Category: Siaran Pers

FIA UI Dorong Siswa SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto Tingkatkan Motivasi Melanjutkan Pendidikan Tinggi

Purwokerto, 13 Oktober 2025 — Rendahnya angka lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih menjadi tantangan serius dalam pembangunan sumber daya manusia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, hanya 10,2 persen penduduk berusia di atas 15 tahun yang berhasil menamatkan pendidikan tinggi. Angka ini mencerminkan bahwa sebagian besar masyarakat masih terkendala dalam melanjutkan studi, baik karena faktor ekonomi, kurangnya informasi, maupun rendahnya motivasi. Menjawab kondisi tersebut, tim dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Menanamkan Motivasi Melanjutkan Pendidikan Tinggi bagi Siswa-Siswi SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto.” Kegiatan yang berlangsung pada Senin, 13 Oktober 2025 ini diikuti lebih dari 180 siswa kelas XII dari lima kelas dan bertujuan menumbuhkan semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketua Tim Pengabdian Masyarakat, Ismail Khozen, S.I.A., M.A., CSRS., CSRA, CertDA., menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen FIA UI dalam mendukung capaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin ke-4 tentang Quality Education dan poin ke-10 tentang Reduced Inequalities. “Kami ingin menumbuhkan keyakinan di kalangan siswa bahwa pendidikan tinggi bukan hanya soal gelar, tetapi tentang memperluas kesempatan dan membangun masa depan yang lebih baik,” ujarnya. Kegiatan ini melibatkan sejumlah dosen FIA UI, antara lain Prof. Dr. Milla Sepliana Setyowati, S.Sos, M.Ak., Dr. Prianto Budi Saptono, M.B.A., Dr. Arfah Habib Saragih, S.E., M.S.Ak., CA., Asean CPA., Drs. Adang Hendrawan, M. Si., dan Wulandari Kartika Sari, S.Sos, M.A.. Selain itu, hadir pula pemateri tamu seperti Dr. Mohammad Wangsit Supriyadi, M.A.В., Dr. Adiwarman, S.H., M.H., dan Donny Oktavian Syah, S.E., M.E-Bus, Ph.D yang turut berbagi inspirasi mengenai dunia perkuliahan, peluang beasiswa, dan pentingnya membangun growth mindset di kalangan pelajar. Melalui sesi motivasi, diskusi reflektif, dan berbagi pengalaman, para dosen mengajak peserta untuk melihat pendidikan tinggi sebagai sarana pengembangan diri sekaligus kontribusi sosial. Sejumlah siswa mengakui bahwa kondisi ekonomi keluarga sering kali menjadi alasan utama untuk tidak melanjutkan studi, dan sebagian berencana langsung bekerja setelah lulus. Namun, kegiatan ini berusaha menumbuhkan kesadaran bahwa kuliah dapat menjadi investasi jangka panjang yang membuka pintu menuju peluang yang lebih luas. Hasil survei yang dilakukan di akhir sesi menunjukkan peningkatan signifikan pada motivasi siswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi, dengan rata-rata skor 8,4 dari skala 10. Angka tersebut menggambarkan adanya perubahan positif dalam cara pandang peserta setelah mengikuti kegiatan. Ismail Khozen menambahkan, semangat belajar merupakan fondasi penting bagi pembangunan bangsa. “Sudah saatnya kualitas pendidikan kita diukur dari semangat siswa untuk terus belajar dan berkontribusi, bukan hanya dari nilai akademik. Kami ingin membuka pandangan mereka bahwa kuliah bukan sesuatu yang jauh, melainkan peluang yang bisa diraih siapa pun,” katanya. Kepala SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto, Imam Suyanto, menyambut baik kegiatan tersebut. Ia menilai inisiatif FIA UI sangat relevan bagi sekolah swasta yang masih menghadapi tantangan dalam memotivasi siswa. “Kegiatan ini memberi dorongan nyata bagi anak-anak kami. Mereka mendapat wawasan baru tentang dunia kampus dan keyakinan bahwa kuliah adalah jalan untuk mengubah masa depan,” ujarnya. Melalui program ini, FIA UI berharap dapat memperluas dampak positif kegiatan pengabdian masyarakat di sektor pendidikan, terutama di sekolah-sekolah yang belum memiliki akses luas terhadap informasi perguruan tinggi. Kegiatan ini menjadi langkah nyata untuk menumbuhkan kepercayaan diri siswa agar berani bermimpi besar dan memperjuangkan masa depan lewat pendidikan.  

Read More »

FIA UI Dampingi UMKM Banyumas: Keuntungan Naik dengan Pencatatan Keuangan yang Lebih Baik

Purwokerto, Senin 13 Oktober 2025 – Minimnya literasi keuangan masih menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Banyak pelaku usaha menjalankan bisnis secara turun-temurun tanpa pencatatan keuangan yang rapi. Akibatnya, pelaku UMKM sulit mengetahui apakah usahanya benar-benar untung atau justru merugi. Padahal, pencatatan keuangan yang baik menjadi fondasi utama dalam menjaga keberlanjutan usaha sekaligus membuka akses terhadap pembiayaan formal. Berangkat dari keprihatinan tersebut, Tim Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) melaksanakan Program Pendampingan Pencatatan Laporan Keuangan dan Perhitungan Modal Kerja bagi Pelaku UMKM di Kabupaten Banyumas. Kegiatan ini berlangsung pada Senin, 13 Oktober 2025 bertempat di Aula Hastina Graha Dinnakerkop UKM Kabupaten Banyumas, diikuti oleh 54 pelaku UMKM dari berbagai sektor usaha. Kegiatan ini diketuai oleh Dr. Prianto Budi Saptono, M.B.A., dengan anggota delapan dosen dari FIA UI, antara lain Prof. Dr. Milla Sepliana Setyowati, S.Sos, M.Ak., Drs. Adang Hendrawan, M. Si., dan Wulandari Kartika Sari, S.Sos, M.A., Dr. Mohammad Wangsit Supriyadi, M.A.В., Dr. Adiwarman, S.H., M.H., Donny Oktavian Syah, S.E., M.E-Bus, Ph.D, dan Dr. Arfah Habib Saragih, S.E., M.S.Ak., CA., Asean CPA. Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Dinnakerkop UKM Kabupaten Banyumas, Drs. Wahyu Dewanto, M.Si, yang dalam sambutannya menekankan pentingnya kolaborasi antara dunia akademik dan dunia usaha untuk memperkuat kapasitas kewirausahaan lokal. “Kami menyambut baik kegiatan ini karena para pelaku UMKM Banyumas memerlukan pendampingan langsung dalam hal pencatatan keuangan dan pengelolaan modal kerja. Pendekatan praktis dari para dosen UI ini tentu sangat bermanfaat,” ujar Wahyu Dewanto. Selama kegiatan, peserta diajak memahami prinsip dasar akuntansi usaha kecil, membuat laporan laba rugi sederhana, serta menghitung kebutuhan modal kerja sesuai dengan karakteristik usaha masing-masing. Tim dosen FIA UI juga memberikan contoh aplikasi yang mudah dipahami oleh pelaku usaha. Sebagai tindak lanjut, para peserta diminta mengisi survei evaluasi. Dari hasil survei, seluruh peserta (54 orang) memberikan respons yang sangat positif. Pada pertanyaan terbuka mengenai perkiraan peningkatan keuntungan atau efisiensi usaha setelah mengikuti pelatihan, para pelaku UMKM memberikan jawaban yang beragam. Sebagian memperkirakan peningkatan keuntungan antara 10% hingga 70%, sementara yang lain menyebut angka konkret seperti tambahan laba Rp500 ribu hingga Rp10 juta per bulan. Tak hanya manfaat finansial, hasil survei juga menunjukkan adanya manfaat non-finansial yang signifikan. Sebanyak 25 peserta mengakui bahwa mereka merasa lebih disiplin dalam mencatat transaksi, 33 peserta merasa lebih memahami kondisi keuangan usaha, dan 21 peserta menyatakan menjadi lebih percaya diri dalam mengelola keuangan bisnis mereka. Dr. Prianto yang juga saat ini masih menjabat sebagai ketua IFTAA menjelaskan, kegiatan ini selain sebatas pelatihan teknis juga merupakan bentuk edukasi berkelanjutan untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya literasi keuangan di kalangan pelaku usaha kecil. “Kami ingin UMKM di Banyumas bisa terus tumbuh secara berkelanjutan. Dengan pencatatan keuangan yang baik, mereka bisa membuat keputusan bisnis yang lebih tepat dan punya peluang lebih besar untuk berkembang,” tuturnya. Program ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat dosen FIA UI di Purwokerto dan sekitarnya yang berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat dan dunia usaha lokal. Melalui kegiatan ini, tim pengabdi FIA UI berharap dapat membantu UMKM menjadi lebih tangguh dan adaptif terhadap tantangan ekonomi modern. Kegiatan tersebut diharapkan bisa memperkuat sinergi antara universitas dan pemerintah daerah dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Read More »

FIA UI Tanamkan Kesadaran Pajak Sejak Sekolah untuk Bentuk Generasi Bijak Pajak

Purwokerto, 14 Oktober 2025 — Kesadaran pajak merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga kemandirian ekonomi dan keberlanjutan pembangunan nasional. Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya peran vital pajak dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari keprihatinan tersebut, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Mengenal Pajak Sejak Usia Sekolah untuk Mewujudkan Generasi Bijak Pajak” di SMAN 1 Purwokerto, Jawa Tengah, pada Selasa, 14 Oktober 2025. Program ini menjadi bagian dari upaya FIA UI untuk menanamkan kesadaran pajak sejak usia sekolah. Kegiatan tersebut menyasar lebih dari 390 siswa kelas XI dari 11 kelas, dengan pendekatan pembelajaran yang interaktif, aplikatif, dan menyenangkan. Diharapkan, para peserta dapat memahami pajak bukan hanya sebagai kewajiban negara, melainkan juga sebagai bentuk partisipasi aktif dalam membangun kesejahteraan bersama. Kegiatan pengabdian ini dipimpin oleh Dr. Arfah Habib Saragih, S.E., M.S.Ak., CA., Asean CPA., dosen senior FIA UI yang juga menjadi Ketua Tim Pengabdian Masyarakat, bersama delapan dosen lainnya, antara lain Prof. Dr. Milla Sepliana Setyowati, S.Sos, M.Ak., Dr. Prianto Budi Saptono, M.B.A., Drs. Adang Hendrawan, M. Si., dan Wulandari Kartika Sari, S.Sos, M.A., Dr. Mohammad Wangsit Supriyadi, M.A.В., Dr. Adiwarman, S.H., M.H., Donny Oktavian Syah, S.E., M.E-Bus, Ph.D, dan Ismail Khozen, S.I.A., M.A., CSRS., CSRA, CertDA.. Selama kegiatan berlangsung, para dosen mengajak siswa berdiskusi mengenai bagaimana pajak berperan dalam kehidupan publik, mulai dari penyediaan jalan raya, fasilitas kesehatan, pendidikan, hingga subsidi sosial. Melalui metode partisipatif, para peserta diajak untuk melihat keterkaitan antara pajak yang mereka bayar di masa depan dengan manfaat yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. “Pajak sering kali dianggap sebagai beban, padahal sejatinya merupakan wujud gotong royong nasional,” ujar Dr. Arfah Habib Saragih di sela kegiatan. “Dengan mengenalkan pajak sejak dini, kami berharap generasi muda dapat tumbuh menjadi warga negara yang memahami dan menghargai kontribusinya terhadap negara.” Kegiatan ini juga menekankan pentingnya literasi pajak (tax literacy) sebagai bekal pembentukan sikap kepatuhan pajak di masa depan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian internasional oleh Nora Cechovsky (2018) dalam studi berjudul “The Importance of Tax Knowledge for Tax Compliance”. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang pajak, semakin besar pula kecenderungannya untuk patuh membayar pajak secara sukarela. Untuk mengukur efektivitas kegiatan, tim FIA UI melakukan survei kepada para peserta. Dari 176 siswa yang memberikan tanggapan, tingkat pengetahuan pajak rata-rata mencapai skor 6,15 dari skala 10. Angka ini menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah memiliki potensi besar dalam memahami konsep perpajakan, asalkan disampaikan dengan pendekatan yang kontekstual dan menarik. Selain survei literasi, tim juga mengadakan pengukuran social return on investment (SROI) guna mengetahui persepsi peserta terhadap nilai sosial kegiatan tersebut. Rata-rata, para siswa menilai kegiatan ini bernilai setara Rp173.267,00 per orang jika dikonversi ke biaya pelatihan profesional. Nilai ini menunjukkan bahwa kegiatan edukatif tersebut dinilai bermanfaat dan berdampak positif oleh para peserta. Kegiatan pengabdian masyarakat FIA UI ini menjadi bukti nyata sinergi antara dunia akademik dan kebutuhan masyarakat. Dengan melibatkan siswa sekolah menengah, FIA UI berupaya menciptakan lingkungan belajar yang relevan dengan kehidupan nyata, sekaligus menanamkan nilai-nilai kewarganegaraan. Pendekatan ini dianggap efektif dalam membangun pemahaman bahwa pajak bukan semata angka di atas kertas, tetapi representasi nyata dari kontribusi sosial setiap individu terhadap negara. Lebih dari sekadar kegiatan edukatif, inisiatif ini juga diharapkan dapat menjadi model pembelajaran lintas daerah. FIA UI berkomitmen untuk memperluas jangkauan program serupa ke berbagai sekolah di Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan tingkat kesadaran pajak yang masih rendah. “Kami ingin menanamkan nilai tanggung jawab dan kepedulian sosial sejak masa sekolah. Karena masa depan kepatuhan pajak Indonesia bergantung pada generasi muda hari ini,” tambah Dr. Arfah. Melalui kegiatan ini, FIA UI menegaskan perannya sebagai institusi pendidikan tinggi yang tidak hanya fokus pada pengajaran dan penelitian, tetapi juga berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat. Pembentukan generasi bijak pajak sejak dini diharapkan menjadi langkah awal menuju masyarakat yang lebih sadar, peduli, dan bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa. Dengan penanaman nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, serta gotong royong, diharapkan siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang cerdas secara akademik sekaligus berintegritas dalam peran mereka sebagai warga negara. Kegiatan “FIA UI Mengabdi” ini menjadi refleksi bahwa membangun kesadaran pajak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, termasuk dunia pendidikan. Karena dari sekolahlah, fondasi karakter dan kesadaran sosial mulai terbentuk dan dari generasi mudalah masa depan kepatuhan pajak Indonesia akan ditentukan.  

Read More »

Penurunan Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) Dorong Konsumsi dan Stabilitas Ekonomi Jakarta

Jakarta — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menurunkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) melalui kebijakan fiskal yang diumumkan oleh Gubernur Pramono Anung. Kebijakan ini menurunkan tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi menjadi 5 persen dan kendaraan umum sebesar 2 persen. Menurut Ketua IFTAA, Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., MBA, kebijakan tersebut diambil sebagai respons atas meningkatnya beban ekonomi masyarakat pasca fluktuasi harga bahan bakar, sekaligus upaya mendorong daya beli dan konsumsi rumah tangga di Ibu Kota. “Pengurangan tarif PBBKB melalui insentif fiskal oleh Gubernur Jakarta diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Dengan demikian, dana yang tidak digunakan untuk membayar PBBKB bisa dialokasikan ke konsumsi lainnya,” ujarnya. Aturan tersebut merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 24, tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi ditetapkan sebesar 10 persen, sementara kendaraan umum sebesar 5 persen. Namun, Gubernur diberikan kewenangan memberikan insentif fiskal berdasarkan Pasal 96 dalam bentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah, termasuk PBBKB. Dasar pemberian insentif ini mempertimbangkan tiga hal utama, yaitu kemampuan membayar wajib pajak, dukungan terhadap program pemerintah provinsi, serta dukungan terhadap program prioritas nasional pemerintah pusat. “Kondisi di atas diharapkan dapat menggerakkan roda ekonomi di Jakarta. Pada gilirannya, perekonomian di Jakarta dapat tetap terjaga dan terhindar dari keterpurukan yang lebih parah,” ungkap Prianto yang merupakan dosen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia. Meski demikian, sejumlah pihak menyoroti potensi risiko fiskal jangka panjang akibat penurunan pendapatan daerah dari sektor PBBKB. Namun demikian, pihak Pemprov Jakarta memastikan kebijakan ini telah melalui kajian matang.  “Sesuai dengan Pasal 96 Perda 1/2024, Gubernur harus mempertimbangkan faktor-faktor yang terdampak. Karena itu, Gubernur Jakarta pasti sudah mempertimbangkan risiko fiskal jangka panjang agar pendapatan daerah tidak turun” jelas Prianto yang merupakan pakar perpajakan lebih dari 20 tahun. Dalam konteks ini, disebutkan bahwa terdapat tradeoff dalam kebijakan fiskal tersebut. Penurunan penerimaan dari PBBKB diharapkan dapat dikompensasi dengan meningkatnya penerimaan pajak dari sektor lain. “Dengan demikian, secara agregat, tetap ada peningkatan penerimaan pajak daerah di Jakarta,” pungkasnya. Kebijakan penurunan tarif PBBKB yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencerminkan komitmen untuk meringankan beban masyarakat sekaligus menjaga ketahanan ekonomi daerah. Dengan landasan hukum yang jelas dan pertimbangan yang menyeluruh, insentif fiskal ini diharapkan mampu mendorong konsumsi masyarakat tanpa mengorbankan keberlanjutan pendapatan daerah. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah responsif terhadap kondisi ekonomi warga, sembari tetap menjaga keseimbangan fiskal Jakarta secara menyeluruh.

Read More »

Memahami Underground Economy dan Dampaknya: Dari Judi Online Hingga Pedagang Kaki Lima

Jakarta, 18 November 2024 – Kompleksitas underground economy (UGE) di Indonesia semakin menjadi perhatian serius pemerintah, terutama setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti aktivitas ini sebagai bentuk penghindaran pajak. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa fenomena UGE memerlukan pemahaman komprehensif, mulai dari definisi hingga penanganannya. “Untuk membahas underground economy, kita perlu menyepakati terlebih dahulu cakupan dan pengertiannya. Para ahli mendefinisikannya secara beragam, namun pada intinya underground economy adalah kegiatan ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam perhitungan Produk Domestik Bruto atau PDB,” jelas Prianto. Memahami Komponen PDB dan Underground Economy Prianto menjelaskan bahwa untuk memahami UGE, perlu terlebih dahulu mengerti komponen PDB. “PDB memiliki komponen yang meliputi konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Ini dapat dirumuskan dalam persamaan: Y = C + I + G + X – M,” paparnya. Mengambil contoh ekspor, Prianto mengilustrasikan: “Dalam kegiatan ekspor, kita bisa melihat dua jenis: ekspor legal yang meningkatkan PDB, dan ekspor ilegal yang tidak menambah PDB. Ini salah satu contoh sederhana membedakan aktivitas resmi dan underground economy.” Empat Kategori Underground Economy Berdasarkan kajian para ahli, underground economy dapat dibagi menjadi empat kategori utama: 1. Illegal Economy Perdagangan narkoba Aktivitas prostitusi Perjudian online Penyelundupan barang Berbagai bentuk penipuan 2. Unreported Economy Transaksi ekonomi yang sengaja tidak dilaporkan Bertujuan menghindari kewajiban perpajakan Melanggar aturan pelaporan pajak 3. Unrecorded Economy Aktivitas ekonomi yang tidak tercatat Menghindari persyaratan pelaporan statistik pemerintah Tidak masuk dalam data resmi 4. Informal Economy Pedagang asongan dan kaki lima Warung dan toko kelontong Pekerja rumah tangga Tukang ojek dan penarik becak Pengemudi bajaj Pemulung Tantangan Penghitungan Potensi Pajak Dalam hal potensi penerimaan pajak dari UGE, Prianto menegaskan bahwa penghitungannya sangat kompleks. “Untuk illegal economy, otoritas pajak biasanya tidak sampai mengenakan pajak karena sudah ditangani aparat penegak hukum yang akan menyita barang bukti termasuk hasil transaksinya,” jelasnya. Untuk kategori UGE lainnya, penghitungan potensi pajak menggunakan pendekatan moneter. “Logika dasarnya adalah pelaku UGE umumnya menggunakan transaksi tunai. Kita perlu mengestimasi jumlah uang kartal di masyarakat dan menganalisis berapa bagian yang digunakan dalam official economy,” tambahnya. Solusi Teknologi dan Kebijakan Pemerintah telah mengambil langkah strategis dengan menerapkan Core Tax Administration System (CTAS). “CTAS merupakan terobosan yang tepat karena menggunakan enam jenis Artificial Intelligence berbeda untuk mendeteksi transaksi. Sistem ini sangat powerful untuk mengidentifikasi transaksi UGE, kecuali illegal economy,” ungkap Prianto. Bank Indonesia juga berperan aktif dengan mendorong gerakan transaksi nontunai, terutama di sektor informal. Prianto menambahkan, “Kombinasi CTAS dan dorongan transaksi nontunai akan sangat efektif dalam mengawasi dan mengelola aktivitas ekonomi informal.” Pembagian Wewenang Penanganan Dalam penanganan UGE, terdapat pembagian wewenang yang jelas: • Illegal economy ditangani oleh aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, dan KPK) • Transaksi ekonomi lainnya menjadi domain otoritas pajak • Pelaku UGE memiliki hak untuk upaya hukum hingga Mahkamah Agung • Bank Indonesia fokus pada kebijakan transaksi nontunai “Yang perlu digarisbawahi, penanganan illegal economy mengutamakan hukum pidana dibanding hukum administrasi pajak sesuai asas premium remedium. Sementara untuk jenis UGE lainnya, pemerintah terus melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak,” tutup Prianto. Fenomena underground economy terus menjadi perhatian serius pemerintah mengingat potensi kerugian negara yang signifikan. Kombinasi pendekatan teknologi, regulasi, dan penegakan hukum diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang selama ini berada di bawah radar.

Read More »

Kenaikan PPN 2025 Sudah Sesuai Regulasi, Pemerintah Perlu Siapkan Insentif

Jakarta, 18 November 2024 – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menuai berbagai tanggapan. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai kebijakan kenaikan tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang ada dan memiliki tujuan strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional. “Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sudah sesuai regulasi yaitu diatur dalam Pasal 7 UU PPN hasil revisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ini artinya sudah ada kesepakatan antara rakyat, melalui wakilnya di DPR, dengan pemerintah,” jelas Prianto. Menurut Prianto, kebijakan ini memiliki tujuan utama untuk meningkatkan rasio pajak. “Jika rasio pajak bisa mencapai 15%, akan ada keleluasaan bagi pemerintah untuk mendistribusikan pajak tersebut kembali ke masyarakat,” ujarnya. Menanggapi kekhawatiran terkait dampak kenaikan PPN di tengah kondisi ekonomi yang menantang, Prianto menyarankan pemerintah untuk tetap menjalankan amanat UU PPN tersebut sambil menyiapkan berbagai program insentif untuk masyarakat. “Pemerintah dapat mengambil dua pendekatan kebijakan belanja. Pertama, kebijakan langsung seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat terdampak. Kedua, kebijakan tidak langsung melalui program Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor industri tertentu seperti properti atau tekstil,” jelasnya. Terkait prospek ekonomi tahun 2025, Prianto tetap optimis namun realistis. “Kondisi warga Indonesia di 2025 akan lebih baik dari sekarang. Namun, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat, khususnya yang terdampak kondisi perekonomian, juga harus proaktif untuk keluar dari kondisi sulit,” tegasnya. Sekilas Tentang Kenaikan PPN • Kenaikan PPN dari 11% ke 12% akan berlaku mulai tahun 2025 • Kebijakan ini merupakan bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan • Target rasio pajak nasional adalah 15% • Pemerintah berencana menyiapkan program kompensasi untuk masyarakat terdampak Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan rencana kenaikan PPN ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat basis perpajakan nasional sekaligus memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Read More »

Wacana Pembentukan BPN: Seberapa Mendesak?

Jakarta, 22 Oktober 2024 – Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang sempat mencuat pada era kepemimpinan Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan kembali menjadi sorotan. Namun, prospek implementasinya kembali dipertanyakan seiring dengan berlanjutnya kepemimpinan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan. Status Terkini Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa wacana pembentukan BPN kemungkinan besar akan tetap menjadi wacana. “Berdasarkan pernyataan terbaru Menteri Keuangan Sri Mulyani setelah pertemuannya dengan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kemenkeu masih akan tetap satu kesatuan,” ujarnya. Prianto menjelaskan bahwa keputusan ini didasari pertimbangan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal, khususnya dari sisi penerimaan APBN. Landasan Hukum “Secara regulasi, otoritas kebijakan fiskal berada di tangan Menteri Keuangan yang mendapat kuasa dari presiden sesuai Pasal 6 UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,” jelasnya. Ditambah lagi, organisasi Kemenkeu saat ini mengacu pada Perpres No. 57/2020 tentang Kementerian Keuangan. “Selama dua aturan ini tidak diubah oleh pemerintahan baru, DJP dan DJBC akan tetap berada di bawah Kemenkeu,” tambahnya. Urgensi Pembentukan BPN Meski demikian, Prianto menekankan bahwa konsep BPN yang mengacu pada Semi-Autonomous Revenue Agency (SARA) memiliki beberapa urgensi mendasar: 1. Peningkatan Rasio Pajak “Urgensi paling mendasar adalah peningkatan tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB. Rasio ini menggambarkan kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya. 2. Fleksibilitas Anggaran Peningkatan rasio pajak akan memberikan pemerintah keleluasaan lebih besar dalam mengalokasikan belanja negara dan transfer ke daerah, mengurangi ketergantungan pada pinjaman untuk menutup defisit anggaran. 3. Otonomi Kelembagaan BPN berpotensi memberikan otonomi lebih besar dalam: • Pengelolaan sumber daya manusia • Perumusan kebijakan penerimaan • Koordinasi lintas kementerian dan lembaga Praktik Global Prianto mencontohkan beberapa negara yang telah menerapkan konsep serupa: • Singapura dengan IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore) • Amerika Serikat dengan IRS (Internal Revenue Service) • Australia dengan ATO (Australian Tax Office) • Malaysia dengan LHDN (Lembaga Hasil Dalam Negeri) “Model-model ini menunjukkan bahwa konsep SARA telah terbukti dapat diimplementasikan dengan berbagai tingkat otonomi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara,” tutupnya.

Read More »

Analisis Kompleksitas Pajak dan Penghindaran Pajak oleh Perusahaan

Artikel ini menganalisis dan meninjau penelitian yang berjudul “Tax Complexity and Firm Tax Evasion: A Cross-Country Investigation“ oleh Prianto Budi Saptono et al (2024). Studi tersebut mengeksplorasi dampak kompleksitas sistem perpajakan terhadap kecenderungan perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak di berbagai negara, dengan memanfaatkan data dari lebih dari 46.000 perusahaan yang tersebar di 83 negara, melalui sumber survei World Bank Enterprise Survey (WBES) dan World Bank’s Doing Business (WBDB). Penghindaran Pajak Fenomena penghindaran pajak telah menjadi isu yang bersifat global, yang secara signifikan menurunkan kapasitas pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara dan mengalokasikan sumber daya secara efisien. Semakin kompleks sistem perpajakan, semakin besar pula peluang bagi perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah regulasi guna mengurangi beban pajak yang harus ditanggung. Studi ini secara empiris menyoroti hubungan antara tingkat kerumitan sistem pajak dengan intensitas dan insiden penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan. Kompleksitas Pajak dan Kaitannya dengan Tax Compliance Kompleksitas pajak (tax complexity) didefinisikan dalam penelitian ini melalui dua indikator utama, yaitu jumlah waktu yang diperlukan untuk mematuhi kewajiban perpajakan (tax time) dan frekuensi pembayaran pajak (tax payment). Temuan penelitian mengindikasikan bahwa peningkatan waktu yang diperlukan serta banyaknya frekuensi pembayaran berkorelasi positif dengan tingginya tingkat penghindaran pajak oleh perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan cenderung untuk menghindari kewajiban pajak ketika biaya kepatuhan meningkat, terutama di negara-negara dengan sistem perpajakan yang sangat rumit. Selain itu, hasil heterogenitas dari analisis menunjukkan bahwa pengaruh kompleksitas pajak terhadap penghindaran pajak lebih dominan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, serta pada sektor industri primer. Implikasi Temuan terhadap Kebijakan Perpajakan Temuan pada penelitian ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pembuat kebijakan, terutama di negara-negara berkembang. Studi ini menyarankan bahwa penyederhanaan sistem perpajakan dapat menjadi langkah strategis yang efektif untuk mengurangi insentif bagi perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak. Selain itu, penyeragaman dan penyelarasan sistem perpajakan di tingkat regional atau internasional juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi disparitas regulasi yang sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka. Penelitian ini juga menekankan pentingnya adopsi teknologi digital dalam proses administrasi perpajakan sebagai upaya untuk menyederhanakan prosedur dan meningkatkan transparansi, sehingga mampu menurunkan tingkat penghindaran pajak melalui pengurangan biaya kepatuhan. Tax Complexity dan Penghindaran Pajak Kompleksitas sistem perpajakan terbukti memiliki dampak signifikan terhadap kecenderungan penghindaran pajak oleh perusahaan. Reformasi kebijakan yang mengarah pada penyederhanaan dan harmonisasi peraturan perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan fiskal dan mengurangi kesenjangan yang terjadi akibat praktik penghindaran pajak. Oleh karena itu, studi ini memberikan landasan empiris bagi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan reformasi struktural dalam sistem perpajakan guna menciptakan ekosistem bisnis yang lebih transparan dan berkeadilan. Artikel ini dirangkum dari hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Economies (2024) oleh Saptono et al., yang dapat diakses melalui: https://doi.org/10.3390/economies12050097

Read More »

Potensi Pajak Kripto Menanti Kejelasan Regulasi Pengawasan

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Optimalisasi penerimaan pajak dari perdagangan aset kripto masih menunggu kepastian pengalihan pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ditargetkan rampung pada awal 2025. Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa potensi penerimaan pajak kripto akan sangat bergantung pada jenis dan tarif pajak yang akan ditetapkan setelah peralihan pengawasan tersebut. “Saat peralihan pengawasan ke OJK terjadi, akan muncul persoalan legalitas dan hierarki hukum yang perlu diperhatikan. Pasalnya, berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pengenaan pajak di Indonesia harus didasarkan pada undang-undang,” jelasnya. Skema Perpajakan Saat Ini Saat ini, perpajakan aset kripto mengacu pada UU PPh dan UU PPN dengan peraturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 (PMK 68/2022). Regulasi ini mengatur pengenaan PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai (PPN): 1. 1% dari nilai transaksi aset kripto yang diserahkan oleh penjual 2. 11% dari nilai jasa penyediaan sarana elektronik untuk transaksi perdagangan aset kripto 3. 1,1% atas nilai jasa verifikasi transaksi dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto Pajak Penghasilan (PPh): 1. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari nilai transaksi penjualan aset kripto 2. Tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh untuk penghasilan dari penyediaan sarana elektronik 3. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari penghasilan penambangan aset kripto Tantangan Regulasi Prianto menekankan adanya potensi kendala regulasi dalam peralihan pengawasan ke OJK. “UU perpajakan yang berlaku saat ini memberikan amanat pengaturan teknisnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, bukan Peraturan OJK,” ujarnya. Optimalisasi Penerimaan Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor kripto, Prianto menyarankan agar otoritas yang nantinya berwenang dapat memastikan terciptanya ekosistem perdagangan aset kripto yang semarak, serupa dengan transaksi aset keuangan lainnya seperti saham atau surat utang. Langkah ini menjadi krusial mengingat potensi pertumbuhan pasar aset kripto di Indonesia yang terus berkembang. Kejelasan regulasi dan pengawasan yang efektif diharapkan dapat mendorong peningkatan volume transaksi sekaligus optimalisasi penerimaan pajak dari sektor ini.

Read More »

Menurunkan PPh Badan: Langkah Strategis Mendorong Investasi dan Kepatuhan Pajak

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Rencana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22% menjadi 20% yang dicanangkan oleh pemerintahan mendatang dinilai sebagai langkah strategis untuk meningkatkan investasi dan kepatuhan pajak. Kebijakan ini sejalan dengan tren global pengurangan tarif pajak korporasi dan tidak akan berbenturan dengan implementasi kebijakan pajak internasional. Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono yang juga merupakan pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menjelaskan bahwa penurunan tarif PPh Badan ini sebenarnya telah direncanakan sejak Perppu 1/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 2/2020. “Rencana implementasi tarif 20% sempat akan diberlakukan pada tahun 2020, namun kemudian dibatalkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), sehingga tarif tetap bertahan di 22% hingga saat ini,” jelasnya. Menurut Prianto, logika di balik penurunan tarif ini adalah untuk mengurangi beban pajak wajib pajak badan. “Dengan tarif yang lebih rendah, diharapkan akan semakin banyak wajib pajak badan yang membayar pajak dengan tarif 20%. Pada akhirnya, hal ini justru berpotensi meningkatkan penerimaan pajak secara agregat,” ujarnya. Harmonisasi dengan Kebijakan Pajak Global Terkait dengan implementasi kebijakan Two Pillar Solution yang diinisiasi oleh G20 dan OECD, Prianto menegaskan bahwa penurunan tarif PPh Badan tidak akan menimbulkan masalah. “Pilar 2 tentang Global Minimum Tax (GMT) menetapkan tarif minimum 15%. Dengan demikian, tarif 20% masih berada di atas batas minimum tersebut,” jelasnya. Prospek Penerimaan Pajak Meski tarif diturunkan, pemerintah tetap optimis dapat mempertahankan tren positif penerimaan pajak. Dengan asumsi beban PPh badan per wajib pajak menurun namun jumlah wajib pajak meningkat, total penerimaan PPh badan secara agregat diproyeksikan tetap akan mengalami pertumbuhan. Data Kementerian Keuangan menunjukkan tren positif penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir, dengan realisasi penerimaan mencapai Rp 1.869,23 triliun pada tahun 2023 dan outlook 2024 sebesar Rp 1.921,90 triliun. Kebijakan penurunan tarif PPh Badan ini diharapkan dapat menjadi katalis untuk meningkatkan daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi, sekaligus mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik di kalangan pelaku usaha.

Read More »