Category: Siaran Pers

Memahami Underground Economy dan Dampaknya: Dari Judi Online Hingga Pedagang Kaki Lima

Jakarta, 18 November 2024 – Kompleksitas underground economy (UGE) di Indonesia semakin menjadi perhatian serius pemerintah, terutama setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti aktivitas ini sebagai bentuk penghindaran pajak. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa fenomena UGE memerlukan pemahaman komprehensif, mulai dari definisi hingga penanganannya.

“Untuk membahas underground economy, kita perlu menyepakati terlebih dahulu cakupan dan pengertiannya. Para ahli mendefinisikannya secara beragam, namun pada intinya underground economy adalah kegiatan ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam perhitungan Produk Domestik Bruto atau PDB,” jelas Prianto.

Memahami Komponen PDB dan Underground Economy

Prianto menjelaskan bahwa untuk memahami UGE, perlu terlebih dahulu mengerti komponen PDB. “PDB memiliki komponen yang meliputi konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Ini dapat dirumuskan dalam persamaan: Y = C + I + G + X – M,” paparnya.

Mengambil contoh ekspor, Prianto mengilustrasikan: “Dalam kegiatan ekspor, kita bisa melihat dua jenis: ekspor legal yang meningkatkan PDB, dan ekspor ilegal yang tidak menambah PDB. Ini salah satu contoh sederhana membedakan aktivitas resmi dan underground economy.”

Empat Kategori Underground Economy

Berdasarkan kajian para ahli, underground economy dapat dibagi menjadi empat kategori utama:

1. Illegal Economy

  • Perdagangan narkoba
  • Aktivitas prostitusi
  • Perjudian online
  • Penyelundupan barang
  • Berbagai bentuk penipuan

2. Unreported Economy

  • Transaksi ekonomi yang sengaja tidak dilaporkan
  • Bertujuan menghindari kewajiban perpajakan
  • Melanggar aturan pelaporan pajak

3. Unrecorded Economy

  • Aktivitas ekonomi yang tidak tercatat
  • Menghindari persyaratan pelaporan statistik pemerintah
  • Tidak masuk dalam data resmi

4. Informal Economy

  • Pedagang asongan dan kaki lima
  • Warung dan toko kelontong
  • Pekerja rumah tangga
  • Tukang ojek dan penarik becak
  • Pengemudi bajaj
  • Pemulung

Tantangan Penghitungan Potensi Pajak

Dalam hal potensi penerimaan pajak dari UGE, Prianto menegaskan bahwa penghitungannya sangat kompleks. “Untuk illegal economy, otoritas pajak biasanya tidak sampai mengenakan pajak karena sudah ditangani aparat penegak hukum yang akan menyita barang bukti termasuk hasil transaksinya,” jelasnya.

Untuk kategori UGE lainnya, penghitungan potensi pajak menggunakan pendekatan moneter. “Logika dasarnya adalah pelaku UGE umumnya menggunakan transaksi tunai. Kita perlu mengestimasi jumlah uang kartal di masyarakat dan menganalisis berapa bagian yang digunakan dalam official economy,” tambahnya.

Solusi Teknologi dan Kebijakan

Pemerintah telah mengambil langkah strategis dengan menerapkan Core Tax Administration System (CTAS). “CTAS merupakan terobosan yang tepat karena menggunakan enam jenis Artificial Intelligence berbeda untuk mendeteksi transaksi. Sistem ini sangat powerful untuk mengidentifikasi transaksi UGE, kecuali illegal economy,” ungkap Prianto.

Bank Indonesia juga berperan aktif dengan mendorong gerakan transaksi nontunai, terutama di sektor informal. Prianto menambahkan, “Kombinasi CTAS dan dorongan transaksi nontunai akan sangat efektif dalam mengawasi dan mengelola aktivitas ekonomi informal.”

Pembagian Wewenang Penanganan

Dalam penanganan UGE, terdapat pembagian wewenang yang jelas:

• Illegal economy ditangani oleh aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, dan KPK)

• Transaksi ekonomi lainnya menjadi domain otoritas pajak

• Pelaku UGE memiliki hak untuk upaya hukum hingga Mahkamah Agung

• Bank Indonesia fokus pada kebijakan transaksi nontunai

“Yang perlu digarisbawahi, penanganan illegal economy mengutamakan hukum pidana dibanding hukum administrasi pajak sesuai asas premium remedium. Sementara untuk jenis UGE lainnya, pemerintah terus melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak,” tutup Prianto.

Fenomena underground economy terus menjadi perhatian serius pemerintah mengingat potensi kerugian negara yang signifikan. Kombinasi pendekatan teknologi, regulasi, dan penegakan hukum diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang selama ini berada di bawah radar.

Kenaikan PPN 2025 Sudah Sesuai Regulasi, Pemerintah Perlu Siapkan Insentif

Jakarta, 18 November 2024 – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menuai berbagai tanggapan. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai kebijakan kenaikan tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang ada dan memiliki tujuan strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional.

“Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sudah sesuai regulasi yaitu diatur dalam Pasal 7 UU PPN hasil revisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ini artinya sudah ada kesepakatan antara rakyat, melalui wakilnya di DPR, dengan pemerintah,” jelas Prianto.

Menurut Prianto, kebijakan ini memiliki tujuan utama untuk meningkatkan rasio pajak. “Jika rasio pajak bisa mencapai 15%, akan ada keleluasaan bagi pemerintah untuk mendistribusikan pajak tersebut kembali ke masyarakat,” ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran terkait dampak kenaikan PPN di tengah kondisi ekonomi yang menantang, Prianto menyarankan pemerintah untuk tetap menjalankan amanat UU PPN tersebut sambil menyiapkan berbagai program insentif untuk masyarakat.

“Pemerintah dapat mengambil dua pendekatan kebijakan belanja. Pertama, kebijakan langsung seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat terdampak. Kedua, kebijakan tidak langsung melalui program Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor industri tertentu seperti properti atau tekstil,” jelasnya.

Terkait prospek ekonomi tahun 2025, Prianto tetap optimis namun realistis. “Kondisi warga Indonesia di 2025 akan lebih baik dari sekarang. Namun, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat, khususnya yang terdampak kondisi perekonomian, juga harus proaktif untuk keluar dari kondisi sulit,” tegasnya.

Sekilas Tentang Kenaikan PPN

• Kenaikan PPN dari 11% ke 12% akan berlaku mulai tahun 2025

• Kebijakan ini merupakan bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

• Target rasio pajak nasional adalah 15%

• Pemerintah berencana menyiapkan program kompensasi untuk masyarakat terdampak

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan rencana kenaikan PPN ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat basis perpajakan nasional sekaligus memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Wacana Pembentukan BPN: Seberapa Mendesak?

Jakarta, 22 Oktober 2024 – Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang sempat mencuat pada era kepemimpinan Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan kembali menjadi sorotan. Namun, prospek implementasinya kembali dipertanyakan seiring dengan berlanjutnya kepemimpinan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan.

Status Terkini

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa wacana pembentukan BPN kemungkinan besar akan tetap menjadi wacana. “Berdasarkan pernyataan terbaru Menteri Keuangan Sri Mulyani setelah pertemuannya dengan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kemenkeu masih akan tetap satu kesatuan,” ujarnya.

Prianto menjelaskan bahwa keputusan ini didasari pertimbangan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal, khususnya dari sisi penerimaan APBN.

Landasan Hukum

“Secara regulasi, otoritas kebijakan fiskal berada di tangan Menteri Keuangan yang mendapat kuasa dari presiden sesuai Pasal 6 UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,” jelasnya. Ditambah lagi, organisasi Kemenkeu saat ini mengacu pada Perpres No. 57/2020 tentang Kementerian Keuangan.

“Selama dua aturan ini tidak diubah oleh pemerintahan baru, DJP dan DJBC akan tetap berada di bawah Kemenkeu,” tambahnya.

Urgensi Pembentukan BPN

Meski demikian, Prianto menekankan bahwa konsep BPN yang mengacu pada Semi-Autonomous Revenue Agency (SARA) memiliki beberapa urgensi mendasar:

1. Peningkatan Rasio Pajak

“Urgensi paling mendasar adalah peningkatan tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB. Rasio ini menggambarkan kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

2. Fleksibilitas Anggaran

Peningkatan rasio pajak akan memberikan pemerintah keleluasaan lebih besar dalam mengalokasikan belanja negara dan transfer ke daerah, mengurangi ketergantungan pada pinjaman untuk menutup defisit anggaran.

3. Otonomi Kelembagaan

BPN berpotensi memberikan otonomi lebih besar dalam:

• Pengelolaan sumber daya manusia

• Perumusan kebijakan penerimaan

• Koordinasi lintas kementerian dan lembaga

Praktik Global

Prianto mencontohkan beberapa negara yang telah menerapkan konsep serupa:

• Singapura dengan IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore)

• Amerika Serikat dengan IRS (Internal Revenue Service)

• Australia dengan ATO (Australian Tax Office)

• Malaysia dengan LHDN (Lembaga Hasil Dalam Negeri)

“Model-model ini menunjukkan bahwa konsep SARA telah terbukti dapat diimplementasikan dengan berbagai tingkat otonomi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara,” tutupnya.

Analisis Kompleksitas Pajak dan Penghindaran Pajak oleh Perusahaan

Artikel ini menganalisis dan meninjau penelitian yang berjudul Tax Complexity and Firm Tax Evasion: A Cross-Country Investigation oleh Prianto Budi Saptono et al (2024). Studi tersebut mengeksplorasi dampak kompleksitas sistem perpajakan terhadap kecenderungan perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak di berbagai negara, dengan memanfaatkan data dari lebih dari 46.000 perusahaan yang tersebar di 83 negara, melalui sumber survei World Bank Enterprise Survey (WBES) dan World Bank’s Doing Business (WBDB).

Penghindaran Pajak

Fenomena penghindaran pajak telah menjadi isu yang bersifat global, yang secara signifikan menurunkan kapasitas pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara dan mengalokasikan sumber daya secara efisien. Semakin kompleks sistem perpajakan, semakin besar pula peluang bagi perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah regulasi guna mengurangi beban pajak yang harus ditanggung. Studi ini secara empiris menyoroti hubungan antara tingkat kerumitan sistem pajak dengan intensitas dan insiden penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan.

Kompleksitas Pajak dan Kaitannya dengan Tax Compliance

Kompleksitas pajak (tax complexity) didefinisikan dalam penelitian ini melalui dua indikator utama, yaitu jumlah waktu yang diperlukan untuk mematuhi kewajiban perpajakan (tax time) dan frekuensi pembayaran pajak (tax payment). Temuan penelitian mengindikasikan bahwa peningkatan waktu yang diperlukan serta banyaknya frekuensi pembayaran berkorelasi positif dengan tingginya tingkat penghindaran pajak oleh perusahaan.

Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan cenderung untuk menghindari kewajiban pajak ketika biaya kepatuhan meningkat, terutama di negara-negara dengan sistem perpajakan yang sangat rumit. Selain itu, hasil heterogenitas dari analisis menunjukkan bahwa pengaruh kompleksitas pajak terhadap penghindaran pajak lebih dominan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, serta pada sektor industri primer.

Implikasi Temuan terhadap Kebijakan Perpajakan

Temuan pada penelitian ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pembuat kebijakan, terutama di negara-negara berkembang. Studi ini menyarankan bahwa penyederhanaan sistem perpajakan dapat menjadi langkah strategis yang efektif untuk mengurangi insentif bagi perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak. Selain itu, penyeragaman dan penyelarasan sistem perpajakan di tingkat regional atau internasional juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi disparitas regulasi yang sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka.

Penelitian ini juga menekankan pentingnya adopsi teknologi digital dalam proses administrasi perpajakan sebagai upaya untuk menyederhanakan prosedur dan meningkatkan transparansi, sehingga mampu menurunkan tingkat penghindaran pajak melalui pengurangan biaya kepatuhan.

Tax Complexity dan Penghindaran Pajak

Kompleksitas sistem perpajakan terbukti memiliki dampak signifikan terhadap kecenderungan penghindaran pajak oleh perusahaan. Reformasi kebijakan yang mengarah pada penyederhanaan dan harmonisasi peraturan perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan fiskal dan mengurangi kesenjangan yang terjadi akibat praktik penghindaran pajak. Oleh karena itu, studi ini memberikan landasan empiris bagi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan reformasi struktural dalam sistem perpajakan guna menciptakan ekosistem bisnis yang lebih transparan dan berkeadilan.

Artikel ini dirangkum dari hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Economies (2024) oleh Saptono et al., yang dapat diakses melalui: https://doi.org/10.3390/economies12050097

Potensi Pajak Kripto Menanti Kejelasan Regulasi Pengawasan

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Optimalisasi penerimaan pajak dari perdagangan aset kripto masih menunggu kepastian pengalihan pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ditargetkan rampung pada awal 2025.

Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa potensi penerimaan pajak kripto akan sangat bergantung pada jenis dan tarif pajak yang akan ditetapkan setelah peralihan pengawasan tersebut.

“Saat peralihan pengawasan ke OJK terjadi, akan muncul persoalan legalitas dan hierarki hukum yang perlu diperhatikan. Pasalnya, berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pengenaan pajak di Indonesia harus didasarkan pada undang-undang,” jelasnya.

Skema Perpajakan Saat Ini

Saat ini, perpajakan aset kripto mengacu pada UU PPh dan UU PPN dengan peraturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 (PMK 68/2022). Regulasi ini mengatur pengenaan PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto sebagai berikut:

Pajak Pertambahan Nilai (PPN):

1. 1% dari nilai transaksi aset kripto yang diserahkan oleh penjual

2. 11% dari nilai jasa penyediaan sarana elektronik untuk transaksi perdagangan aset kripto

3. 1,1% atas nilai jasa verifikasi transaksi dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto

Pajak Penghasilan (PPh):

1. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari nilai transaksi penjualan aset kripto

2. Tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh untuk penghasilan dari penyediaan sarana elektronik

3. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari penghasilan penambangan aset kripto

Tantangan Regulasi

Prianto menekankan adanya potensi kendala regulasi dalam peralihan pengawasan ke OJK. “UU perpajakan yang berlaku saat ini memberikan amanat pengaturan teknisnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, bukan Peraturan OJK,” ujarnya.

Optimalisasi Penerimaan

Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor kripto, Prianto menyarankan agar otoritas yang nantinya berwenang dapat memastikan terciptanya ekosistem perdagangan aset kripto yang semarak, serupa dengan transaksi aset keuangan lainnya seperti saham atau surat utang.

Langkah ini menjadi krusial mengingat potensi pertumbuhan pasar aset kripto di Indonesia yang terus berkembang. Kejelasan regulasi dan pengawasan yang efektif diharapkan dapat mendorong peningkatan volume transaksi sekaligus optimalisasi penerimaan pajak dari sektor ini.

Menurunkan PPh Badan: Langkah Strategis Mendorong Investasi dan Kepatuhan Pajak

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Rencana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22% menjadi 20% yang dicanangkan oleh pemerintahan mendatang dinilai sebagai langkah strategis untuk meningkatkan investasi dan kepatuhan pajak. Kebijakan ini sejalan dengan tren global pengurangan tarif pajak korporasi dan tidak akan berbenturan dengan implementasi kebijakan pajak internasional.

Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono yang juga merupakan pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menjelaskan bahwa penurunan tarif PPh Badan ini sebenarnya telah direncanakan sejak Perppu 1/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 2/2020. “Rencana implementasi tarif 20% sempat akan diberlakukan pada tahun 2020, namun kemudian dibatalkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), sehingga tarif tetap bertahan di 22% hingga saat ini,” jelasnya.

Menurut Prianto, logika di balik penurunan tarif ini adalah untuk mengurangi beban pajak wajib pajak badan. “Dengan tarif yang lebih rendah, diharapkan akan semakin banyak wajib pajak badan yang membayar pajak dengan tarif 20%. Pada akhirnya, hal ini justru berpotensi meningkatkan penerimaan pajak secara agregat,” ujarnya.

Harmonisasi dengan Kebijakan Pajak Global

Terkait dengan implementasi kebijakan Two Pillar Solution yang diinisiasi oleh G20 dan OECD, Prianto menegaskan bahwa penurunan tarif PPh Badan tidak akan menimbulkan masalah. “Pilar 2 tentang Global Minimum Tax (GMT) menetapkan tarif minimum 15%. Dengan demikian, tarif 20% masih berada di atas batas minimum tersebut,” jelasnya.

Prospek Penerimaan Pajak

Meski tarif diturunkan, pemerintah tetap optimis dapat mempertahankan tren positif penerimaan pajak. Dengan asumsi beban PPh badan per wajib pajak menurun namun jumlah wajib pajak meningkat, total penerimaan PPh badan secara agregat diproyeksikan tetap akan mengalami pertumbuhan.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan tren positif penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir, dengan realisasi penerimaan mencapai Rp 1.869,23 triliun pada tahun 2023 dan outlook 2024 sebesar Rp 1.921,90 triliun.

Kebijakan penurunan tarif PPh Badan ini diharapkan dapat menjadi katalis untuk meningkatkan daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi, sekaligus mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik di kalangan pelaku usaha.

Dilema Tax Holiday vs Global Minimum Tax: Indonesia di Persimpangan Kebijakan Pajak

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Kebijakan perpajakan Indonesia sedang menghadapi transformasi fundamental, terutama terkait fasilitas tax holiday dan rencana implementasi Global Minimum Tax (GMT). Dalam wawancara eksklusif dengan Bisnis Indonesia, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan analisis komprehensif tentang perubahan signifikan dalam landasan hukum kebijakan perpajakan nasional.

Evolusi Landasan Hukum Tax Holiday

Perubahan Kerangka Hukum

Prianto menjelaskan evolusi kerangka hukum tax holiday di Indonesia:

• UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) yang menjadi landasan awal pemberian tax holiday

• PP 94/2010 yang kemudian diubah dengan PP 45/2019 sebagai aturan pelaksana

• PMK No. 130/PMK.010/2020 yang mengatur teknis pemberian fasilitas tax holiday

• UU No. 6/2023 (UU Cipta Kerja 2023) yang mengubah UU PM sebelumnya

Perubahan Fundamental dalam UU PM

“Perubahan signifikan terjadi ketika Pasal 18 ayat (5) UU PM yang menjadi dasar pemberian tax holiday dicabut melalui UU Cipta Kerja 2023,” ungkap Prianto. Pasal tersebut sebelumnya mengatur pemberian pembebasan atau pengurangan PPh badan untuk industri pionir.

Pengalihan ke UU PPh

Sekarang, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU PM yang baru, fasilitas perpajakan harus mengacu pada UU PPh. Prianto merinci empat fasilitas yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU PPh:

• Pengurangan penghasilan neto hingga 30% dari nilai investasi

• Penyusutan dan amortisasi dipercepat

• Kompensasi kerugian hingga 10 tahun

• PPh atas dividen 10% untuk investor asing

Global Minimum Tax: Era Baru Perpajakan

Sementara itu, Indonesia juga bersiap mengimplementasikan Global Minimum Tax sebagai bagian dari kesepakatan internasional. “GMT merupakan bagian dari consensus-based tax policies di Pilar Dua dan Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules,” jelas Prianto.

Implementasi GMT di Indonesia telah memiliki landasan hukum melalui Pasal 32A UU PPh dan PP 55/2022, meskipun PMK teknisnya belum terbit. Ketentuan GMT akan berlaku untuk grup usaha dengan pendapatan konsolidasi minimal €750 juta (sekitar Rp12,75 triliun).

Mencari Keseimbangan Optimal

Dalam menghadapi situasi ini, Prianto menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana Indonesia dapat mengoptimalkan kedua instrumen kebijakan:

1. Tax Holiday untuk Investasi Menengah: “Tax holiday masih dapat diberikan untuk investasi dengan dua syarat,” ujar Prianto. Syarat tersebut meliputi pembenahan regulasi untuk kepastian hukum dan pembatasan pada perusahaan dengan pendapatan gabungan di bawah €750 juta.

2. GMT untuk Perusahaan Besar: Untuk perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta, GMT menjadi instrumen yang lebih relevan.

Dampak terhadap Penerimaan Negara

Dari sisi penerimaan negara, Prianto menegaskan bahwa kedua instrumen memiliki tujuan berbeda:

1. GMT berpotensi memberikan tambahan penerimaan pajak melalui top-up tax

2. Tax holiday lebih fokus pada penarikan investasi asing (FDI) daripada penerimaan pajak

Langkah ke Depan

Menghadapi situasi ini, beberapa langkah krusial perlu diambil:

1. Memberikan kepastian hukum untuk tax holiday yang sudah diberikan

2. Menghentikan pemberian tax holiday baru karena tidak ada dasar hukumnya

3. Menggantinya dengan fasilitas investment allowance sesuai Pasal 31A UU PPh

4. Menerbitkan PMK tentang implementasi GMT

Kesimpulan

Indonesia berada di persimpangan penting dalam kebijakan perpajakan. Keputusan yang diambil dalam mengatur tax holiday dan implementasi GMT akan mempengaruhi daya saing investasi dan penerimaan negara. Diperlukan kebijakan yang cermat untuk memastikan Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari kedua instrumen ini sambil tetap menjaga daya tarik investasi dan kepatuhan terhadap standar perpajakan global.

DJP Siap Luncurkan CoreTax: Strategi Implementasi Sistem Perpajakan Baru

Jakarta, 26 September 2024 – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah mempersiapkan peluncuran sistem perpajakan baru yang disebut CoreTax Administration System (CTAS). Dalam wawancara eksklusif dengan Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan detail persiapan, tantangan, dan strategi implementasi CoreTax yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan kepatuhan Wajib Pajak (WP) di Indonesia.

Persiapan Sebelum Peluncuran

Prianto Budi menekankan dua aspek krusial yang harus dipastikan DJP sebelum meluncurkan CoreTax:

1. Keamanan Data:

“DJP harus memastikan bahwa dugaan kebocoran terhadap data NPWP dan NIK tidak mengganggu rilis CTAS,” ujar Prianto. Ini menunjukkan bahwa DJP sangat serius dalam menangani isu keamanan data, mengingat sensitifitas informasi perpajakan yang akan dikelola oleh sistem baru ini.

2. Sosialisasi Intensif:

“Sosialisasi harus terus digiatkan ke seluruh lapisan Wajib Pajak agar pemahaman mereka ke CTAS memadai,” tambah Prianto. Hal ini mengindikasikan bahwa DJP menyadari pentingnya edukasi dan pemahaman Wajib Pajak terhadap sistem baru untuk memastikan implementasi yang sukses.

Tantangan Adaptasi dan Estimasi Waktu

Ketika ditanya tentang waktu yang dibutuhkan Wajib Pajak untuk beradaptasi dengan CoreTax, Prianto Budi memberikan pandangan yang realistis: “Kebutuhan waktu untuk beradaptasi akan bervariasi. Faktornya ada pada kemauan untuk berubah dari WP itu sendiri,” jelasnya. Prianto mengakui bahwa dalam setiap pembaruan sistem informasi, tantangan “resistance to change” (resistensi untuk berubah) akan selalu muncul.

Akan tetapi, ia memberikan estimasi waktu adaptasi yang cukup optimis: “Waktu adaptasi sekitar 6 12 bulan dianggap cukup memadai bagi internal DJP maupun WP untuk fully adapted dengan CTAS.” Estimasi ini memberikan gambaran konkret bagi semua pihak terkait tentang timeline yang diharapkan untuk implementasi penuh CoreTax.

Strategi Percepatan Efektivitas

Untuk mempercepat efektivitas CoreTax, Prianto Budi mengungkapkan strategi komprehensif yang akan diterapkan oleh DJP. “Sesuatu yang baru pasti harus dikenalkan agar aparat DJP dan WP segera mengenali, beradaptasi, dan memahami secara baik,” ujarnya. “Jadi, sosialisasi dengan berbagai media pembelajaran menjadi penting.” tambahnya.

Prianto merinci beberapa metode sosialisasi yang akan digunakan, seperti: 1. Pelatihan tatap muka 2. Video pembelajaran 3. Buku panduan 4. Video tutorial 5. Video animasi.

Pendekatan multi-channel ini menunjukkan komitmen DJP untuk memastikan bahwa semua pihak, baik internal maupun Wajib Pajak, memiliki akses ke berbagai sumber informasi dan pembelajaran tentang CoreTax.

Dampak yang Diharapkan

Meskipun Prianto Budi tidak secara eksplisit menyebutkan dampak spesifik dari CoreTax, implementasi sistem ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Dengan sistem yang lebih modern dan terintegrasi, DJP berharap dapat meningkatkan transparansi, akurasi, dan kemudahan dalam proses perpajakan di Indonesia.

Kesimpulan

Peluncuran CoreTax merupakan langkah signifikan dalam modernisasi sistem perpajakan Indonesia. Dengan persiapan yang matang, strategi implementasi yang komprehensif, dan pendekatan yang realistis terhadap tantangan adaptasi, DJP menunjukkan komitmen kuat untuk meningkatkan sistem perpajakan nasional.

Pemerintah Tinjau Ulang Kebijakan Cukai Hasil Tembakau untuk 2025

Jakarta, 23 September 2024 – Pemerintah Indonesia mengumumkan perubahan arah kebijakan terkait Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk tahun 2025. Berbeda dengan rencana sebelumnya yang menggunakan sistem tarif multiyears, pemerintah kini memfokuskan diri pada fenomena downtrading rokok yang semakin marak terjadi.

Menurut pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, pemerintah tidak akan melakukan penyesuaian tarif CHT pada tahun 2025. Sebaliknya, fokus akan diarahkan pada penyesuaian harga jual di tingkat industri.

Menanggapi hal tersebut, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menjelaskan bahwa keputusan ini merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dan DPR yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2025.

“Pemerintah memang tidak jadi melakukan penyesuaian tarif CHT setelah bersepakat dengan DPR. Fokus pemerintah ada pada fenomena downtrading rokok yang marak saat ini,” ujar Prianto.

Ia menambahkan bahwa setelah adanya penyesuaian tarif CHT di periode sebelumnya, terjadi peralihan konsumsi rokok ke jenis yang lebih murah. “Produksi rokok Golongan I menurun karena terkena tarif cukai lebih tinggi di atas Rp 1.000 per batang atau gram. Sementara itu, terjadi peningkatan produksi rokok Golongan II dan III dengan tarif cukai di bawah Rp 1.000 per batang atau gram,” jelasnya.

Menghadapi situasi ini, pemerintah diperkirakan akan menelaah kembali kebijakan penggolongan rokok yang saat ini berlaku. Langkah yang diambil kemungkinan besar berupa penyesuaian harga jual di level industri. “Tujuannya adalah agar tidak marak terjadi downtrading lagi,” tegas Prianto.

Kebijakan ini diharapkan dapat menyeimbangkan antara upaya pengendalian konsumsi rokok dan penerimaan negara dari sektor cukai. Namun, beberapa pihak mengkhawatirkan dampak kebijakan ini terhadap industri rokok nasional dan petani tembakau.

Sementara itu, Kementerian Keuangan belum merilis detail lengkap mengenai rencana penyesuaian harga jual rokok di tingkat industri. Diperkirakan, informasi lebih lanjut akan diumumkan dalam waktu dekat seiring dengan pembahasan APBN 2025.

Masyarakat dan pelaku industri rokok diharapkan tetap mengikuti perkembangan kebijakan ini, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap ekonomi nasional dan kesehatan masyarakat.

PMK Nomor 59/2024: Pembebasan Pajak untuk Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional, Apa Saja yang Baru?

Jakarta, 6 September 2024 – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 59/2024, yang memberikan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk perwakilan negara asing, badan internasional, dan para pejabatnya. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum serta meningkatkan efisiensi dalam tata kelola administrasi dan pelayanan kepada pihak-pihak terkait.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, seorang pakar perpajakan sekaligus ketua Umum IFTAA, menjelaskan beberapa poin penting terkait peraturan ini dan bagaimana peran PMK 59/2024 dalam menyempurnakan kebijakan pajak sebelumnya.

PMK 59/2024: Mengikuti Arahan PP 47/2020

Prianto menegaskan bahwa PMK 59/2024 merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2020. Aturan ini mengatur tata cara pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM yang diberikan kepada:

  1. Perwakilan negara asing,
  2. Badan internasional, dan
  3. Pejabat dari kedua pihak tersebut.

“Peraturan ini fokus pada pengaturan teknis dan administratif untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam proses pembebasan pajak bagi pihak-pihak yang berhak,” jelas Prianto.

Menurutnya, PMK 59/2024 memberikan dua mekanisme utama dalam proses pembebasan pajak:

  1. Tata cara pembebasan pajak dengan SKB (Surat Keterangan Bebas), dan
  2. Tata cara pembebasan pajak dengan mekanisme pengembalian pajak.

Prianto juga menambahkan bahwa PMK ini tidak boleh bertentangan dengan PP 47/2020, melainkan bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan pelayanan bagi perwakilan negara asing dan badan internasional.

Penyempurnaan Aturan Sebelumnya

Salah satu poin penting dari PMK 59/2024 adalah penyempurnaannya terhadap aturan-aturan sebelumnya. Prianto menjelaskan bahwa PMK ini menggabungkan dua aturan terdahulu yang diatur dalam PMK 161/2014 dan PMK 162/2014.

  • PMK 161/2014 mengatur tata cara pengembalian PPN dan PPnBM bagi perwakilan negara asing, badan internasional, serta pejabatnya.
  • PMK 162/2014 mengatur tata cara penerbitan SKB PPN dan PPnBM untuk pihak-pihak yang sama.

“Dengan diterbitkannya PMK 59/2024, kedua PMK tersebut digabungkan dan disempurnakan untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian hukum bagi para pihak yang berhak,” jelas Prianto lebih lanjut.

Efek Positif untuk Pihak Internasional

Kehadiran PMK 59/2024 membawa harapan baru bagi perwakilan negara asing dan badan internasional di Indonesia. Aturan ini diyakini akan memberikan kepastian hukum dan mengurangi kompleksitas administrasi dalam proses pengajuan pembebasan pajak, sehingga dapat memperkuat hubungan diplomatik dan operasional internasional di dalam negeri.

Melalui PMK 59/2024, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus menyempurnakan aturan perpajakan, khususnya bagi pihak asing dan internasional. Selain memberikan kemudahan administrasi, peraturan ini juga memastikan bahwa semua proses perpajakan berjalan transparan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Bagi perwakilan negara asing dan badan internasional, PMK ini menjadi angin segar dalam meningkatkan efisiensi operasional mereka di Indonesia.

PMK 59/2024 diharapkan akan menjadi langkah penting dalam memperkuat kerja sama internasional dan diplomasi Indonesia di kancah global.