Category: Siaran Pers

PMK Nomor 59/2024: Pembebasan Pajak untuk Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional, Apa Saja yang Baru?

Jakarta, 6 September 2024 – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 59/2024, yang memberikan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk perwakilan negara asing, badan internasional, dan para pejabatnya. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum serta meningkatkan efisiensi dalam tata kelola administrasi dan pelayanan kepada pihak-pihak terkait.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, seorang pakar perpajakan sekaligus ketua Umum IFTAA, menjelaskan beberapa poin penting terkait peraturan ini dan bagaimana peran PMK 59/2024 dalam menyempurnakan kebijakan pajak sebelumnya.

PMK 59/2024: Mengikuti Arahan PP 47/2020

Prianto menegaskan bahwa PMK 59/2024 merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2020. Aturan ini mengatur tata cara pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM yang diberikan kepada:

  1. Perwakilan negara asing,
  2. Badan internasional, dan
  3. Pejabat dari kedua pihak tersebut.

“Peraturan ini fokus pada pengaturan teknis dan administratif untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan dalam proses pembebasan pajak bagi pihak-pihak yang berhak,” jelas Prianto.

Menurutnya, PMK 59/2024 memberikan dua mekanisme utama dalam proses pembebasan pajak:

  1. Tata cara pembebasan pajak dengan SKB (Surat Keterangan Bebas), dan
  2. Tata cara pembebasan pajak dengan mekanisme pengembalian pajak.

Prianto juga menambahkan bahwa PMK ini tidak boleh bertentangan dengan PP 47/2020, melainkan bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan pelayanan bagi perwakilan negara asing dan badan internasional.

Penyempurnaan Aturan Sebelumnya

Salah satu poin penting dari PMK 59/2024 adalah penyempurnaannya terhadap aturan-aturan sebelumnya. Prianto menjelaskan bahwa PMK ini menggabungkan dua aturan terdahulu yang diatur dalam PMK 161/2014 dan PMK 162/2014.

  • PMK 161/2014 mengatur tata cara pengembalian PPN dan PPnBM bagi perwakilan negara asing, badan internasional, serta pejabatnya.
  • PMK 162/2014 mengatur tata cara penerbitan SKB PPN dan PPnBM untuk pihak-pihak yang sama.

“Dengan diterbitkannya PMK 59/2024, kedua PMK tersebut digabungkan dan disempurnakan untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian hukum bagi para pihak yang berhak,” jelas Prianto lebih lanjut.

Efek Positif untuk Pihak Internasional

Kehadiran PMK 59/2024 membawa harapan baru bagi perwakilan negara asing dan badan internasional di Indonesia. Aturan ini diyakini akan memberikan kepastian hukum dan mengurangi kompleksitas administrasi dalam proses pengajuan pembebasan pajak, sehingga dapat memperkuat hubungan diplomatik dan operasional internasional di dalam negeri.

Melalui PMK 59/2024, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus menyempurnakan aturan perpajakan, khususnya bagi pihak asing dan internasional. Selain memberikan kemudahan administrasi, peraturan ini juga memastikan bahwa semua proses perpajakan berjalan transparan dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Bagi perwakilan negara asing dan badan internasional, PMK ini menjadi angin segar dalam meningkatkan efisiensi operasional mereka di Indonesia.

PMK 59/2024 diharapkan akan menjadi langkah penting dalam memperkuat kerja sama internasional dan diplomasi Indonesia di kancah global.

Peningkatan Pengeluaran Pajak Kelas Menengah: Penyebab dan Tantangan ke Depan

Jakarta, 6 September 2024 – Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan adanya peningkatan pengeluaran pajak di kalangan masyarakat kelas menengah. Pada tahun 2019, indeks pengeluaran untuk membayar pajak tercatat sebesar 3,48, namun pada tahun 2024, indeks ini melonjak drastis. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mengenai penyebab dan dampak dari peningkatan pengeluaran pajak tersebut terhadap kelas menengah yang dianggap rentan jatuh ke garis kemiskinan.

Menanggapi hal ini, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangan yang mendalam. Dalam wawancaranya, ia menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan pengeluaran masyarakat untuk membayar pajak. Salah satu faktor utamanya adalah perubahan dalam kebijakan perpajakan pemerintah.

Pergeseran Kebijakan Pajak: Dari Pendapatan ke Konsumsi

Prianto menyoroti bahwa pemerintah telah mulai menggeser basis pemajakan dari pajak berbasis penghasilan (PPh) ke arah pajak berbasis konsumsi (PPN). “Pengeluaran masyarakat menjadi salah satu basis pemajakan yang dikenal dengan istilah expenditure-based taxation atau consumption-based taxation,” jelasnya. Pajak berbasis konsumsi ini mencakup tiga jenis pajak utama: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, dan Pajak Daerah (PBJT).

  • PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri.
  • Cukai berlaku untuk hasil tembakau, seperti rokok.
  • Pajak Daerah (PBJT) meliputi pajak atas transaksi barang dan jasa tertentu, termasuk di restoran dan hotel.

“Peningkatan konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa di ketiga objek pajak tersebut secara otomatis meningkatkan penerimaan pajak,” tambahnya.

Hal ini sejalan dengan kebijakan yang tertuang dalam UU APBN 2024, di mana pemerintah mengarahkan basis pemajakan lebih ke konsumsi. Dengan adanya pergeseran ini, konsumsi masyarakat kelas menengah berpengaruh langsung terhadap peningkatan beban pajak mereka.

Tantangan bagi Kelas Menengah: Perlu Insentif Pajak?

Selain membahas penyebab peningkatan pajak, Prianto juga menyentuh isu penting terkait dampak kebijakan pajak terhadap kelas menengah yang rentan. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan insentif pajak untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah, terutama di sektor-sektor yang memiliki efek pengganda besar terhadap perekonomian.

“Saat ini, pemerintah masih memberikan insentif pajak melalui kebijakan Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) secara selektif, terutama di sektor properti,” ungkapnya. Insentif ini bertujuan untuk menjaga ketahanan ekonomi masyarakat dan biasanya akan dicabut kembali setelah ekonomi mulai pulih.

Namun, Prianto menekankan bahwa pemberian insentif harus dilakukan secara hati-hati dan selektif, mengingat tantangan keuangan negara. Pemerintah perlu terus mengevaluasi kebijakan pajak untuk memastikan bahwa kelas menengah tidak semakin terbebani oleh pengeluaran pajak yang meningkat, yang dapat memperparah kerentanan mereka terhadap kemiskinan.

Peningkatan pengeluaran pajak kelas menengah mencerminkan adanya pergeseran kebijakan pajak yang berfokus pada konsumsi, sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Akan tetapi, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah dapat menyeimbangkan antara meningkatkan penerimaan pajak dan menjaga stabilitas ekonomi masyarakat kelas menengah, agar mereka tetap dapat bertahan di tengah ancaman kemiskinan.

“Pemerintah Alokasikan Rp445,5 Triliun untuk Belanja Perpajakan 2025: Strategi dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2023– Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana sebesar Rp445,5 triliun untuk belanja perpajakan. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 11,4% dibandingkan alokasi tahun sebelumnya. Fokus utama alokasi ini ditujukan pada sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), industri manufaktur, serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif memberikan pandangan mendalam mengenai strategi dan tantangan dari kebijakan ini.

Belanja Perpajakan sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal

Prianto menjelaskan bahwa belanja perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal dari sisi pengeluaran di pos APBN. “Instrumen ini sering disebut sebagai indirect government spending policy,” ujarnya. Salah satu bentuk konkretnya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP).

“Dengan kebijakan DTP, pemerintah tetap mengenakan pajak atas suatu sektor tertentu. Namun, dana untuk membayar pajak tidak ditanggung oleh konsumen, melainkan oleh pemerintah,” Prianto menjelaskan. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mempertahankan daya beli mereka melalui “bantuan pemerintah” secara tidak langsung.

Strategi di Tengah Tantangan Ekonomi

Menanggapi kekhawatiran tentang penurunan jumlah kelas menengah dan pelemahan daya beli masyarakat, Prianto menegaskan bahwa rencana alokasi belanja perpajakan 2025 telah melalui proses pertimbangan yang matang.

“Setiap perencanaan anggaran pasti memiliki ketidakpastian di masa mendatang dan biasanya dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis,” jelasnya. “Secara umum, pilihan moderat seringkali menjadi opsi yang dipilih karena dianggap paling realistis.”

Fokus pada Sektor Manufaktur

Meskipun kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan tren penurunan, pemerintah tetap memilih untuk meningkatkan belanja perpajakan di sektor ini. Prianto menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut:

“Pemilihan sektor manufaktur didasarkan pada potensi multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian. Sektor ini dianggap memiliki dampak ganda karena sebagian besar industrinya padat karya dan padat modal,” tuturnya.

 

Implementasi dan Contoh Konkret

Prianto memberikan beberapa contoh implementasi belanja perpajakan:

  1. PPN DTP untuk percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
  2. PPN DTP di sektor perumahan.

“Melalui kebijakan ini, masyarakat yang terbantu dengan pajak DTP akan memiliki dana lebih untuk belanja barang dan jasa, sehingga diharapkan daya beli masyarakat akan terjaga,” Prianto menjelaskan.

Evaluasi dan Penyesuaian Kebijakan

Prianto menekankan bahwa efektivitas kebijakan ini baru dapat dinilai setelah diimplementasikan. “Suatu perencanaan apapun tidak akan pernah salah atau benar karena belum diimplementasikan,” ujarnya. “Yang penting adalah terus melakukan evaluasi dan penyesuaian kebijakan berdasarkan perkembangan ekonomi yang terjadi.”

Ia juga menambahkan bahwa dalam kebijakan fiskal, seringkali tidak ada posisi ideal (optimum) karena selalu ada pihak yang pro dan kontra ketika proses tersebut berada di posisi perumusan kebijakan fiskal dari sisi anggaran tax expenditure.

Kesimpulan

Dengan strategi belanja perpajakan ini, pemerintah berharap dapat menjaga stabilitas ekonomi, mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis, dan mempertahankan daya beli masyarakat di tengah tantangan ekonomi global yang dinamis. Namun, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada implementasi yang tepat dan kemampuan pemerintah untuk melakukan penyesuaian berdasarkan kondisi ekonomi yang berkembang.

“Pemerintah Targetkan Penerimaan Pajak 2025 Rp2.183,9 Trilitun: Antara Optimisme dan Tantangan”

Jakarta, 23 Agustus 2024- Pemerintah Indonesia telah menetapkan target penerimaan pajak yang ambisius untuk tahun anggaran 2025, yaitu sebesar Rp2.183,9 triliun. Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun sebelumnya yang belum menembus angka Rp2.000 triliun.

Dalam wawancara eksklusif, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, memberikan pandangannya mengenai target tersebut. “Setiap perencanaan anggaran yang memiliki ketidakpastian di masa mendatang dapat dibagi menjadi tiga kategori: pesimistis, moderat, dan optimis. Secara umum, pilihan moderat atau konservatif menjadi opsi yang paling rasional,” jelasnya.

Prianto menilai bahwa target penerimaan pajak sebesar Rp2.183,9 triliun dapat dianggap sebagai pilihan yang moderat dan realistis. Namun, untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu menerapkan strategi yang tepat.

Strategi Pencapaian Target

Kementerian Keuangan, melalui dua instansi vertikalnya yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), akan mengelola penerimaan pajak. DJP bertanggung jawab atas penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan, serta Bea Meterai. Sementara itu, DJBC akan mengelola Bea Masuk, Bea Keluar, dan Cukai.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menerapkan dua strategi utama:

  1. Intensifikasi: Fokus pada pengawasan kepatuhan dengan pendekatan data matching. Data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak akan ditandingkan dengan data dari berbagai sumber yang memasok informasi ke DJP. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi pajak melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).
  2. Ekstensifikasi: Difokuskan pada penambahan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) baru. Strategi ini diimplementasikan melalui pemadanan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Langkah ini akan memudahkan DJP dalam melakukan pengawasan terhadap WPOP baru.

Tantangan dan Pertimbangan

Meskipun target tersebut dianggap moderat, beberapa tantangan tetap perlu diperhatikan. Salah satunya adalah proyeksi lifting migas yang tidak sebagus yang diharapkan, mengingat pajak dari sektor migas dan non-migas merupakan kontributor terbesar dalam penerimaan pajak.

Selain itu, rencana kenaikan PPN menjadi 12% yang masih belum pasti juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan. Menanggapi hal ini, Prianto menegaskan bahwa penyusunan APBN, termasuk penetapan target penerimaan pajak, telah melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pihak terkait.

“Penyusunan APBN melalui proses konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk kementerian, lembaga pemerintah, BUMN, dan kelompok masyarakat terkait. Tujuannya adalah agar Kementerian Keuangan dapat memahami kebutuhan sektor-sektor tertentu dan mendapatkan masukan,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kementerian Keuangan selalu melakukan evaluasi dan membuat pertimbangan di setiap rancangan anggaran, baik di sisi penerimaan maupun di sisi belanja. Proses ini menjadi bagian dari formulasi kebijakan yang bermuara pada RAPBN untuk tahun berikutnya.”

Dengan penetapan target yang ambisius ini, pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, keberhasilan pencapaian target ini juga bergantung pada partisipasi aktif masyarakat dan pelaku usaha dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak.

Kontroversi PMK 47/2024: Upaya Pemerintah Perketat Aturan Penghindaran Pajak Menuai Kritik

Jakarta, 12 Agustus 2024 – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47/2024 yang baru-baru ini diterbitkan untuk memperketat aturan Automatic Exchange of Information (AEoI) telah memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dan perpajakan. Aturan ini ditujukan untuk menangani pihak-pihak yang bersekongkol dengan wajib pajak dalam melakukan penghindaran pajak.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam sebuah wawancara eksklusif menjelaskan bahwa PMK 47/2024 merupakan perubahan ketiga dari PMK 70/2017 yang mengatur tentang akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan.

“Pemerintah ingin memasukkan General Anti-avoidance Rules (GAAR) ke dalam aturan ini,” ujar Budi. “Namun, implementasinya menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang perlu diperhatikan.”

Menurut Budi, salah satu konsekuensi dari penambahan pasal tentang GAAR adalah petugas pajak dapat melakukan penilaian subjektif atas kesepakatan yang dilandasi asas kesucian kontrak dalam KUH Perdata. “Ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambahnya.

Lebih lanjut, Budi mengkritisi hierarki hukum dari PMK 47/2024. “Ada indikasi pengaturan yang melebihi kewenangan dari sebuah PMK,” jelasnya. Ia merujuk pada UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang membatasi pendelegasian kewenangan dari UU kepada menteri hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

PMK 47/2024 tampaknya membuat norma hukum baru, termasuk larangan membuat kesepakatan perdata yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak menurut penilaian petugas pajak, serta memberi kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menyatakan kesepakatan tersebut tidak berlaku tanpa proses pengadilan.

Meski demikian, Budi mengingatkan bahwa setiap kebijakan selalu memiliki dua sisi. “Dari sisi pembuat kebijakan, isi perubahan aturan di PMK 47/2024 tetap dapat dianggap sebagai bagian dari petunjuk teknis dari UU No. 9/2017,” katanya.

Kontroversi ini menyoroti ketegangan antara upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dan kebutuhan untuk menjaga kepastian hukum bagi wajib pajak dan pelaku usaha. Para pemangku kepentingan kini menanti kemungkinan pengujian aturan ini di Mahkamah Agung untuk memastikan keabsahannya.

Sementara itu, Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi terkait kritik terhadap PMK 47/2024. Namun, sumber internal menyatakan bahwa aturan ini diperlukan untuk menutup celah penghindaran pajak yang semakin canggih.

Terlepas dari kontroversi, para ahli berharap akan ada dialog lebih lanjut antara pemerintah, pelaku usaha, dan ahli hukum untuk mencapai keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dan kepastian hukum dalam praktik perpajakan di Indonesia

Pakar Ekonomi: Indonesia Perlu Pertimbangkan Matang Saran IMF Terkait Strategi Penerimaan Negara

Jakarta, 12 Agustus 2024– International Monetary Fund (IMF) baru-baru ini mengeluarkan laporan yang menyoroti perlunya pembaruan Medium Term Revenue Strategy (MTRS) 2017 di Indonesia. Namun, seorang pakar ekonomi memperingatkan bahwa implementasi saran-saran tersebut memerlukan pertimbangan yang cermat.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menganalisis beberapa saran kunci IMF dalam sebuah wawancara eksklusif. “Setiap opsi yang muncul dalam proses formulasi kebijakan pasti memunculkan ambivalensi. Dengan kata lain, ada sisi positif dan negatif sehingga ada pihak yang pro dan kontra terhadap usulan IMF tersebut,” ujarnya.

Salah satu saran IMF adalah menurunkan threshold pengusaha kena pajak. Menurut Budi, hal ini bisa meningkatkan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN), namun juga berpotensi meningkatkan biaya administrasi bagi Direktorat Jenderal Pajak dan biaya kepatuhan bagi pengusaha kecil.

Terkait penambahan objek cukai, Budi menjelaskan bahwa meskipun hal ini dapat meningkatkan penerimaan negara, ada risiko pergeseran perilaku konsumsi masyarakat ke produk substitusi yang tidak terkena cukai atau terkena cukai dengan tarif lebih rendah.

Saran IMF untuk meninjau ulang kebijakan tax expenditure juga mendapat perhatian khusus. “Kebijakan belanja pajak seringkali muncul ketika krisis ekonomi terjadi atau terjadi perlambatan ekonomi,” kata Budi. Ia menambahkan bahwa meskipun ada argumen untuk mengalokasikan dana secara lebih produktif, kebijakan belanja pajak dapat membantu menjaga daya beli masyarakat di masa sulit.

Menanggapi pertanyaan tentang kemampuan Indonesia untuk menjalankan saran-saran IMF, Budi menegaskan bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk melakukannya. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai perspektif sebelum mengambil keputusan.

“Pada akhirnya, pemerintah harus mengambil keputusan, yaitu: menjalankan semua saran IMF tanpa modifikasi kebijakan, menjalankan saran IMF dengan modifikasi kebijakan, atau tidak menjalankan saran IMF tersebut,” jelas Budi.

Ia menambahkan bahwa dalam praktiknya, pilihan kebijakan seringkali tidak mencapai titik ideal. “Berdasarkan kompromi, Pemerintah akan menerapkan the second best policies,” tutupnya.

Sementara itu, beberapa saran IMF lainnya, seperti menurunkan threshold UMKM dan memulai cukai BBM, masih memerlukan kajian lebih lanjut. Bahkan, rencana cukai plastik yang pernah diusulkan IMF sebelumnya masih mengalami kemandegan dalam implementasinya.

Dengan berbagai pertimbangan yang kompleks ini, masyarakat dan pelaku ekonomi di Indonesia akan menanti dengan seksama langkah-langkah konkret yang akan diambil pemerintah dalam merespons rekomendasi IMF, sambil tetap menjaga keseimbangan antara peningkatan penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat

Indonesia Terapkan Rekomendasi IMF dan Bank Dunia untuk Tingkatkan Penerimaan Negara

Jakarta, 5 Agustus 2024 – Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan penerimaan negara dengan mengadopsi berbagai rekomendasi dari lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan bahwa Indonesia telah dan sedang dalam proses menerapkan enam rekomendasi utama untuk memperkuat basis pendapatan negara.

“Saat ini, semua rekomendasi tersebut sudah dan/atau akan dijalankan oleh pemerintah Indonesia,” ujar Prianto Budi dalam sebuah wawancara eksklusif.

Salah satu rekomendasi yang telah diterapkan adalah peningkatan efektivitas insentif pajak. Pemerintah telah memilih sektor-sektor industri strategis yang dapat menggairahkan ekonomi karena memiliki efek domino di masyarakat. Contohnya adalah kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor properti dan kendaraan listrik.

Dalam upaya memperluas basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang merevisi UU PPN. “Ada perluasan objek PPN, meski sebagiannya mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan sesuai PP 49/2022,” jelas Prianto.

Terkait perluasan cakupan Pajak Penghasilan (PPh), pemerintah telah menambahkan objek PPh 21 berupa imbalan natura/kenikmatan melalui UU HPP. Sebagai turunannya, telah terbit PP 55/2022 dan PMK 66/2023.

Langkah ekstensifikasi cukai juga sedang dianalisis dengan rencana memperluas objek cukai. Beberapa rencana yang sedang dikaji mencakup pengenaan cukai pada rumah, tiket konser, makanan cepat saji, deterjen, plastik, dan minuman berpemanis dalam kemasan.

Untuk pengembangan sistem pajak properti yang efektif, Indonesia telah lama menerapkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibagi menjadi dua pemungut pajak: pemerintah pusat untuk PBB-P3 (perhutanan, perkebunan, dan pertambangan) dan pemerintah daerah untuk PBB-P2 (perkotaan, pedesaan).

Terakhir, kebijakan khusus untuk sektor-sektor tertentu telah diterapkan melalui fasilitas PPh berupa tax holiday atau tax allowance. “Contohnya adalah proyek-proyek yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Fasilitas pajak untuk Ibu Kota Nusantara (IKN) juga menjadi bagian dari kebijakan ini,” tambah Prianto.

Dengan penerapan rekomendasi-rekomendasi ini, pemerintah Indonesia berharap dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Namun, efektivitas kebijakan-kebijakan ini masih perlu dipantau dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan dampak positifnya terhadap perekonomian nasional.

Pemprov DKI Jakarta Optimalkan Pendapatan Asli Daerah Melalui Berbagai Upaya Inovatif

Jakarta, 5 Agustus 2024 – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus berupaya mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui berbagai langkah strategis. Berdasarkan data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, realisasi penerimaan pajak daerah pada semester pertama tahun 2024 telah mencapai Rp19,10 triliun.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, menjelaskan bahwa lima jenis pajak daerah dengan target penerimaan tertinggi di DKI Jakarta meliputi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Restoran.

“Dari kelima jenis pajak daerah tersebut, realisasi penerimaan PBB-P2 pada periode Januari-Juni baru mencapai 12,65% dari target. Oleh karena itu, Bapenda DKI terus menggenjot realisasi PBB-P2 melalui insentif fiskal,” ujar Prianto.

Salah satu insentif yang diterapkan adalah kebijakan pembebasan pokok PBB-P2 untuk tahun 2024. Kebijakan ini berlaku bagi wajib pajak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan bangunan sampai dengan Rp2 miliar. Langkah ini diharapkan dapat meringankan beban masyarakat sekaligus meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak.

Selain itu, Pemprov DKI juga memberikan insentif berupa penghapusan sanksi administrasi secara jabatan pada Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Upaya ini dilakukan untuk mendorong wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.

Prianto menambahkan, “Bapenda DKI juga melakukan kerja sama dengan komunitas mobil mewah dan motor besar. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemilik asli kendaraan mewah tersebut dan melakukan intensifikasi pajak.”

Inovasi lain yang diterapkan adalah penggunaan mesin tapping box di kasir restoran. Sistem ini memungkinkan transaksi di restoran langsung terhubung dengan sistem penerimaan pajak restoran yang menjadi bagian dari Pajak atas Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). “Tapping box juga dapat diterapkan untuk PBJT lainnya, seperti pajak parkir atau pajak hotel,” tambah Prianto.

Pemprov DKI Jakarta juga aktif melakukan sosialisasi pajak untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya membayar pajak daerah. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan PAD DKI Jakarta di masa mendatang.

Meski demikian, para pengamat ekonomi menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta terus melakukan evaluasi dan inovasi dalam upaya peningkatan PAD. Hal ini penting untuk memastikan bahwa target penerimaan pajak daerah dapat tercapai, sehingga dapat mendukung pembangunan dan pelayanan publik yang lebih baik bagi masyarakat Jakarta