Day: October 12, 2024

Potensi Pajak Kripto Menanti Kejelasan Regulasi Pengawasan

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Optimalisasi penerimaan pajak dari perdagangan aset kripto masih menunggu kepastian pengalihan pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ditargetkan rampung pada awal 2025.

Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa potensi penerimaan pajak kripto akan sangat bergantung pada jenis dan tarif pajak yang akan ditetapkan setelah peralihan pengawasan tersebut.

“Saat peralihan pengawasan ke OJK terjadi, akan muncul persoalan legalitas dan hierarki hukum yang perlu diperhatikan. Pasalnya, berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pengenaan pajak di Indonesia harus didasarkan pada undang-undang,” jelasnya.

Skema Perpajakan Saat Ini

Saat ini, perpajakan aset kripto mengacu pada UU PPh dan UU PPN dengan peraturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 (PMK 68/2022). Regulasi ini mengatur pengenaan PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto sebagai berikut:

Pajak Pertambahan Nilai (PPN):

1. 1% dari nilai transaksi aset kripto yang diserahkan oleh penjual

2. 11% dari nilai jasa penyediaan sarana elektronik untuk transaksi perdagangan aset kripto

3. 1,1% atas nilai jasa verifikasi transaksi dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto

Pajak Penghasilan (PPh):

1. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari nilai transaksi penjualan aset kripto

2. Tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh untuk penghasilan dari penyediaan sarana elektronik

3. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari penghasilan penambangan aset kripto

Tantangan Regulasi

Prianto menekankan adanya potensi kendala regulasi dalam peralihan pengawasan ke OJK. “UU perpajakan yang berlaku saat ini memberikan amanat pengaturan teknisnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, bukan Peraturan OJK,” ujarnya.

Optimalisasi Penerimaan

Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor kripto, Prianto menyarankan agar otoritas yang nantinya berwenang dapat memastikan terciptanya ekosistem perdagangan aset kripto yang semarak, serupa dengan transaksi aset keuangan lainnya seperti saham atau surat utang.

Langkah ini menjadi krusial mengingat potensi pertumbuhan pasar aset kripto di Indonesia yang terus berkembang. Kejelasan regulasi dan pengawasan yang efektif diharapkan dapat mendorong peningkatan volume transaksi sekaligus optimalisasi penerimaan pajak dari sektor ini.

Menurunkan PPh Badan: Langkah Strategis Mendorong Investasi dan Kepatuhan Pajak

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Rencana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22% menjadi 20% yang dicanangkan oleh pemerintahan mendatang dinilai sebagai langkah strategis untuk meningkatkan investasi dan kepatuhan pajak. Kebijakan ini sejalan dengan tren global pengurangan tarif pajak korporasi dan tidak akan berbenturan dengan implementasi kebijakan pajak internasional.

Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono yang juga merupakan pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menjelaskan bahwa penurunan tarif PPh Badan ini sebenarnya telah direncanakan sejak Perppu 1/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 2/2020. “Rencana implementasi tarif 20% sempat akan diberlakukan pada tahun 2020, namun kemudian dibatalkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), sehingga tarif tetap bertahan di 22% hingga saat ini,” jelasnya.

Menurut Prianto, logika di balik penurunan tarif ini adalah untuk mengurangi beban pajak wajib pajak badan. “Dengan tarif yang lebih rendah, diharapkan akan semakin banyak wajib pajak badan yang membayar pajak dengan tarif 20%. Pada akhirnya, hal ini justru berpotensi meningkatkan penerimaan pajak secara agregat,” ujarnya.

Harmonisasi dengan Kebijakan Pajak Global

Terkait dengan implementasi kebijakan Two Pillar Solution yang diinisiasi oleh G20 dan OECD, Prianto menegaskan bahwa penurunan tarif PPh Badan tidak akan menimbulkan masalah. “Pilar 2 tentang Global Minimum Tax (GMT) menetapkan tarif minimum 15%. Dengan demikian, tarif 20% masih berada di atas batas minimum tersebut,” jelasnya.

Prospek Penerimaan Pajak

Meski tarif diturunkan, pemerintah tetap optimis dapat mempertahankan tren positif penerimaan pajak. Dengan asumsi beban PPh badan per wajib pajak menurun namun jumlah wajib pajak meningkat, total penerimaan PPh badan secara agregat diproyeksikan tetap akan mengalami pertumbuhan.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan tren positif penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir, dengan realisasi penerimaan mencapai Rp 1.869,23 triliun pada tahun 2023 dan outlook 2024 sebesar Rp 1.921,90 triliun.

Kebijakan penurunan tarif PPh Badan ini diharapkan dapat menjadi katalis untuk meningkatkan daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi, sekaligus mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik di kalangan pelaku usaha.