ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat basis perpajakan nasional sekaligus memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.