Day: October 9, 2023

Urgensi Pengaturan Kembali Pajak atas Natura dan/atau Kenikmatan

Pandemi Corona Virus Desease 2019 (“COVID-19”) telah terbukti meningkatkan risiko ketidakpastian pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Selain bidang kesehatan, dunia bisnis juga mengalami kegagapan dalam menghadapi virus mematikan tersebut. Semua lini masyarakat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang disebabkan oleh virus yang membuat kita harus menjaga jarak antarmanusia.

Bisnis harus agile dan beradaptasi, begitupun pemerintah dan regulasinya, termasuk regulasi perpajakan. Hal tersebut membuktikan bahwa regulasi perpajakan yang diatur sedemikian rupa sangat penting untuk memenuhi fungsi perpajakan dan menghadapi ketidakpastian. Menurut Adiyanta (2020), dipadukan dengan dinamika global saat ini, reformasi kebijakan perpajakan yang berkelanjutan diperlukan untuk menyederhanakan sistem perpajakan dan menciptakan keseimbangan antara pemerintah, masyarakat, dan ekonomi.

Ketidakpastian ini pada akhirnya menyebabkan pemerintah Indonesia melaksanakan reformasi kebijakan perpajakan yang mendasar dengan disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP dibentuk untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian berkelanjutan, mendukung percepatan pemulihan perekonomian, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) secara sukarela.

Penerbitan UU HPP menandakan era baru reformasi perpajakan dengan salah satu poin yang tercantum adalah pengaturan kembali perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan di Indonesia. Pada UU HPP, penggantian atau imbalan sehubungan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari WP atau pemerintah kini dikategorikan menjadi objek pajak penghasilan.

Pengaturan kembali tentang penggantian atau imbalan natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai akan mempengaruhi paradigma sebagian kalangan, tidak hanya fiskus pajak, tetapi juga WP. Pada ketentuan sebelum diberlakukan UU HPP, natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai dianggap sebagai non taxable income sehingga pengeluaran yang dilakukan oleh pemberi kerja atas natura dan/atau kenikmatan tersebut digolongkan sebagai non deductible expense.

Di sisi lain, terdapat beberapa pengecualian seperti natura yang dapat dikenakan pajak bila pemberi kerja merupakan WP dengan tarif PPh final n pemberian natura dalam bentuk sesuai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 167/PMK.03/2018. Pengecualian tersebut memicu upaya-upaya tax planning yang tentunya merugikan negara dari segi penerimaan pajak (Dewanto & Wijaya, 2018). Selain itu, biaya upah dalam bentuk natura yang dilakukan pemberi kerja, secara substansial merupakan biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan (Richter, 2006). Dengan demikian, biaya atas natura dan/atau kenikmatan seharusnya dapat digolongkan sebagai deductible sesuai dengan yang tertera pada Pasal 6 ayat 1 UU PPh.

Pengaturan kembali objek natura sebagai objek PPh dilatarbelakangi oleh kecenderungan perilaku perusahaan sebagai pemberi kerja (corporate opportunistic behavior) yang menggunakan kesempatan celah pajak (tax loophole) di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 (“UU PPh sebelum direvisi menjadi UU HPP”). Adapun perilaku oportunistik ini disebabkan oleh perbedaan tarif PPh Pasal 21 dan tarif PPh Badan sehingga menimbulkan perilaku creative tax compliance yaitu penghindaran pajak secara legal (tax avoidance).


Penghindaran
Pajak/Tax Avoidance pada Kenikmatan

Sebelum berlakunya UU HPP, natura dan/atau kenikmatan merupakan salah satu instrumen tax avoidance bagi WP. Praktik penghindaran pajak melalui skema pemberian natura dan/atau kenikmatan bagi pegawai terletak pada perbedaan tarif PPh yang dikenakan pada individu orang pribadi dan badan. Pada prinsip pemajakan atas pemberian natura dan/atau kenikmatan adalah beban pajak ditanggung oleh penerima natura dan/atau kenikmatan. Prinsip tersebut kemudian dimanfaatkan oleh WP yang memiliki persyaratan objektif untuk melakukan efisiensi pajak. Dengan adanya celah ini, tentunya potensi penerimaan pajak yang dapat terealisasi akan terkikis. Perlakuan efisiensi pajak melalui pemberian natura dan/atau kenikmatan yang berlaku pada UU PPh sebelum direvisi UU HPP terbagi menjadi dua alternatif.

Alternatif pertama berlaku bagi pegawai yang memiliki penghasilan dari pemberi kerja dikenakan tarif PPh progresif paling tinggi sebesar 15%. Imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berpotensi lebih menguntungkan bagi perusahaan daripada imbalan dalam bentuk tunai. Keuntungan bagi perusahaan didapatkan melalui penghasilan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek PPh bagi pegawai (taxable) yang dikenakan tarif yang lebih rendah dari pada tarif PPh badan sebesar 22%.  Sementara itu, perusahaan dapat mengakui pemberian natura dan/atau kenikmatan sebagai biaya yang dapat mengurangi  penghasilan bruto (deductability). Dengan demikian, skema taxable-deductability mengakibatkan berkurangnya PPh Badan yang seharusnya dibayarkan oleh perusahaan (potential tax loss) karena selisih tarif PPh badan dengan tarif PPh orang pribadi.

Alternatif kedua berlaku bagi pegawai yang memiliki penghasilan dari perusahaan yang menggunakan tarif progresif lebih dari 15% (tarif PPh orang pribadi progresif 15%-30%). Opsi ini memberlakukan skema pemberian natura dan/atau kenikmatan bukan merupakan objek pajak (non-taxability) bagi pegawai dan tidak dapat dibiayakan (non-deductibility) bagi perusahaan. Pada umumnya, perusahaan memberlakukan alternatif kedua bagi pegawai yang memiliki jabatan tinggi (top level management) dengan pemberian tunjangan rumah, kendaraan, dan tunjangan lainnya. Skema pemberian natura dan/atau kenikmatan melalui opsi kedua ini cenderung membebankan tunjangan yang diterima oleh pegawai dengan jabatan tinggi kepada perusahaan untuk kepentingan pribadi mereka.

Perencanaan pajak melalui alternatif kedua memiliki dampak pada berkurangnya nilai PPh 21 yang harus dibayar oleh para karyawan top level dan mengalihkan beban pajak pada perusahaan. Berkurangnya nilai pajak yang harus dibayar oleh para karyawan top level tentunya akan berimplikasi pada keberhasilan fungsi redistribusi pajak.

Sejak berlakunya UU HPP dengan mencantumkan pengaturan kembali PPh atas natura dan/atau kenikmatan mengubah regulasi sebelumnya dengan harapan menutup celah tax avoidance. UU HPP beserta aturan turunannya menetapkan bahwa pemberi kerja hanya memiliki satu opsi untuk memberlakukan natura dan/atau kenikmatan agar diklasifikasikan sebagai deductible bagi pemberi kerja dan taxable bagi penerima. Perubahan regulasi ini mendorong pemberi kerja untuk mengurangi nilai gaji dan meningkatkan jumlah natura dan/atau kenikmatan yang diberikan pemberi kerja kepada pegawai.

Pemberian natura dan/atau kenikmatan yang seharusnya dikategorikan sebagai nondeductible expense diubah menjadi jenis akun lain yang dikategorikan sebagai deductible expense, misalnya gaji. Hal ini juga didukung dengan sulitnya melakukan tracing sehingga akan sangat rumit untuk bisa membuktikan apakah biaya yang telah dikeluarkan ditujukan untuk pemberian natura dan/atau kenikmatan. Beragam praktik tax avoidance tersebut akhirnya memunculkan urgensi untuk menciptakan suatu regulasi yang dapat memitigasi risiko-risiko tersebut ke depannya.

Maka dari itu, UU HPP hadir sebagai angin segar khususnya terkait permasalahan tax avoidance pada aspek perpajakan natura dan/atau kenikmatan. Dengan menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible, celah tax avoidance diharapkan dapat dicegah dan upaya pemerataan serta keadilan dapat tercapai. Hal ini akan berdampak pada rendahnya proporsi biaya yang dapat dibebankan secara fiskal bagi perusahaan sehingga pajak atas penghasilan badan yang dikenakan akan bertambah dan di sisi lain nilai pajak penghasilan orang pribadi penerima natura dan/atau kenikmatan akan jauh lebih kecil.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, regulasi sebelum UU HPP berkaitan dengan aspek perpajakan natura dan/atau kenikmatan telah menimbulkan distorsi pada perekonomian dengan meletakkan beban pajak pada badan/perusahaan. Maka dari itu, regulasi dalam UU HPP yang menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible menjadi titik awal optimalisasi perpajakan khususnya dari segi PPh orang pribadi.

Pemajakan yang dilakukan terhadap natura dan/atau kenikmatan akan mengeruk potensi penerimaan perpajakan yang cukup besar dari karyawan top level dan tidak akan memberatkan karyawan low level. Selain itu, regulasi dalam UU HPP juga berusaha untuk lebih berfokus pada aspek taxable income daripada deductibility pada natura dan/atau kenikmatan sehingga beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan lebih rendah dan diharapkan dapat mengurangi distorsi pada perekonomian.

Pada sisi pengawasan, pengaturan kembali PPh atas natura dan/atau kenikmatan dimasukkan dalam objek pemotongan PPh Pasal 21 diharapkan dapat mempermudah pengawasan dan kepatuhan WP dan perusahaan. Dasar pertimbangannya adalah bahwa mengawasi pelaporan SPT PPh 21 oleh pemberi kerja akan jauh lebih efektif dari pekerjaan mengawasi pelaporan SPT PPh orang pribadi pegawai dari pemberi kerja tersebut. Secara sederhana, bahwa mengawasi laporan pajak satu pemberi kerja yang mempekerjakan 1.000 pegawai akan lebih efektif dan efisien dari mengawasi 1.000 laporan pajak pegawainya.

Kepengurusan Baru, IFTAA Fokus Tingkatkan Mutu Pendidikan Perpajakan

Warta Ekonomi – 26 November

Warta Ekonomi, Jakarta – Ditunjuk sebagai Ketua Pengurus Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) baru untuk kepengurusan periode 2022-2027, Prianto Budi mengatakan pada periode kali ini akan difokuskan pada kemajuan dan pengembangan Ilmu Administrasi Fiskal dan Administrasi Perpajakan.

Dengan kepengurusan baru ini, ia juga berkomitmen mendorong penguatan learning outcome pendidikan perpajakan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) di sektor perpajakan di Indonesia.

“Serta berperan positif untuk kemajuan kebijakan dan administrasi perpajakan di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera,” ujar Prianto dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (26/11/2022). Prianto memastikan, kepengurusan yang baru ini dapat berkontribusi mengembangkan potensi keilmuan dan keprofesian perpajakan.

Harapannya, mampu meningkatkan mutu dan peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prianto menyatakan akan ada beberapa agenda kegiatan dan program kerja IFTAA yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

Antara lain penyusunan kurikulum nasional bidang perpajakan untuk program Diploma III (DIII), Sarjana (S1), dan Pascasarjana (S2) dan juga mengadakan seminar nasional dan internasional.

Adapun Sekjen IFTAA dijabat oleh Novianita Rulandari, dosen dari Institut Ilmu Sosial dan Manajemen (STIAMI). Sementara, Dewan Pakar diketuai Haula Rosdiana serta Dewan Penasehat dan Etik diketuai Edi Slamet Irianto.

 

Artikel ini telah tayang pada 26 November 2022 dengan judul “Kepengurusan Baru, IFTAA Fokus Tingkatkan Mutu Pendidikan Perpajakan” dengan tautan berikut :

https://wartaekonomi.co.id/read462071/kepengurusan-baru-iftaa-fokus-tingkatkan-mutu-pendidikan-perpajakan

IFTAA Harus Beri Manfaat bagi Ekosistem Perpajakan

Koran Jakarta – 22 November 

JAKARTA – Sejumlah kalangan berharap agar Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) bisa memberi manfaat bagi masyarakat. Organisasi ini harus bisa mengedukasi, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan administrasi pajak yang dirumuskan.

Ketua Umum IFTAA Prianto Budi Saptono mengatakan, pengurus baru yang telah dilantik akan segera bekerja dengan mengedepankan sedikitnya dua hal. Pertama, Organisasi IFTAA harus memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia khususnya Akademisi, Otoritas Perpajakan serta para Wajib Pajak.

“Kedua, IFTAA harus segera membuat dan melaksanakan program kerjanya sesuai AD/ART IFTAA dengan prioritas utama saat ini adalah menyiapkan Kurikulum Nasional Program Studi Perpajakan yang akan diselaraskan pada seluruh Program Studi Perpajakan Perguruan Tinggi seluruh Indonesia,” terangnya, kemarin.

Sedangkan Ketua Dewan Pakar dan Pengawas IFTAA, Haula Rosdiana, mengapresiasi kepengurusan yang baru serta mengingatkan bahwa IFTAA adalah organisasi keilmuan tentang fiskal dan perpajakan pertama dan satu-satunya di Indonesia yang diharapkan dapat berkontribusi bagi pengembangan para pelaku usaha dan membantu pemerintah menciptakan pajak, tidak hanya sebagai salah satu instrumen untuk revenue productivity tetapi juga sebagai social political economic enginering.

IFTAA hadir untuk menjawab tantangan atas pengembangan keilmuan terutama di bidang perpajakan yang mengalami perubahan yang sangat cepat, bersifat kompleks, ambigu dan penuh dengan ketidakpastian.

“IFTAA harus segera merumuskan standardisasi kurikulum Program Studi Perpajakan, melakukan penataan internal, dan melakukan sosialisasi tentang keberadaan IFTAA ke perguruan-perguruan tinggi di seluruh Indonesia,” kata Haula.

Dalam melaksanakan pembangunan di seluruh pelosok negeri, pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit di mana sebagian besar dana tersebut bersumber dari pemungutan pajak.

Sebagai regulator perpajakan di negeri ini, Direktorat Jenderal Pajak memerlukan kebijakan dan regulasi sebagai payung hukum dalam melaksanakan kewajibannya.

Kebijakan yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas ini harus dibuat dengan teliti, hati-hati, dan saksama, di mana dalam pembuatannya membutuhkan kajian dan masukan dari sudut pandang banyak pihak, di antaranya peran penting masukan dari akademisi dan praktisi bidang administrasi fiskal.

Tidak hanya memberikan masukan tetapi para akademisi dan praktisi fiskal juga diperlukan untuk mengedukasi, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan yang nanti akan dirumuskan.

Dalam upaya mengakomodir hal tersebut, para akademisi dan praktisi di bidang fiskal dan perpajakan Indonesia sepakat mendirikan paguyuban bernama Paguyuban Ilmu Administrasi Fiskal dan Pajak Indonesia yang sebelumnya bernama IFTAA didirikan pada 11 Desember 2012.

Dalam upaya regenerasi dan peremajaan pengurus pada 9 September 2022 di Hotel Patra, Semarang digelar Musyawarah Luar Biasa IFTAA dengan agenda pokok memilih pengurus IFTAA. Hasil Munaslub, terpilih pengurus inti IFTAA, Ketua Umum Prianto Budi Saptono, Sekretaris Jenderal Novianita Rulandari, dan Bendahara Umum Supriyadi. Ketua Dewan Penasihat dan Etik Edi Slamet Irianto, dan Ketua Dewan Pakar dan Pengawas Haula Rosdiana.

Dalam melaksanakan tugasnya, pengurus inti telah membentuk kepengurusan lengkap yang terdiri dari Departemen Penelitian dan Publikasi Ilmiah, Departemen Pengabdian Masyarakat, Departemen Pengembangan Keilmuan dan Kurikulum serta Departemen Hubungan Masyarakat, Kelembagaan dan Kerjasama dimana para pengurus ini telah dilantik pada 19 November 2022.

 

Artikel ini telah tayang pada 26 November 2022 dengan judul “IFTAA Harus Beri Manfaat bagi Ekosistem Perpajakan” dengan tautan berikut
https://koran-jakarta.com/iftaa-harus-beri-manfaat-bagi-ekosistem-perpajakan?page=all

Dosen Fiskal FIA UI Terpilih Sebagai Ketua Umum IFTAA Periode 2022-2027

FIA UI – 12 September 2022

Dr. Prianto Budi S, Ak., CA., MBA. selaku Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) terpilih sebagai Ketua Umum Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) periode 2022-2027 pada acara Munaslub IFTAA yang diselenggarakan di Semarang, 09-10 September 2022.

Dengan amanat barunya, Prianto menyatakan bahwa dimanapun manusia berada tetap harus bermanfaat bagi orang lain. “Misi hidup saya adalah agar saya bisa bermanfaat bagi sesama. Paling tidak, dengan posisi sebagai Ketua IFTAA 2022-2027, spirit hidup kebermanfaatan bagi sesama di atas dapat lebih optimal,” ujarnya.

Prianto juga menambahkan bahwa kedepannya langkah strategis yang akan ia ambil demi kemajuan IFTAA berfokus kepada ’empowering people’.

“Dengan kata lain, setiap orang yang menjadi pemangku kepentingan di IFTAA harus dapat diberdayakan dari sisi potensinya. Dengan demikian potensi masing-masing individu harus dimanfaatkan sehingga kemanfaatan masing-masing individu tersebut dapat bermanfaat bagi kelompoknya. Untuk skala yang lebih besar, masing-masing kelompok di setiap kampus dapat berkontribusi bagi organisasi IFTAA. Pada akhirnya, keberadaan IFTAA juga dapat memberikan kemanfaatan bagi pemangku kepentingan IFTAA di seluruh tingkatan,” jelasnya.

Adapun langkah strategis yang lebih konkret mengacu kepada AD/ART yang sudah disahkan pada saat Munaslub ada tiga, yaitu (1)Memajukan dan mengembangkan ilmu administrasi fiskal dan ilmu administrasi pajak, (2)Memberikan penguatan learning outcome pendidikan perpajakan dalam rangka meningkatkan kompetensi sumber daya manusia sektor perpajakan di Indonesia, (3)Berperan secara positif untuk kemajuan kebijakan dan administrasi perpajakan di Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Dirinya juga menambahkan bahwa seorang Prianto sendirian tidak akan dapat berperan untuk memajukan IFTAA agar IFTAA bermanfaat semua stakeholders-nya. “Sinergi dengan semua dosen yang berkepentingan dengan IFTAA harus optimal. Dengan demikian, tujuan IFTAA sebagai sebuah organisasi nirlaba dapat tercapai secara efektif. Satu kata untuk optimalisasi peran di IFTAA yaitu ‘sinergize’,” ungkapnya.

Kedepannya, dirinya berharap bahwa kedepannya IFTAA harus menjadi organisasi nirlaba yang memberikan kebermanfaatan yang optimal bagi pengembangan ilmu adminisitrasi fiskal dan pajak di Indonesia dan global. “Untuk periode 2022-2027, IFTAA harus merumuskan visi misi yang lebih terarah,” ungkapnya.

Dekan FIA UI Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., MM. mengungkapkan bahwa dengan terpilihnya Prianto sebagai ketua Umum IFTAA, FIA UI siap mendukung 100% IFTAA selaku asosiasi maupun Prianto sebagai ketua.

Diketahui, pada acara tersebut juga diselenggarakan Seminar Nasional bertajuk ‘Penguatan Peran Asosiasi dalam Pengembangan Keilmuan dan Akreditasi Prodi’.

 

Artikel ini telah tayang pada 12 September 2022 dengan judul “Dosen Fiskal FIA UI Terpilih Sebagai Ketua Umum IFTAA Periode 2022-2027” dengan tautan berikut
https://fia.ui.ac.id/dosen-fiskal-fia-ui-terpilih-sebagai-ketua-umum-iftaa-periode-2022-2027/

Pelantikan Pengurus 2022-2027, IFTAA Siap Berperan Positif untuk Kemajuan Kebijakan dan Administrasi Perpajakan di Indonesia

FIA UI | 19 November 2022

Sebagai asosiasi yang berperan positif untuk kemajuan kebijakan dan administrasi perpajakan di Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) baru saja melanitk kepengurusan baru periode 2022-2027 di Gedung Antam Tower B Jl. T.B. Simatupang No.1, Jakarta Selatan pada 19 November 2022.

Adapun susunan kepengurusan IFTAA yang baru saja dilantik yaitu terdiri dari Dr. Prianto Budi S, Ak., CA., MBA. selaku Ketua Pengurus dan Dosen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI. Dr. Prianto didampingi oleh Dr. Novianita Rulandari,S.AP.,M.Si.,CIQaR, CTT., selaku Sekretaris Jenderal dan Dosen dari Institut Ilmu Sosial dan Manajemen (STIAMI) serta didampingi Dewan Pakar yang diketuai oleh Guru Besar FIA UI Prof. Dr. Haula Rosdiana.,M.Si., beserta anggota. Tidak hanya itu, IFTAA juga baru saja melantik Dewan Penasehat dan Etik yang diketuai oleh Prof. Edi Slamet Irianto, M.Si beserta anggota.

Dr. Prianto selaku ketua mengatakan bahwa pelaksanaan pelantikan kepengurusan ini dilakukan untuk meresmikan kepengurusan agar dapat mengembangkan potensi keilmuan dan keprofesiaan serta dalam rangka meningkatkan mutu dan peran serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“”Selanjutnya ada beberapa agenda kegiatan dan program kerja IFTAA yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat, seperti penyusunan kurikulum nasional bidang perpajakan untuk program diploma tiga, sarjana,dan pascasarjana, serta seminar nasional dan internasional,” ujar Prianto dalam keterangannya.

Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si dalam sambutannya menyampaikan rasa bangga dan bahagia serta dukungan penuh untuk kepengurusan IFTAA periode tahun 2022-2027.

Diketahui, IFTAA sendiri merupakan asosiasi di bidang fiskal dan perpajakan yang bertujuan memajukan dan mengembangan Ilmu Administrasi Fiskal dan Administrasi Perpajakan, memberikan penguatan learning outcome pendidikan perpajakan dalam rangka meningkatkan kompetensi SDM sektor perpajakan di Indonesia.

 

Artikel ini telah tayang pada tanggal 19 November 2022 dengan judul “Pelantikan Pengurus 2022-2027, IFTAA Siap Berperan Positif untuk Kemajuan Kebijakan dan Administrasi Perpajakan di Indonesia” melalui tautan berikut

https://fia.ui.ac.id/iftaa-bantu-tingkatkan-sdm-di-bidang-administrasi-fiskal-dan-perpajakan/ 

Perpajakan Indonesia Sebagai Materi Perkuliahan di Perguruaan Tinggi

Penulis

Drs. Dwikora Harjo, M.Si., M.M., BKP., CRGP.

Sinopsis

Mata Kuliah Perpajakan adalah mata kuliah yang sangat bermanfaat dalam upaya membiayai pembangunan bangsa dan negara serta sangat diminati oleh para mahasiswa. Untuk lebih memudahkan dalam mempelajari dan memahami mata kuliah ini salah satu cara adalah perlu dikemas suatu buku perpajakan yang mudah dicerna dan dipahami bagi mereka.

Penerbit

Mitra Wacana Media

Buku Ajar Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan

 

Penulis

Drs. Dwikora Harjo, M.Si., M.M.
Dr.(C) Diana Prihadini, S.Sos., M.Si.
Drs. Jiwa Pribadi Agustianto., M.M.

Sinopsis

Dalam melaksanakan pemotongan dan pemungutan pajak terutama pajak penghasilan, regulator perpajakan di suatu negara harus mempunyai teori/dasar untuk melakukan justifikasi/pembenaran yang digunakan dalam melaksanakan tugasnya agar pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukannya tidak menyalahi norma-norma serta aturan hukum dan kemanusiaan. Menurut falsafah hukum pemotongan dan pemungutan pajak harus berdasar kepada keadilan dimana rasa keadilan ini berlaku dan bertindak sebagai asas utama dalam melakukan pemotongan dan pemungutan pajak. Keadilan pemotongan dan pemungutan perpajakan (equal treatment) harus setara baik bagi masyarakat selaku wajib pajak maupun petugas pemotong dan pemungutan pajak dalam kapasitas sebagai wajib pajak.

Dalam melakukan pemotongan dan pemungutan pajak di beberapa negara terdapat beberapa sistem yang digunakan dan setiap negara tidak sama dalam menerapkan sistem yang digunakan. Di Indonesia sistem pemotongan dan pemungutan pajak yang berlaku hingga saat ini terdiri dari tiga macam sistem, antara lain: Official Assesment System, Self Assesment System, Witholding Tax System
Sistem pemungutan pajak yang digunakan oleh suatu negara akan sangat berpengaruh terhadap optimalisasi pemasukan dana dari masyarakat ke kas negara. Indonesia menganut sistem self assesment system yang mengharuskan wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan (PPh). Seperti diterangkan terdahulu peran fiskus pada sistem ini adalah pengawasan, yakni jika ditemukan adanya perhitungan maupun penyetoran serta pelaporan oleh wajib pajak dianggap tidak benar maka fiskus akan mengadakan tindakan pemeriksaan, dimana hal ini dibenarkan oleh Undang Undang Perpajakan khususnya yang termaktub pada Pasal 12 ayat (1) Undang Undang KUP yang menyebutkan ”Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutan menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang”

Penerbit

Penerbit Widina 

Buku Ajar Bijak Menerapkan Manajemen Perpajakan

Penulis 

Drs. Dwikora Harjo, M.Si., M.M. Dr. Novianita Rulandari, M.Si

Sinopsis 

Di dalam menjalankan sebuah bisnis, baik perorangan maupun dalam bentuk perusahaan, pajak seolah menjadi momok yang begitu menakutkan. Bukan hanya tentang aturannya yang terasa sangat membingungkan bagi banyak Wajib Pajak, tetapi juga adanya semacam bentuk ketakutan bahwa pajak dapat mengurangi untung yang diperoleh dan menjadi beban tersendiri. Namun, dengan perencanaan dan strategi perpajakan yang baik, ancaman itu mampu dinihilkan. Di dalam buku ini dikupas hulu sampai hilir sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia. Selain itu disampaikan juga beberapa langkah taktis yang bisa digunakan untuk mengantisipasi adanya masalah perpajakan tanpa harus melanggar peraturan perpajakan yang berlaku.

Penerbit 

Penerbit Deepublish

Competition and Cooperation in Economics and Business

Penulis

Dodik Siswantoro;

Haula Rosdiana;

Heri Fathurahman

Abstrak

The objective of paper is to create an Islamic accountability index of cash waqf institution in Indonesia. Cash waqf is a new phenomenon in Indonesia since the Act was just issued in 2004. Some new cash waqf institutions were established but unfortunately without tight monitoring from the government. An accountability index can show the reported activity of cash waqf institution. This may help society to see the accountability condition of the institution. Research method conducted is based on qualitative method with literature review. In-depth interview is added to confirm and to enrich the index analysis. The index is tested to cash waqf institution based on web basis. The result may show that accountability index may describe some activities and financial report of cash waqf institutions. Most cash waqf institutions have not high index for the accountability. This may be caused by limited support of the cash waqf institutions to show their accountability. Cash waqf institutions should prepare the supported information system to show the accountability especially in the online system.

Artikel ilmiah

PDF

Sitasi :

Rosdiana, H. (2018). Pengantar Ilmu Pajak : Kebijakan Dan Implementasi Di Indonesia. (Patent No. EC00201822239).