Category: Artikel Pajak

Modernisasi Administrasi Pajak melalui Core Tax System

Pemerintah Indonesia melakukan upaya strategis dalam memperkuat sistem perpajakan sebagai salah satu pilar utama pembangunan nasional. Pada akhir Juli 2024, Presiden Joko Widodo memimpin rapat internal yang membahas perkembangan Core Tax System, atau yang dikenal sebagai Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP). Sistem ini dirancang untuk membangun layanan perpajakan di Indonesia agar setara dengan negara-negara maju, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi perpajakan.

Pentingnya pengembangan Core Tax System ini menjadi semakin jelas mengingat jumlah wajib pajak dan dokumen yang harus diproses oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkat secara signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah wajib pajak melonjak dari 33 juta menjadi 70 juta, sementara jumlah dokumen e-faktur yang diproses meningkat drastis dari 350 juta menjadi 776 juta. Peningkatan ini menuntut DJP agar mengadopsi teknologi yang lebih canggih dan sistem yang lebih andal agar dapat mengelola beban kerja yang semakin besar.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menegaskan bahwa pembangunan IT system dan database di perpajakan merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, pemerintah sejak tahun 2018 telah membangun system yang canggih dengan mengadopsi sistem Commercial off The Shelf (COTS) yang telah terbukti efektif digunakan di banyak negara dalam modernisasi perpajakan.

Melalui COTS, Core Tax System diharapkan dapat meningkatkan otomatisasi dan digitalisasi di seluruh aspek layanan administrasi perpajakan. Wajib pajak akan lebih dimudahkan dalam mengakses layanan mandiri, termasuk pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang akan semakin otomatis dan transparan. Dengan demikian, wajib pajak dapat memperoleh gambaran menyeluruh tentang kewajiban perpajakan mereka secara real-time, sehingga proses administrasi menjadi lebih cepat dan akurat.

Selain itu, Core Tax System juga bertujuan untuk memperkuat kredibilitas data dan integrasi jaringan di DJP, yang akan memungkinkan pengambilan keputusan berbasis data yang lebih efektif. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan penerimaan pajak negara. Target penerimaan pajak pada tahun 2024, yang ditetapkan sebesar Rp2.309,9 triliun, menunjukkan betapa pentingnya reformasi perpajakan ini dalam mencapai tujuan fiskal negara.

Reformasi Perpajakan Jilid III, yang dimulai sejak tahun 2016, menjadi fondasi bagi modernisasi sistem perpajakan ini. Reformasi ini berfokus pada lima pilar utama: penguatan organisasi, peningkatan kualitas SDM, perbaikan proses bisnis, pembaruan sistem informasi dan basis data, serta penyempurnaan regulasi. Hasil dari reformasi ini dapat dilihat dalam berbagai kebijakan dan regulasi baru, seperti implementasi UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk menyempurnakan regulasi perpajakan di Indonesia.

Di sisi lain, DJP juga telah melakukan berbagai inovasi dalam penggunaan teknologi informasi untuk mempermudah interaksi dengan wajib pajak. Melalui pendekatan 3C (Click, Call, Counter), DJP berupaya menyediakan pelayanan yang lebih cepat dan efisien, baik melalui platform digital, panggilan telepon, maupun pelayanan langsung. Inovasi ini termasuk pengembangan chatbot seperti Fiska dan Fisko, serta WA-bot khusus untuk UMKM, yang memudahkan wajib pajak dalam mendapatkan informasi dan pelayanan perpajakan.

Pada pertengahan tahun 2024, Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Core Tax Administration System (CTAS) diimplementasikan. Sistem ini akan mengembangkan sistem informasi DJP menjadi sistem yang terintegrasi, mencakup seluruh proses bisnis perpajakan dengan basis data yang luas dan akurat. Implementasi CTAS ini tidak hanya akan berdampak pada sisi teknologi, tetapi juga mendorong reformasi di berbagai aspek administrasi perpajakan.

Kesuksesan implementasi CTAS sangat membutuhkan dukungan besar dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, lembaga internasional, asosiasi pengusaha, bahkan asosiasi konsultan pajak. Dengan sistem perpajakan yang lebih modern dan efisien, Indonesia diharapkan dapat meningkatkan tax ratio dan mengoptimalkan penerimaan pajak untuk mendukung pembangunan nasional menuju negara berpenghasilan tinggi.

Aturan Baru AEoI: PMK 47/2024, Senjata Ampuh DJP Atasi GAAR

Dalam rangka mengurangi atau memitigasi praktik penghindaran pajak yang hanya menguntungkan wajib pajak tertentu, di Forum Organtization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah disepakati sebuah program oleh beberapa negara, termasuk Indonesia, yang lazim disebut dengan istilah Automatic Exchange of Information (AEoI).

Merujuk pada IBFD International Tax Glossary Automatic Exchange of Information (AEoI) adalah pertukaran informasi yang melibatkan transmisi sistematis dan periodik atas informasi wajib pajak yang dilakukan secara ‘massal’ oleh negara asal ke negara tempat wajib pajak terdaftar sebagai residen pajak. Adapun di dalam sistem perpajakan Indonesia, salah satu peran AEoI dapat mendorong pungutan pajak penghasilan di Indonesia.

Pada 6 Agustus 2024, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 tahun 2024 (PMK 47/2024) yang mengatur akses informasi keuangan perpajakan. Melalui aturan tersebut, Menteri Keuangan merinci ketentuan antipenghindaran bagi pihak-pihak tertentu untuk melaksanakan kewajiban pertukaran informasi keuangan demi kepentingan perpajakan secara otomatis. Dengan kata lain, pemerintah memperketat aturan mengenai AEoI, terutama bagi pihak-pihak yang bekerjasama dengan wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak.

Penerbitan PMK 47/2024 merupakan perubahan ketiga dari PMK Nomor 70 tahun 2017 (PMK 70/2017). Sebagaimana diketahui, PMK 70/2017 s.t.d.t.d. PMK Nomor 19 tahun 2018 (PMK 19/2018) belum mengatur mengenai ketentuan antipelanggaran sesuai dengan common reporting standard (CRS). Lebih lanjut, beleid PMK 47/2024 tersebut mengatur petunjuk teknis (juknis) mengenai akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan.

Sesuai dengan konsiderans (ratio legis) dari PMK 47/2024, pemerintah dalam hal ini ingin memasukkan General Anti-avoidance Rules (GAAR). Aturan mengenai GAAR tersebut dimasukkan ke dalam penjelasan Pasal 18 UU PPh setelah ada revisi dari Undang-Undang Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Sebagai konsekuensi dari penambahan pasal mengenai GAAR, petugas pajak dapat melakukan subjective assessment (penilaian subjektif) atas suatu kesepakatan yg dilandasi oleh asas kesucian kontrak di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Bagi wajib pajak yang masih mencoba bersembunyi di balik kesepakatan perdata yang rumit, PMK 47/2024 memberikan “pesan” yang jelas, yaitu penghindaran pajak tidak akan ditoleransi. Dengan penambahan GAAR, otoritas pajak pun kini memiliki alat yang kuat untuk mendeteksi bahkan menghentikan praktik-praktik yang merugikan negara.

Dari sisi hierarki hukum, terdapat indikasi pengaturan yang melebihi kewenangan dari sebuah PMK 47/2024. Sesuai Pasal 7 dan 8 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), aturan yg lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, meskipun PMK 47/2024 dapat membuat pengawasan yang lebih ketat, beleid ini berpotensi menimbulkan kontroversi hukum. Adanya potensi interpretasi subjektif oleh petugas pajak dalam menilai kesepakatan perdata menimbulkan kekhawatiran bahwa norma hukum tersebut dapat  melampaui batas kewenangan yang ditetapkan oleh undang-undang.

 

Selain itu, lampiran II UU P3 (nomor urut 211) di antaranya menyatakan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

Dengan kata lain, PMK 47/2024 yg merevisi PMK 70/2017 seharusnya hanya mengatur aspek teknis administratif dari Pasal 9 Perpu 1/2017 (UU No. 9/2017). Aspek teknis administratif tersebut mencakup akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Akan tetapi, PMK 47/2024 tersebut tampaknya membuat norma hukum baru berupa:

  1. Larangan membuat kesepakatan perdata yang dapat dianggap sebagai praktik penghindaran pajak menurut penilaian (yang dapat bersifat subjektif) dari sisi petugas pajak; dan
  2. Pemberian kewenangan kepada Direktorat Jendral Pajak (DJP) melalui petugasnya untuk menyatakan bahwa kesepakatan perdata tersebut dianggap tidak berlaku dan/atau tidak terjadi (tanpa proses dan putusan pengadilan).

Melalui PMK 47/2024, DJP dalam hal ini dapat menegur, meminta klarifikasi, hingga menuntut pidana pihak yang menghindari pertukaran informasi untuk keperluan pajak.

Namun demikian, setiap kebijakan berupa norma hukum positif akan selalu dapat dilihat dari dua sisi karena ada ambivalensi, yaitu sesuatu yang kontradiktif.

Dari sisi pembuat kebijakan, isi perubahan aturan di PMK 47/2024 tetap dapat dianggap sebagai bagian dari juknis dari Pasal 9 Perpu 1/2017 (UU No 9/2017). Oleh karena itu, PMK 47/2024 telah terbit dan berisi pengaturan yang dapat memicu kontroversi hukum.

Bagaimanapun juga, penentuan apakah PMK 47/2024 melanggar asas hukum berupa lex superior derogat legi inferior dan berisi pengaturan yg melebihi kewenangannya tidak berada di pendapat pengamat atau pelaku usaha. Pengujiannya harus dilakukan di Mahkamah Agung dengan rujukan aturannya di UU No. 9/2017 dan No. 12/2011.

PMK 47/2024 pada dasarnya secara tegas menggarisbawahi mengenai pentingnya transparansi dalam laporan keuangan sebagai upaya melawan antipenghindaran pajak. Beleid ini tidak hanya sebagai alat pemerintah untuk menegaskan terkait penghindaran pajak, tetapi juga memperkuat mekanisme pengawasan perpajakan. Selain itu, PMK 47/2024 menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mendukung transparansi keuangan internasional yang sejalan dengan negara-negara lain melalui AEoI.