Jakarta — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menurunkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) melalui kebijakan fiskal yang diumumkan oleh Gubernur Pramono Anung. Kebijakan ini menurunkan tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi menjadi 5 persen dan kendaraan umum sebesar 2 persen.
Menurut Ketua IFTAA, Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., MBA, kebijakan tersebut diambil sebagai respons atas meningkatnya beban ekonomi masyarakat pasca fluktuasi harga bahan bakar, sekaligus upaya mendorong daya beli dan konsumsi rumah tangga di Ibu Kota. “Pengurangan tarif PBBKB melalui insentif fiskal oleh Gubernur Jakarta diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Dengan demikian, dana yang tidak digunakan untuk membayar PBBKB bisa dialokasikan ke konsumsi lainnya,” ujarnya.
Aturan tersebut merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 24, tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi ditetapkan sebesar 10 persen, sementara kendaraan umum sebesar 5 persen. Namun, Gubernur diberikan kewenangan memberikan insentif fiskal berdasarkan Pasal 96 dalam bentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah, termasuk PBBKB.
Dasar pemberian insentif ini mempertimbangkan tiga hal utama, yaitu kemampuan membayar wajib pajak, dukungan terhadap program pemerintah provinsi, serta dukungan terhadap program prioritas nasional pemerintah pusat. “Kondisi di atas diharapkan dapat menggerakkan roda ekonomi di Jakarta. Pada gilirannya, perekonomian di Jakarta dapat tetap terjaga dan terhindar dari keterpurukan yang lebih parah,” ungkap Prianto yang merupakan dosen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia.
Meski demikian, sejumlah pihak menyoroti potensi risiko fiskal jangka panjang akibat penurunan pendapatan daerah dari sektor PBBKB. Namun demikian, pihak Pemprov Jakarta memastikan kebijakan ini telah melalui kajian matang. “Sesuai dengan Pasal 96 Perda 1/2024, Gubernur harus mempertimbangkan faktor-faktor yang terdampak. Karena itu, Gubernur Jakarta pasti sudah mempertimbangkan risiko fiskal jangka panjang agar pendapatan daerah tidak turun” jelas Prianto yang merupakan pakar perpajakan lebih dari 20 tahun.
Dalam konteks ini, disebutkan bahwa terdapat tradeoff dalam kebijakan fiskal tersebut. Penurunan penerimaan dari PBBKB diharapkan dapat dikompensasi dengan meningkatnya penerimaan pajak dari sektor lain. “Dengan demikian, secara agregat, tetap ada peningkatan penerimaan pajak daerah di Jakarta,” pungkasnya.
Kebijakan penurunan tarif PBBKB yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencerminkan komitmen untuk meringankan beban masyarakat sekaligus menjaga ketahanan ekonomi daerah. Dengan landasan hukum yang jelas dan pertimbangan yang menyeluruh, insentif fiskal ini diharapkan mampu mendorong konsumsi masyarakat tanpa mengorbankan keberlanjutan pendapatan daerah. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah responsif terhadap kondisi ekonomi warga, sembari tetap menjaga keseimbangan fiskal Jakarta secara menyeluruh.