Tag: apbn

“Pemerintah Alokasikan Rp445,5 Triliun untuk Belanja Perpajakan 2025: Strategi dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2023– Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana sebesar Rp445,5 triliun untuk belanja perpajakan. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 11,4% dibandingkan alokasi tahun sebelumnya. Fokus utama alokasi ini ditujukan pada sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), industri manufaktur, serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif memberikan pandangan mendalam mengenai strategi dan tantangan dari kebijakan ini.

Belanja Perpajakan sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal

Prianto menjelaskan bahwa belanja perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran di pos APBN. “Instrumen ini sering disebut sebagai indirect government spending policy,” ujarnya. Salah satu bentuk konkretnya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP).

“Dengan kebijakan DTP, pemerintah tetap mengenakan pajak atas suatu sektor tertentu. Namun, dana untuk membayar pajak tidak ditanggung oleh konsumen, melainkan oleh pemerintah,” Prianto menjelaskan. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mempertahankan daya beli mereka melalui “bantuan pemerintah” secara tidak langsung.

Strategi di Tengah Tantangan Ekonomi

Menanggapi kekhawatiran tentang penurunan jumlah kelas menengah dan pelemahan daya beli masyarakat, Prianto menegaskan bahwa rencana alokasi belanja perpajakan 2025 telah melalui proses pertimbangan yang matang.

“Setiap perencanaan anggaran pasti memiliki ketidakpastian di masa mendatang dan biasanya dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis,” jelasnya. “Secara umum, pilihan moderat seringkali menjadi opsi yang dipilih karena dianggap paling realistis.”

Fokus pada Sektor Manufaktur

Meskipun kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan tren penurunan, pemerintah tetap memilih untuk meningkatkan belanja perpajakan di sektor ini. Prianto menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut:

“Pemilihan sektor manufaktur didasarkan pada potensi multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian. Sektor ini dianggap memiliki dampak ganda karena sebagian besar industrinya padat karya dan padat modal,” tuturnya.

 

Implementasi dan Contoh Konkret

Prianto memberikan beberapa contoh implementasi belanja perpajakan:

  1. PPN DTP untuk percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
  2. PPN DTP di sektor perumahan.

“Melalui kebijakan ini, masyarakat yang terbantu dengan pajak DTP akan memiliki dana lebih untuk belanja barang dan jasa, sehingga diharapkan daya beli masyarakat akan terjaga,” Prianto menjelaskan.

Evaluasi dan Penyesuaian Kebijakan

Prianto menekankan bahwa efektivitas kebijakan ini baru dapat dinilai setelah diimplementasikan. “Suatu perencanaan apapun tidak akan pernah salah atau benar karena belum diimplementasikan,” ujarnya. “Yang penting adalah terus melakukan evaluasi dan penyesuaian kebijakan berdasarkan perkembangan ekonomi yang terjadi.”

Ia juga menambahkan bahwa dalam kebijakan fiskal, seringkali tidak ada posisi ideal (optimum) karena selalu ada pihak yang pro dan kontra ketika proses tersebut berada di posisi perumusan kebijakan fiskal dari sisi anggaran tax expenditure.

Kesimpulan

Dengan strategi belanja perpajakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis, dan mempertahankan daya beli masyarakat di tengah tantangan ekonomi global yang dinamis. Namun, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada implementasi yang tepat dan kemampuan pemerintah untuk melakukan penyesuaian berdasarkan kondisi ekonomi yang berkembang.

“Pemerintah Targetkan Penerimaan Pajak 2025 Rp2.183,9 Trilitun: Antara Optimisme dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2024- Pemerintah Indonesia telah menetapkan target penerimaan pajak yang ambisius untuk tahun anggaran 2025, yaitu sebesar Rp2.183,9 triliun. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya yang belum menembus angka Rp2.000 triliun.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangannya mengenai target tersebut. “Setiap perencanaan anggaran yang memiliki ketidakpastian di masa mendatang dapat dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis. Secara umum, pilihan moderat atau konservatif menjadi opsi yang paling rasional,” jelasnya.

Prianto menilai bahwa target penerimaan pajak sebesar Rp2.183,9 triliun dapat dianggap sebagai pilihan yang moderat dan realistis. Namun, untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu menerapkan strategi yang tepat.

Strategi Pencapaian Target

Kementerian Keuangan, melalui dua instansi vertikalnya yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), akan mengelola penerimaan pajak. DJP bertanggung jawab atas penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan, serta Bea Meterai. Sementara itu, DJBC akan mengelola Bea Masuk, Bea Keluar, dan Cukai.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menerapkan dua strategi utama:

  1. Intensifikasi: Fokus pada pengawasan kepatuhan dengan pendekatan data matching. Data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak akan ditandingkan dengan data dari berbagai sumber yang memasok informasi ke DJP. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi pajak melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).
  2. Ekstensifikasi: Difokuskan pada penambahan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) baru. Strategi ini diimplementasikan melalui pemadanan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Langkah ini akan memudahkan DJP dalam melakukan pengawasan terhadap WPOP baru.

Tantangan dan Pertimbangan

Meskipun target tersebut dianggap moderat, beberapa tantangan tetap perlu diperhatikan. Salah satunya adalah proyeksi lifting migas yang tidak sebagus yang diharapkan, mengingat pajak dari sektor migas dan non-migas merupakan kontributor terbesar dalam penerimaan pajak.

Selain itu, rencana kenaikan PPN menjadi 12% yang masih belum pasti juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan. Menanggapi hal ini, Prianto menegaskan bahwa penyusunan APBN, termasuk penetapan target penerimaan pajak, telah melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pihak terkait.

“Penyusunan APBN melalui proses konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk kementerian, lembaga pemerintah, BUMN, dan kelompok masyarakat terkait. Tujuannya adalah agar Kementerian Keuangan dapat memahami kebutuhan sektor-sektor tertentu dan mendapatkan masukan,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kementerian Keuangan selalu melakukan evaluasi dan membuat pertimbangan di setiap rancangan anggaran, baik di sisi penerimaan maupun di sisi belanja. Proses ini menjadi bagian dari formulasi kebijakan yang bermuara pada RAPBN untuk tahun berikutnya.”

Dengan penetapan target yang ambisius ini, pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, keberhasilan pencapaian target ini juga bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan pelaku usaha dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak.