Day: April 30, 2024

Apa dan Bagaimana Implementasi Tarif Efektif Rata-Rata

Pajak penghasilan merupakan salah satu jenis pajak yang berkontribusi positif bagi penerimaan negara. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya mengoptimalkannya dengan memudahkan Wajib Pajak dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menerbitkan peraturan terbaru terkait dengan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi melalui Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2023 (PP-58/2023) beserta peraturan teknis Peraturan Menteri Keuangan No. 168 Tahun 2023. (PMK-168/2023). Kedua beleid tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2024.

Ketentuan PP-58/2023 dan PMK-168/2023 memberikan pengaturan baru tentang Tarif Efektif Rata-Rata (TER) PPh Pasal 21. Kehadiran regulasi ini dilatarbelakangi oleh kompleksitas perhitungan PPh Pasal 21 pada ketentuan sebelum berlakunya PP-58/2023 dan PMK-168/2023 (“Ketentuan Lama”). Sehubungan dengan mekanisme dalam menghitung dan memotong PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh pemberi kerja melalui withholding tax system, pemberi kerja merasa keberatan dalam melakukan perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21. Hal ini disebabkan oleh adanya variasi perhitungan pajak penghasilan yang beragam sesuai dengan kondisi pegawai.

Gambar 1: Ilustrasi Kompleksitas Skenario Perhitungan PPh Pasal 21 Pada Regulasi Lama*

Sumber: Buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 (2024)

*Ketentuan sebelum berlakunya PP-58/2023 dan PMK-168/2023

Penerapan TER mampu menekan kompleksitas pengaturan PPh Pasal 21 pada ketentuan-ketentuan lama/sebelumnya. Fenomena yang kerap terjadi, pemotong pajak memiliki kekhawatiran akan terjadinya kesalahan perhitungan PPh Pasal 21 yang disebabkan oleh variasi kondisi pegawai dan bukan pegawai yang menerima penghasilan. Sebagaimana pada Gambar 1 di atas, terdapat kompleksitas skenario perhitungan PPh sesuai dengan status kepegawaian (pegawai tetap, pegawai tidak tetap), bukan pegawai dan penerima pensiunan. Tidak hanya itu, pemberi kerja perlu mengategorikan pemberian upah yang diterima oleh Wajib Pajak.

Tidak hanya itu, pemberi kerja juga memiliki beban kepatuhan (cost of compliance) agar melakukan perhitungan PPh Pasal 21 dengan benar sehingga meminimalisasi timbulnya sanksi administratif yang harus ditanggung pemotong jika terdapat kesalahan. Oleh karena itu, tidak sedikit pemberi kerja sebagai pemotong pajak memilih untuk mengembangkan sistem payroll yang kompleks atau berkonsultasi dengan tim ahli agar meminimalisasi terjadinya kesalahan.

Sesuai dengan spirit penerbitan PP-58/2023 dan PMK-168/2023, TER PPh Pasal 21 dirancang untuk memberikan kemudahan bagi pemberi kerja dalam melakukan perhitungan PPh Pasal 21 di setiap masa pajak. Tarif efektif ini sudah memperhitungkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi setiap jenis status PTKP. Skema ini diharapkan akan memudahkan penghitungan karena Wajib Pajak cukup mengalikan tarif efektif tersebut dengan penghasilan bruto setiap masa pajaknya.

Oleh karena itu, Pemerintah berharap dengan adanya kemudahan dalam perhitungan PPh dapat mendorong kepatuhan pemberi kerja sebagai pemotong PPh 21 dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Tidak hanya pemberi kerja yang merasakan keuntungan dari penerapan TER, pelaksanaan ketentuan tersebut akan memberikan jalan bagi pemerintah dalam membangun sistem administrasi perpajakan dalam melakukan validasi atas perhitungan pemotong PPh 21. Otoritas pajak menilai dengan adanya TER, pemberi kerja dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dengan cara yang lebih sederhana. Dengan demikian, simplifikasi perhitungan PPh Pasal 21 dapat menekan biaya kepatuhan (cost of compliance)

Perbedaan mendasar pada pelaksanaan TER dengan ketentuan lama adalah penggunaan kategori tarif efektif bulanan dan harian berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) penerima penghasilan. Kategori tarif efektif bulanan dan harian dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2: Tarif Efektif Bulanan (Pegawai Tetap)

Kategori Status PTKP
A ·       Tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0)

·       Tidak kawin dengan 1 tanggungan (TK/1)

·       Kawin tanpa tanggungan (K/0)

B ·       Tidak kawin dengan 2 tanggungan (TK/2)

·       Tidak kawin dengan 3 tanggungan (TK/3)

·       Kawin dengan 1 tanggungan (K/1)

·       Kawin dengan 2 tanggungan (K/2)

C Kawin dengan 3 tanggungan (K/3)

Tabel 3: Tarif Efektif Harian (Pegawai Tidak Tetap)

Penghasilan Bruto Harian Tarif
Sampai dengan Rp 450 ribu 0%
Diatas Rp 450 ribu s.d Rp 2,5 juta 0,5%

Potensi Lebih Bayar PPh Sebagai Implementasi TER

Wajib Pajak yang menemukan bahwa nilai PPh Pasal 21 yang telah dipotong dengan TER pada masa pajak selain masa pajak terakhir lebih besar dari pada PPh Pasal 21 terutang selama 1 tahun pajak/bagian tahun pajak.

Berdasarkan ilustrasi perhitungan TER PPh Pasal 21 pada buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26, terdapat beberapa kriteria Wajib Pajak yang memiliki potensi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21, di antaranya:

  1. Wajib Pajak pegawai yang berhenti bekerja sebelum masa pajak Desember;
  2. Wajib Pajak pegawai yang mulai bekerja sebelum masa pajak Desember; dan
  3. Wajib Pajak pegawai yang menerima bonus/tunjangan.

Wajib Pajak yang mendapati kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja memiliki 2 pilihan, yaitu mengajukan permohonan restitusi atas kelebihan pembayaran PPh atau mengajukan kompensasi atas kelebihan pembayaran PPh pada masa pajak selanjutnya.

Pertama, jika Wajib Pajak memilih untuk mengajukan restitusi atas lebih bayar, beleid PMK-168/2023 telah mengatur mengenai restitusi kelebihan pemotongan PPh. Sesuai dengan pasal 21 ayat (1) PMK-168/2023, jika terdapat kelebihan pembayaran PPh Pasal 21, maka pemotong pajak wajib mengembalikan dana yang dipotong dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21 paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak terakhir. Kedua, Wajib Pajak dapat memilih untuk melakukan kompensasi kelebihan pembayaran PPh pada masa pajak selanjutnya melalui SPT masa, tanpa harus berurutan.

Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 21 PMK-168/2023 Wajib Pajak yang mendapati kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 dapat memilih untuk mengajukan restitusi atau kompensasi tanpa khawatir akan dilakukan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak. Hal ini karena pengembalian restitusi dapat dilakukan oleh pemberi kerja.

Pada dasarnya, ketentuan TER dibuat sedemikian rupa dengan tujuan memberikan kemudahan bagi pemberi kerja dalam menghitung PPh Pasal 21 pegawai dan bukan pegawai. Akan tetapi, seperti kata pepatah ‘tak ada gading yang tak retak’, ketentuan ini belum tentu dinilai sempurna sehingga dapat menimbulkan kontra pada tahap pelaksanaanya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) pun telah berupaya mengakomodasi pelaksanaan TER dalam perhitungan PPh Pasal 21. Salah satu upaya tersebut misalnya dengan menyediakan Kalkulator Pajak melalui situs https://kalkulator.pajak.go.id/. Dengan demikian, Wajib Pajak secara pribadi dapat melakukan perhitungan PPh 21 secara mandiri.

Kontribusi Penerimaan Pajak WP Besar Orang Pribadi

Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 76 Tahun 2023 menetapkan target penerimaan pajak tahun 2024 sebesar Rp 1.988,9 triliun. Angka tersebut meningkat 6,4% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2023 sebesar Rp 1.869,2 triliun. Salah satu sumber penerimaan pajak tersebut tentu tidak lepas dari kontribusi para Wajib Pajak (WP) Besar yang diawasi oleh Kantor Wilayah (Kanwil)/Large Tax Office (LTO).

Dilansir dari laman insight.kontan.co.id, Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut target penerimaan pajak dari WP Besar sesuai APBN Tahun 2024 sebesar Rp 607,8 triliun, atau setara dengan 30,5% sumber penerimaan pajak tahun 2023.

Dwi menambahkan sebagai upaya yang akan “dilakukan dalam rangka mengoptimalkan penerimaan dari Wajib Pajak Besar tidak lepas dari rencana strategis DJP secara umum. Kanwil LTO akan melakukan pengawasan kepada para WP Besar.

Bentuk pengawasan dilaksanakan menyesuaikan tingkat risiko ketidakpatuhan dengan menggunakan proses Compliance Risk Management (CRM). Adapun risiko ketidakpatuhan tersebut secara sederhana dibagi menjadi tiga kategori: tinggi, sedang, dan rendah. Seluruh WP Besar tersebut akan ditangani sesuai tingkat risiko masing-masing.

Secara teknis, Kanwil LTO memiliki empat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan cakupan yang berbeda-beda. Empat KPP tersebut terdiri dari KPP Wajib Pajak Besar Satu, KPP Wajib Pajak Besar Dua, KPP Wajib Pajak Besar Tiga, dan KPP Wajib Pajak Besar Empat.

Sebagai informasi, cakupan KPP Wajib Pajak Besar Satu meliputi WP di sektor pertambangan dan jasa penunjang pertambangan. Kedua, KPP Wajib Pajak Besar Dua meliputi wajib pajak sektor industri, perdagangan dan jasa. Ketiga, KPP Wajib Pajak Besar Tiga mencakup WP perusahaan negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor industri dan perdagangan. Keempat, KPP Wajib Pajak Besar Empat meliputi WP perusahaan negara/BUMN sektor jasa dan WP Besar Orang Pribadi (OP).

Chairul Tanjung dan Anthony Salim merupakan dua dari WP Besar OP. Adapun wajib pajak badan yang terdaftar di Kanwil LTO adalah PT Pertamina, PT Freeport Indonesia, PT Unilever Indonesia Tbk, dan perusahaan besar lainnya

Mengacu pada laman CNBC Indonesia (cnbcindonesia.com) dan DDTC (news.ddtc.co.id), per Juli 2022 DJP telah mencatat sebanyak 5.443 WP telah terdata sebagai WP Besar OP. Angka tersebut mengacu pada jumlah wajib pajak yang telah melapor SPT PPh dengan bracket 35%. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding data wajib pajak orang besar dari KPP Wajib Pajak Besar Empat saja yang berjumlah 1.119 pada 2022 lalu.

Secara pengertian, WP Besar OP atau secara umum dikenal  juga dengan istilah crazy rich adalah mereka yang memiliki pendapatan tahunan di atas Rp5 miliar. Sesuai Pasal 17 UU PPh, WP dengan pendapatan di atas Rp5 miliar mendapatkan perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan seluruh lapisan tarif pajak dari 5% s.d. 35%.

Sejak penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2021 tentang Penyesuaian Pengaturan Bidang PPh (PP-55/2021), Pemerintah telah menambahkan lapisan tarif PPh tertinggi yaitu 35%.

Latar belakang dari penerapan kebijakan tersebut untuk menjunjung asas keadilan. Mengutip dari laman Republika.com, Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, menyatakan penambahan tarif tertinggi bertujuan sebagai upaya memajaki orang kaya dan memberikan keadilan. “Itu kira-kira pajaknya bisa mencapai kurang lebih Rp1,75 miliar setahun! Besar ya. Adil bukan?,” tulis Sri Mulyani seperti dikutip dari akun Instagram resminya Kamis (5/1/2023).

Kontribusi Pajak Penghasilan High Net Worth Individu di Indonesia

Knight Frank Global merilis laporan berjudul “The Wealth Report” 2022 lalu, pertumbuhan potensi wajib pajak besar orang pribadi sejak 2021 hingga 2026 nanti diperkirakan mencapai 29% atau sebanyak 1.810 individu untuk kategori Ultra High Net Worth Individu (UHNWI). Serta 63% atau sebanyak 134.015 individu untuk kategori High Net Worth Individu (HNWI). Kategori UHNWI yang dimaksud adalah individu dengan total kekayaan di atas USD 30 juta, sedangkan kategori HNWI adalah individu dengan kekayaan di atas USD 1 juta.

Meskipun laporan dari Knight Frank Global menyatakan pertumbuhan potensi WP Besar meningkat, secara data pertumbuhan setoran pajak dari kelompok penerimaan pajak dari kelompok UHNWI hanya 0,00013 persen pada 2027.

Dengan demikian, patut kita amati kedepanya apakah kinerja pengawasan KPP Wajib Pajak Besar dapat memanfaatkan sepenuhnya potensi pertumbuhan Wajib Pajak Besar sehingga dapat berpengaruh pada penerimaan negara di masa yang akan datang. Pemerintah harus lebih gencar melakukan sosialisasi kepatuhan kewajiban perpajakan, terlebih lagi menjelang akhir pelaporan WP OP yang akan jatuh pada tanggal 31 Maret 2024 mendatang.