Jakarta, 10 Oktober 2024 – Kebijakan perpajakan Indonesia sedang menghadapi transformasi fundamental, terutama terkait fasilitas tax holiday dan rencana implementasi Global Minimum Tax (GMT). Dalam wawancara eksklusif dengan Bisnis Indonesia, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan analisis komprehensif tentang perubahan signifikan dalam landasan hukum kebijakan perpajakan nasional.
Evolusi Landasan Hukum Tax Holiday
Perubahan Kerangka Hukum
Prianto menjelaskan evolusi kerangka hukum tax holiday di Indonesia:
• UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) yang menjadi landasan awal pemberian tax holiday
• PP 94/2010 yang kemudian diubah dengan PP 45/2019 sebagai aturan pelaksana
• PMK No. 130/PMK.010/2020 yang mengatur teknis pemberian fasilitas tax holiday
• UU No. 6/2023 (UU Cipta Kerja 2023) yang mengubah UU PM sebelumnya
Perubahan Fundamental dalam UU PM
“Perubahan signifikan terjadi ketika Pasal 18 ayat (5) UU PM yang menjadi dasar pemberian tax holiday dicabut melalui UU Cipta Kerja 2023,” ungkap Prianto. Pasal tersebut sebelumnya mengatur pemberian pembebasan atau pengurangan PPh badan untuk industri pionir.
Pengalihan ke UU PPh
Sekarang, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU PM yang baru, fasilitas perpajakan harus mengacu pada UU PPh. Prianto merinci empat fasilitas yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU PPh:
• Pengurangan penghasilan neto hingga 30% dari nilai investasi
• Penyusutan dan amortisasi dipercepat
• Kompensasi kerugian hingga 10 tahun
• PPh atas dividen 10% untuk investor asing
Global Minimum Tax: Era Baru Perpajakan
Sementara itu, Indonesia juga bersiap mengimplementasikan Global Minimum Tax sebagai bagian dari kesepakatan internasional. “GMT merupakan bagian dari consensus-based tax policies di Pilar Dua dan Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules,” jelas Prianto.
Implementasi GMT di Indonesia telah memiliki landasan hukum melalui Pasal 32A UU PPh dan PP 55/2022, meskipun PMK teknisnya belum terbit. Ketentuan GMT akan berlaku untuk grup usaha dengan pendapatan konsolidasi minimal €750 juta (sekitar Rp12,75 triliun).
Mencari Keseimbangan Optimal
Dalam menghadapi situasi ini, Prianto menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana Indonesia dapat mengoptimalkan kedua instrumen kebijakan:
1. Tax Holiday untuk Investasi Menengah: “Tax holiday masih dapat diberikan untuk investasi dengan dua syarat,” ujar Prianto. Syarat tersebut meliputi pembenahan regulasi untuk kepastian hukum dan pembatasan pada perusahaan dengan pendapatan gabungan di bawah €750 juta.
2. GMT untuk Perusahaan Besar: Untuk perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta, GMT menjadi instrumen yang lebih relevan.
Dampak terhadap Penerimaan Negara
Dari sisi penerimaan negara, Prianto menegaskan bahwa kedua instrumen memiliki tujuan berbeda:
1. GMT berpotensi memberikan tambahan penerimaan pajak melalui top-up tax
2. Tax holiday lebih fokus pada penarikan investasi asing (FDI) daripada penerimaan pajak
Langkah ke Depan
Menghadapi situasi ini, beberapa langkah krusial perlu diambil:
1. Memberikan kepastian hukum untuk tax holiday yang sudah diberikan
2. Menghentikan pemberian tax holiday baru karena tidak ada dasar hukumnya
3. Menggantinya dengan fasilitas investment allowance sesuai Pasal 31A UU PPh
4. Menerbitkan PMK tentang implementasi GMT
Kesimpulan
Indonesia berada di persimpangan penting dalam kebijakan perpajakan. Keputusan yang diambil dalam mengatur tax holiday dan implementasi GMT akan mempengaruhi daya saing investasi dan penerimaan negara. Diperlukan kebijakan yang cermat untuk memastikan Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari kedua instrumen ini sambil tetap menjaga daya tarik investasi dan kepatuhan terhadap standar perpajakan global.