Tag: insentif pajak

PMK Nomor 59/2024: Pembebasan Pajak untuk Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional, Apa Saja yang Baru?

Jakarta, 6 September 2024 – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 59/2024, yang memberikan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk perwakilan negara asing, badan internasional, dan para pejabatnya. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum serta meningkatkan efisiensi dalam tata kelola administrasi dan pelayanan kepada pihak-pihak terkait.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, seorang pakar perpajakan sekaligus ketua Umum IFTAA, menjelaskan beberapa poin penting terkait peraturan ini dan bagaimana peran PMK 59/2024 dalam menyempurnakan kebijakan pajak sebelumnya.

PMK 59/2024: Mengikuti Arahan PP 47/2020

Prianto menegaskan bahwa PMK 59/2024 merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2020. Aturan ini mengatur tata cara pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM yang diberikan kepada:

  1. Perwakilan negara asing,
  2. Badan internasional, dan
  3. Pejabat dari kedua pihak tersebut.

“Peraturan ini fokus pada pengaturan teknis dan administratif untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam proses pembebasan pajak bagi pihak-pihak yang berhak,” jelas Prianto.

Menurutnya, PMK 59/2024 memberikan dua mekanisme utama dalam proses pembebasan pajak:

  1. Tata cara pembebasan pajak dengan SKB (Surat Keterangan Bebas), dan
  2. Tata cara pembebasan pajak dengan mekanisme pengembalian pajak.

Prianto juga menambahkan bahwa PMK ini tidak boleh bertentangan dengan PP 47/2020, melainkan bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan pelayanan bagi perwakilan negara asing dan badan internasional.

Penyempurnaan Aturan Sebelumnya

Salah satu poin penting dari PMK 59/2024 adalah penyempurnaannya terhadap aturan-aturan sebelumnya. Prianto menjelaskan bahwa PMK ini menggabungkan dua aturan terdahulu yang diatur dalam PMK 161/2014 dan PMK 162/2014.

  • PMK 161/2014 mengatur tata cara pengembalian PPN dan PPnBM bagi perwakilan negara asing, badan internasional, serta pejabatnya.
  • PMK 162/2014 mengatur tata cara penerbitan SKB PPN dan PPnBM untuk pihak-pihak yang sama.

“Dengan diterbitkannya PMK 59/2024, kedua PMK tersebut digabungkan dan disempurnakan untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian hukum bagi para pihak yang berhak,” jelas Prianto lebih lanjut.

Efek Positif untuk Pihak Internasional

Kehadiran PMK 59/2024 membawa harapan baru bagi perwakilan negara asing dan badan internasional di Indonesia. Aturan ini diyakini akan memberikan kepastian hukum dan mengurangi kompleksitas administrasi dalam proses pengajuan pembebasan pajak, sehingga dapat memperkuat hubungan diplomatik dan operasional internasional di dalam negeri.

Melalui PMK 59/2024, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus menyempurnakan aturan perpajakan, khususnya bagi pihak asing dan internasional. Selain memberikan kemudahan administrasi, peraturan ini juga memastikan bahwa semua proses perpajakan berjalan transparan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Bagi perwakilan negara asing dan badan internasional, PMK ini menjadi angin segar dalam meningkatkan efisiensi operasional mereka di Indonesia.

PMK 59/2024 diharapkan akan menjadi langkah penting dalam memperkuat kerja sama internasional dan diplomasi Indonesia di kancah global.

Peningkatan Pengeluaran Pajak Kelas Menengah: Penyebab dan Tantangan ke Depan

Jakarta, 6 September 2024 – Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan adanya peningkatan pengeluaran pajak di kalangan masyarakat kelas menengah. Pada tahun 2019, indeks pengeluaran untuk membayar pajak tercatat sebesar 3,48, namun pada tahun 2024, indeks ini melonjak drastis. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai penyebab dan dampak dari peningkatan pengeluaran pajak tersebut terhadap kelas menengah yang dianggap rentan jatuh ke garis kemiskinan.

Menanggapi hal ini, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangan yang mendalam. Dalam wawancaranya, ia menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran masyarakat untuk membayar pajak. Salah satu faktor utamanya adalah perubahan dalam kebijakan perpajakan pemerintah.

Pergeseran Kebijakan Pajak: Dari Pendapatan ke Konsumsi

Prianto menyoroti bahwa pemerintah telah mulai menggeser basis pemajakan dari pajak berbasis penghasilan (PPh) ke arah pajak berbasis konsumsi (PPN). “Pengeluaran masyarakat menjadi salah satu basis pemajakan yang dikenal dengan istilah expenditure-based taxation atau consumption-based taxation,” jelasnya. Pajak berbasis konsumsi ini mencakup tiga jenis pajak utama: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, dan Pajak Daerah (PBJT).

  • PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri.
  • Cukai berlaku untuk hasil tembakau, seperti rokok.
  • Pajak Daerah (PBJT) meliputi pajak atas transaksi barang dan jasa tertentu, termasuk di restoran dan hotel.

“Peningkatan konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa di ketiga objek pajak tersebut secara otomatis meningkatkan penerimaan pajak,” tambahnya.

Hal ini sejalan dengan kebijakan yang tertuang dalam UU APBN 2024, di mana pemerintah mengarahkan basis pemajakan lebih ke konsumsi. Dengan adanya pergeseran ini, konsumsi masyarakat kelas menengah berpengaruh langsung terhadap peningkatan beban pajak mereka.

Tantangan bagi Kelas Menengah: Perlu Insentif Pajak?

Selain membahas penyebab peningkatan pajak, Prianto juga menyentuh isu penting terkait dampak kebijakan pajak terhadap kelas menengah yang rentan. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan insentif pajak untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah, terutama di sektor-sektor yang memiliki efek pengganda besar terhadap perekonomian.

“Saat ini, pemerintah masih memberikan insentif pajak melalui kebijakan Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) secara selektif, terutama di sektor properti,” ungkapnya. Insentif ini bertujuan untuk menjaga ketahanan ekonomi masyarakat dan biasanya akan dicabut kembali setelah ekonomi mulai pulih.

Namun, Prianto menekankan bahwa pemberian insentif harus dilakukan secara hati-hati dan selektif, mengingat tantangan keuangan negara. Pemerintah perlu terus mengevaluasi kebijakan pajak untuk memastikan bahwa kelas menengah tidak semakin terbebani oleh pengeluaran pajak yang meningkat, yang dapat memperparah kerentanan mereka terhadap kemiskinan.

Peningkatan pengeluaran pajak kelas menengah mencerminkan adanya pergeseran kebijakan pajak yang berfokus pada konsumsi, sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Akan tetapi, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah dapat menyeimbangkan antara meningkatkan penerimaan pajak dan menjaga stabilitas ekonomi masyarakat kelas menengah, agar mereka tetap dapat bertahan di tengah ancaman kemiskinan.

Indonesia Terapkan Rekomendasi IMF dan Bank Dunia untuk Tingkatkan Penerimaan Negara

Jakarta, 5 Agustus 2024 – Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan penerimaan negara dengan mengadopsi berbagai rekomendasi dari lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan bahwa Indonesia telah dan sedang dalam proses menerapkan enam rekomendasi utama untuk memperkuat basis pendapatan negara.

“Saat ini, semua rekomendasi tersebut sudah dan/atau akan dijalankan oleh pemerintah Indonesia,” ujar Prianto Budi dalam sebuah wawancara eksklusif.

Salah satu rekomendasi yang telah diterapkan adalah peningkatan efektivitas insentif pajak. Pemerintah telah memilih sektor-sektor industri strategis yang dapat menggairahkan ekonomi karena memiliki efek domino di masyarakat. Contohnya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor properti dan kendaraan listrik.

Dalam upaya memperluas basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang merevisi UU PPN. “Ada perluasan objek PPN, meski sebagiannya mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan sesuai PP 49/2022,” jelas Prianto.

Terkait perluasan cakupan Pajak Penghasilan (PPh), pemerintah telah menambahkan objek PPh 21 berupa imbalan natura/kenikmatan melalui UU HPP. Sebagai turunannya, telah terbit PP 55/2022 dan PMK 66/2023.

Langkah ekstensifikasi cukai juga sedang dianalisis dengan rencana memperluas objek cukai. Beberapa rencana yang sedang dikaji mencakup pengenaan cukai pada rumah, tiket konser, makanan cepat saji, deterjen, plastik, dan minuman berpemanis dalam kemasan.

Untuk pengembangan sistem pajak properti yang efektif, Indonesia telah lama menerapkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibagi menjadi dua pemungut pajak: pemerintah pusat untuk PBB-P3 (perhutanan, perkebunan, dan pertambangan) dan pemerintah daerah untuk PBB-P2 (perkotaan, pedesaan).

Terakhir, kebijakan khusus untuk sektor-sektor tertentu telah diterapkan melalui fasilitas PPh berupa tax holiday atau tax allowance. “Contohnya adalah proyek-proyek yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Fasilitas pajak untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) juga menjadi bagian dari kebijakan ini,” tambah Prianto.

Dengan penerapan rekomendasi-rekomendasi ini, pemerintah Indonesia berharap dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Namun, efektivitas kebijakan-kebijakan ini masih perlu dipantau dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan dampak positifnya terhadap perekonomian nasional.