Day: October 24, 2024

Wacana Pembentukan BPN: Seberapa Mendesak?

Jakarta, 22 Oktober 2024 – Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang sempat mencuat pada era kepemimpinan Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan kembali menjadi sorotan. Namun, prospek implementasinya kembali dipertanyakan seiring dengan berlanjutnya kepemimpinan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan.

Status Terkini

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa wacana pembentukan BPN kemungkinan besar akan tetap menjadi wacana. “Berdasarkan pernyataan terbaru Menteri Keuangan Sri Mulyani setelah pertemuannya dengan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kemenkeu masih akan tetap satu kesatuan,” ujarnya.

Prianto menjelaskan bahwa keputusan ini didasari pertimbangan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal, khususnya dari sisi penerimaan APBN.

Landasan Hukum

“Secara regulasi, otoritas kebijakan fiskal berada di tangan Menteri Keuangan yang mendapat kuasa dari presiden sesuai Pasal 6 UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,” jelasnya. Ditambah lagi, organisasi Kemenkeu saat ini mengacu pada Perpres No. 57/2020 tentang Kementerian Keuangan.

“Selama dua aturan ini tidak diubah oleh pemerintahan baru, DJP dan DJBC akan tetap berada di bawah Kemenkeu,” tambahnya.

Urgensi Pembentukan BPN

Meski demikian, Prianto menekankan bahwa konsep BPN yang mengacu pada Semi-Autonomous Revenue Agency (SARA) memiliki beberapa urgensi mendasar:

1. Peningkatan Rasio Pajak

“Urgensi paling mendasar adalah peningkatan tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB. Rasio ini menggambarkan kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

2. Fleksibilitas Anggaran

Peningkatan rasio pajak akan memberikan pemerintah keleluasaan lebih besar dalam mengalokasikan belanja negara dan transfer ke daerah, mengurangi ketergantungan pada pinjaman untuk menutup defisit anggaran.

3. Otonomi Kelembagaan

BPN berpotensi memberikan otonomi lebih besar dalam:

• Pengelolaan sumber daya manusia

• Perumusan kebijakan penerimaan

• Koordinasi lintas kementerian dan lembaga

Praktik Global

Prianto mencontohkan beberapa negara yang telah menerapkan konsep serupa:

• Singapura dengan IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore)

• Amerika Serikat dengan IRS (Internal Revenue Service)

• Australia dengan ATO (Australian Tax Office)

• Malaysia dengan LHDN (Lembaga Hasil Dalam Negeri)

“Model-model ini menunjukkan bahwa konsep SARA telah terbukti dapat diimplementasikan dengan berbagai tingkat otonomi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara,” tutupnya.

Analisis Kompleksitas Pajak dan Penghindaran Pajak oleh Perusahaan

Artikel ini menganalisis dan meninjau penelitian yang berjudul Tax Complexity and Firm Tax Evasion: A Cross-Country Investigation oleh Prianto Budi Saptono et al (2024). Studi tersebut mengeksplorasi dampak kompleksitas sistem perpajakan terhadap kecenderungan perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak di berbagai negara, dengan memanfaatkan data dari lebih dari 46.000 perusahaan yang tersebar di 83 negara, melalui sumber survei World Bank Enterprise Survey (WBES) dan World Bank’s Doing Business (WBDB).

Penghindaran Pajak

Fenomena penghindaran pajak telah menjadi isu yang bersifat global, yang secara signifikan menurunkan kapasitas pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara dan mengalokasikan sumber daya secara efisien. Semakin kompleks sistem perpajakan, semakin besar pula peluang bagi perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah regulasi guna mengurangi beban pajak yang harus ditanggung. Studi ini secara empiris menyoroti hubungan antara tingkat kerumitan sistem pajak dengan intensitas dan insiden penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan.

Kompleksitas Pajak dan Kaitannya dengan Tax Compliance

Kompleksitas pajak (tax complexity) didefinisikan dalam penelitian ini melalui dua indikator utama, yaitu jumlah waktu yang diperlukan untuk mematuhi kewajiban perpajakan (tax time) dan frekuensi pembayaran pajak (tax payment). Temuan penelitian mengindikasikan bahwa peningkatan waktu yang diperlukan serta banyaknya frekuensi pembayaran berkorelasi positif dengan tingginya tingkat penghindaran pajak oleh perusahaan.

Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan cenderung untuk menghindari kewajiban pajak ketika biaya kepatuhan meningkat, terutama di negara-negara dengan sistem perpajakan yang sangat rumit. Selain itu, hasil heterogenitas dari analisis menunjukkan bahwa pengaruh kompleksitas pajak terhadap penghindaran pajak lebih dominan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, serta pada sektor industri primer.

Implikasi Temuan terhadap Kebijakan Perpajakan

Temuan pada penelitian ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pembuat kebijakan, terutama di negara-negara berkembang. Studi ini menyarankan bahwa penyederhanaan sistem perpajakan dapat menjadi langkah strategis yang efektif untuk mengurangi insentif bagi perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak. Selain itu, penyeragaman dan penyelarasan sistem perpajakan di tingkat regional atau internasional juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi disparitas regulasi yang sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka.

Penelitian ini juga menekankan pentingnya adopsi teknologi digital dalam proses administrasi perpajakan sebagai upaya untuk menyederhanakan prosedur dan meningkatkan transparansi, sehingga mampu menurunkan tingkat penghindaran pajak melalui pengurangan biaya kepatuhan.

Tax Complexity dan Penghindaran Pajak

Kompleksitas sistem perpajakan terbukti memiliki dampak signifikan terhadap kecenderungan penghindaran pajak oleh perusahaan. Reformasi kebijakan yang mengarah pada penyederhanaan dan harmonisasi peraturan perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan fiskal dan mengurangi kesenjangan yang terjadi akibat praktik penghindaran pajak. Oleh karena itu, studi ini memberikan landasan empiris bagi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan reformasi struktural dalam sistem perpajakan guna menciptakan ekosistem bisnis yang lebih transparan dan berkeadilan.

Artikel ini dirangkum dari hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Economies (2024) oleh Saptono et al., yang dapat diakses melalui: https://doi.org/10.3390/economies12050097