Jakarta, 12 Agustus 2024– International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini mengeluarkan laporan yang menyoroti perlunya pembaruan Medium Term Revenue Strategy (MTRS) 2017 di Indonesia. Namun, seorang pakar ekonomi memperingatkan bahwa implementasi saran-saran tersebut memerlukan pertimbangan yang cermat.
Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menganalisis beberapa saran kunci IMF dalam sebuah wawancara eksklusif. “Setiap opsi yang muncul dalam proses formulasi kebijakan pasti memunculkan ambivalensi. Dengan kata lain, ada sisi positif dan negatif sehingga ada pihak yang pro dan kontra terhadap usulan IMF tersebut,” ujarnya.
Salah satu saran IMF adalah menurunkan threshold pengusaha kena pajak. Menurut Budi, hal ini bisa meningkatkan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun juga berpotensi meningkatkan biaya administrasi bagi Direktorat Jenderal Pajak dan biaya kepatuhan bagi pengusaha kecil.
Terkait penambahan objek cukai, Budi menjelaskan bahwa meskipun hal ini dapat meningkatkan penerimaan negara, ada risiko pergeseran perilaku konsumsi masyarakat ke produk substitusi yang tidak terkena cukai atau terkena cukai dengan tarif lebih rendah.
Saran IMF untuk meninjau ulang kebijakan tax expenditure juga mendapat perhatian khusus. “Kebijakan belanja pajak seringkali muncul ketika krisis ekonomi terjadi atau terjadi perlambatan ekonomi,” kata Budi. Ia menambahkan bahwa meskipun ada argumen untuk mengalokasikan dana secara lebih produktif, kebijakan belanja pajak dapat membantu menjaga daya beli masyarakat di masa sulit.
Menanggapi pertanyaan tentang kemampuan Indonesia untuk menjalankan saran-saran IMF, Budi menegaskan bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk melakukannya. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai perspektif sebelum mengambil keputusan.
“Pada akhirnya, pemerintah harus mengambil keputusan, yaitu: menjalankan semua saran IMF tanpa modifikasi kebijakan, menjalankan saran IMF dengan modifikasi kebijakan, atau tidak menjalankan saran IMF tersebut,” jelas Budi.
Ia menambahkan bahwa dalam praktiknya, pilihan kebijakan seringkali tidak mencapai titik ideal. “Berdasarkan kompromi, Pemerintah akan menerapkan the second best policies,” tutupnya.
Sementara itu, beberapa saran IMF lainnya, seperti menurunkan threshold UMKM dan memulai cukai BBM, masih memerlukan kajian lebih lanjut. Bahkan, rencana cukai plastik yang pernah diusulkan IMF sebelumnya masih mengalami kemandegan dalam implementasinya.
Dengan berbagai pertimbangan yang kompleks ini, masyarakat dan pelaku ekonomi di Indonesia akan menanti dengan seksama langkah-langkah konkret yang akan diambil pemerintah dalam merespons rekomendasi IMF, sambil tetap menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat