Day: August 14, 2024

Kontroversi PMK 47/2024: Upaya Pemerintah Perketat Aturan Penghindaran Pajak Menuai Kritik

Jakarta, 12 Agustus 2024 – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47/2024 yang baru-baru ini diterbitkan untuk memperketat aturan Automatic Exchange of Information (AEoI) telah memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dan perpajakan. Aturan ini ditujukan untuk menangani pihak-pihak yang bersekongkol dengan wajib pajak dalam melakukan penghindaran pajak.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam sebuah wawancara eksklusif menjelaskan bahwa PMK 47/2024 merupakan perubahan ketiga dari PMK 70/2017 yang mengatur tentang akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan.

“Pemerintah ingin memasukkan General Anti-avoidance Rules (GAAR) ke dalam aturan ini,” ujar Budi. “Namun, implementasinya menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang perlu diperhatikan.”

Menurut Budi, salah satu konsekuensi dari penambahan pasal tentang GAAR adalah petugas pajak dapat melakukan penilaian subjektif atas kesepakatan yang dilandasi asas kesucian kontrak dalam KUH Perdata. “Ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambahnya.

Lebih lanjut, Budi mengkritisi hierarki hukum dari PMK 47/2024. “Ada indikasi pengaturan yang melebihi kewenangan dari sebuah PMK,” jelasnya. Ia merujuk pada UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang membatasi pendelegasian kewenangan dari UU kepada menteri hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

PMK 47/2024 tampaknya membuat norma hukum baru, termasuk larangan membuat kesepakatan perdata yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak menurut penilaian petugas pajak, serta memberi kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menyatakan kesepakatan tersebut tidak berlaku tanpa proses pengadilan.

Meski demikian, Budi mengingatkan bahwa setiap kebijakan selalu memiliki dua sisi. “Dari sisi pembuat kebijakan, isi perubahan aturan di PMK 47/2024 tetap dapat dianggap sebagai bagian dari petunjuk teknis dari UU No. 9/2017,” katanya.

Kontroversi ini menyoroti ketegangan antara upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dan kebutuhan untuk menjaga kepastian hukum bagi wajib pajak dan pelaku usaha. Para pemangku kepentingan kini menanti kemungkinan pengujian aturan ini di Mahkamah Agung untuk memastikan keabsahannya.

Sementara itu, Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi terkait kritik terhadap PMK 47/2024. Namun, sumber internal menyatakan bahwa aturan ini diperlukan untuk menutup celah penghindaran pajak yang semakin canggih.

Terlepas dari kontroversi, para ahli berharap akan ada dialog lebih lanjut antara pemerintah, pelaku usaha, dan ahli hukum untuk mencapai keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dan kepastian hukum dalam praktik perpajakan di Indonesia

Pakar Ekonomi: Indonesia Perlu Pertimbangkan Matang Saran IMF Terkait Strategi Penerimaan Negara

Jakarta, 12 Agustus 2024– International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini mengeluarkan laporan yang menyoroti perlunya pembaruan Medium Term Revenue Strategy (MTRS) 2017 di Indonesia. Namun, seorang pakar ekonomi memperingatkan bahwa implementasi saran-saran tersebut memerlukan pertimbangan yang cermat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menganalisis beberapa saran kunci IMF dalam sebuah wawancara eksklusif. “Setiap opsi yang muncul dalam proses formulasi kebijakan pasti memunculkan ambivalensi. Dengan kata lain, ada sisi positif dan negatif sehingga ada pihak yang pro dan kontra terhadap usulan IMF tersebut,” ujarnya.

Salah satu saran IMF adalah menurunkan threshold pengusaha kena pajak. Menurut Budi, hal ini bisa meningkatkan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun juga berpotensi meningkatkan biaya administrasi bagi Direktorat Jenderal Pajak dan biaya kepatuhan bagi pengusaha kecil.

Terkait penambahan objek cukai, Budi menjelaskan bahwa meskipun hal ini dapat meningkatkan penerimaan negara, ada risiko pergeseran perilaku konsumsi masyarakat ke produk substitusi yang tidak terkena cukai atau terkena cukai dengan tarif lebih rendah.

Saran IMF untuk meninjau ulang kebijakan tax expenditure juga mendapat perhatian khusus. “Kebijakan belanja pajak seringkali muncul ketika krisis ekonomi terjadi atau terjadi perlambatan ekonomi,” kata Budi. Ia menambahkan bahwa meskipun ada argumen untuk mengalokasikan dana secara lebih produktif, kebijakan belanja pajak dapat membantu menjaga daya beli masyarakat di masa sulit.

Menanggapi pertanyaan tentang kemampuan Indonesia untuk menjalankan saran-saran IMF, Budi menegaskan bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk melakukannya. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai perspektif sebelum mengambil keputusan.

“Pada akhirnya, pemerintah harus mengambil keputusan, yaitu: menjalankan semua saran IMF tanpa modifikasi kebijakan, menjalankan saran IMF dengan modifikasi kebijakan, atau tidak menjalankan saran IMF tersebut,” jelas Budi.

Ia menambahkan bahwa dalam praktiknya, pilihan kebijakan seringkali tidak mencapai titik ideal. “Berdasarkan kompromi, Pemerintah akan menerapkan the second best policies,” tutupnya.

Sementara itu, beberapa saran IMF lainnya, seperti menurunkan threshold UMKM dan memulai cukai BBM, masih memerlukan kajian lebih lanjut. Bahkan, rencana cukai plastik yang pernah diusulkan IMF sebelumnya masih mengalami kemandegan dalam implementasinya.

Dengan berbagai pertimbangan yang kompleks ini, masyarakat dan pelaku ekonomi di Indonesia akan menanti dengan seksama langkah-langkah konkret yang akan diambil pemerintah dalam merespons rekomendasi IMF, sambil tetap menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat