Category: Artikel Populer

Penurunan Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) Dorong Konsumsi dan Stabilitas Ekonomi Jakarta

Jakarta — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menurunkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) melalui kebijakan fiskal yang diumumkan oleh Gubernur Pramono Anung. Kebijakan ini menurunkan tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi menjadi 5 persen dan kendaraan umum sebesar 2 persen. Menurut Ketua IFTAA, Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., MBA, kebijakan tersebut diambil sebagai respons atas meningkatnya beban ekonomi masyarakat pasca fluktuasi harga bahan bakar, sekaligus upaya mendorong daya beli dan konsumsi rumah tangga di Ibu Kota. “Pengurangan tarif PBBKB melalui insentif fiskal oleh Gubernur Jakarta diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat pengguna kendaraan bermotor. Dengan demikian, dana yang tidak digunakan untuk membayar PBBKB bisa dialokasikan ke konsumsi lainnya,” ujarnya. Aturan tersebut merujuk pada ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam Pasal 24, tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi ditetapkan sebesar 10 persen, sementara kendaraan umum sebesar 5 persen. Namun, Gubernur diberikan kewenangan memberikan insentif fiskal berdasarkan Pasal 96 dalam bentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah, termasuk PBBKB. Dasar pemberian insentif ini mempertimbangkan tiga hal utama, yaitu kemampuan membayar wajib pajak, dukungan terhadap program pemerintah provinsi, serta dukungan terhadap program prioritas nasional pemerintah pusat. “Kondisi di atas diharapkan dapat menggerakkan roda ekonomi di Jakarta. Pada gilirannya, perekonomian di Jakarta dapat tetap terjaga dan terhindar dari keterpurukan yang lebih parah,” ungkap Prianto yang merupakan dosen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia. Meski demikian, sejumlah pihak menyoroti potensi risiko fiskal jangka panjang akibat penurunan pendapatan daerah dari sektor PBBKB. Namun demikian, pihak Pemprov Jakarta memastikan kebijakan ini telah melalui kajian matang.  “Sesuai dengan Pasal 96 Perda 1/2024, Gubernur harus mempertimbangkan faktor-faktor yang terdampak. Karena itu, Gubernur Jakarta pasti sudah mempertimbangkan risiko fiskal jangka panjang agar pendapatan daerah tidak turun” jelas Prianto yang merupakan pakar perpajakan lebih dari 20 tahun. Dalam konteks ini, disebutkan bahwa terdapat tradeoff dalam kebijakan fiskal tersebut. Penurunan penerimaan dari PBBKB diharapkan dapat dikompensasi dengan meningkatnya penerimaan pajak dari sektor lain. “Dengan demikian, secara agregat, tetap ada peningkatan penerimaan pajak daerah di Jakarta,” pungkasnya. Kebijakan penurunan tarif PBBKB yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencerminkan komitmen untuk meringankan beban masyarakat sekaligus menjaga ketahanan ekonomi daerah. Dengan landasan hukum yang jelas dan pertimbangan yang menyeluruh, insentif fiskal ini diharapkan mampu mendorong konsumsi masyarakat tanpa mengorbankan keberlanjutan pendapatan daerah. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah responsif terhadap kondisi ekonomi warga, sembari tetap menjaga keseimbangan fiskal Jakarta secara menyeluruh.

Read More »

SPT Tahunan 2024 Tembus 13 Juta, DJP Beri Kebijakan Relaksasi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, hingga 11 April 2025, sebanyak 13 juta Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) telah diterima untuk tahun pajak 2024. Dari total tersebut, 12,63 juta berasal dari wajib pajak orang pribadi dan 380,53 ribu dari badan usaha. Angka ini menunjukkan pertumbuhan pelaporan sebesar 3,26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini menandakan tren kepatuhan yang terus membaik di tengah tantangan reformasi administrasi perpajakan yang semakin kompleks dan terus mengalami perubahan. Peningkatan jumlah pelaporan SPT tersebut tidak hanya mencerminkan aspek kepatuhan administratif, tetapi juga dapat mengindikasikan bahwa proses digitalisasi sistem perpajakan mulai memasuki fase konsolidasi. Dalam kerangka ekonomi fiskal, ini dapat dibaca sebagai hasil dari proses transisi menuju compliance-based taxation, yaitu kondisi kepatuhan didorong melalui penyederhanaan prosedur dan perluasan akses teknologi. Sebagian besar pelaporan dilakukan secara elektronik, yang mencerminkan peningkatan literasi digital dan efisiensi layanan perpajakan. Tercatat 10,98 juta SPT dilaporkan melalui e-filing, 1,49 juta menggunakan e-form, dan 630 melalui eSPT. Hanya sekitar 537,92 ribu SPT yang masih dilaporkan secara manual melalui kantor pelayanan pajak. Namun, momentum pelaporan tahun ini sedikit terganggu oleh libur nasional dan cuti bersama yang cukup panjang pada akhir Maret hingga awal April 2025, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri. Kondisi ini membuat jumlah hari kerja efektif di bulan Maret berkurang cukup drastis. Baca juga:  Optimalisasi Penerimaan Pajak di Tahun 2025 Kebijakan Responsif melalui Relaksasi Pajak Menanggapi situasi tersebut, DJP segera mengambil langkah kebijakan yang responsif, yaitu memberikan relaksasi administratif berupa penghapusan sanksi atas keterlambatan pelaporan SPT dan pembayaran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak orang pribadi. Kebijakan relaksasi ini berlaku untuk pelaporan yang dilakukan setelah batas waktu normal (31 Maret) hingga 11 April 2025, tanpa dikenakan Surat Tagihan Pajak (STP). Kebijakan ini bersifat taktis dan adaptif, menghindari penalti kepada wajib pajak yang terdampak libur panjang, tanpa mengorbankan asas keadilan dan kepastian hukum di tengah momentum perayaan hari keagamaan yang mayoritas masyarakat merayakannya. Di sisi wajib pajak, wajib pajak mendapatkan kesempatan dan terpacu untuk tetap meningkatkan kepatuhan pajak tanpa ragu akan terkena sanksi administratif. Kebijakan relaksasi ini bukan sekadar respons teknis terhadap kendala administratif, tetapi juga bagian dari strategi keberlanjutan fiskal. Kebijakan adaptif semacam ini dapat mencerminkan transformasi karakter otoritas pajak dari sekadar kolektor menjadi fasilitator kepatuhan. Ketika kebijakan fiskal mampu memahami konteks sosial dan kalender nasional, maka sistem perpajakan akan lebih dipercaya, sehingga ruang kepatuhan sukarela berpotensi menjadi lebih luas tanpa perlu menambah beban regulasi. Di sisi lain, peningkatan pelaporan SPT 2024 dibandingkan tahun sebelumnya (2023) mencerminkan keberhasilan modernisasi sistem administrasi perpajakan. Akan tetapi, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk terus menerapkan ekspansi basis pajak untuk memperbaiki tax ratio yang cenderung masih rendah. Peningkatan kepatuhan formal, seperti pelaporan SPT, perlu didorong lebih jauh ke arah kepatuhan material, yaitu memastikan pelaporan sesuai dengan potensi ekonomi riil wajib pajak. Maka dari itu, kebijakan relaksasi ini juga bisa dimaknai sebagai langkah diplomasi fiskal yang bertujuan untuk menjaga ritme kepatuhan sambil tetap mendorong penerimaan negara. Lebih jauh lagi, kebijakan semacam ini menunjukkan kemampuan fiskal negara untuk beradaptasi terhadap dinamika masyarakat tanpa kehilangan arah penerimaan. Singkatnya, langkah relaksasi DJP adalah manifestasi dari pajak sebagai instrumen pembangunan, bukan sekadar pungutan negara. Ketika kebijakan fiskal mampu berbicara dalam bahasa publik—yakni bahasa pemahaman dan partisipasi—maka di situlah pijakan fiskal menjadi semakin kokoh dan bermakna. Ke depan, tantangan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menjaga kesinambungan tren kepatuhan ini agar tidak berhenti pada dimensi administratif semata. Dalam kerangka reformasi perpajakan yang menjadi tantangan saat ini seperti implementasi Core Tax Administration System (CTAS) menjadi hal yang perlu dievaluasi oleh DJP untuk memperkuat kapasitas sistem dalam mengelola compliance risk management secara lebih presisi. Melihat target-target besar pemerintah, CTAS diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara kepatuhan formal dan kepatuhan material, sekaligus mendorong integrasi data perpajakan dengan potensi ekonomi wajib pajak secara lebih akurat. Dengan demikian, kebijakan fiskal nasional tidak sekadar responsif terhadap dinamika jangka pendek, tetapi juga harus berorientasi jangka panjang dalam membangun sistem perpajakan yang inklusif.

Read More »

Memahami Underground Economy dan Dampaknya: Dari Judi Online Hingga Pedagang Kaki Lima

Jakarta, 18 November 2024 – Kompleksitas underground economy (UGE) di Indonesia semakin menjadi perhatian serius pemerintah, terutama setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti aktivitas ini sebagai bentuk penghindaran pajak. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa fenomena UGE memerlukan pemahaman komprehensif, mulai dari definisi hingga penanganannya. “Untuk membahas underground economy, kita perlu menyepakati terlebih dahulu cakupan dan pengertiannya. Para ahli mendefinisikannya secara beragam, namun pada intinya underground economy adalah kegiatan ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam perhitungan Produk Domestik Bruto atau PDB,” jelas Prianto. Memahami Komponen PDB dan Underground Economy Prianto menjelaskan bahwa untuk memahami UGE, perlu terlebih dahulu mengerti komponen PDB. “PDB memiliki komponen yang meliputi konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Ini dapat dirumuskan dalam persamaan: Y = C + I + G + X – M,” paparnya. Mengambil contoh ekspor, Prianto mengilustrasikan: “Dalam kegiatan ekspor, kita bisa melihat dua jenis: ekspor legal yang meningkatkan PDB, dan ekspor ilegal yang tidak menambah PDB. Ini salah satu contoh sederhana membedakan aktivitas resmi dan underground economy.” Empat Kategori Underground Economy Berdasarkan kajian para ahli, underground economy dapat dibagi menjadi empat kategori utama: 1. Illegal Economy Perdagangan narkoba Aktivitas prostitusi Perjudian online Penyelundupan barang Berbagai bentuk penipuan 2. Unreported Economy Transaksi ekonomi yang sengaja tidak dilaporkan Bertujuan menghindari kewajiban perpajakan Melanggar aturan pelaporan pajak 3. Unrecorded Economy Aktivitas ekonomi yang tidak tercatat Menghindari persyaratan pelaporan statistik pemerintah Tidak masuk dalam data resmi 4. Informal Economy Pedagang asongan dan kaki lima Warung dan toko kelontong Pekerja rumah tangga Tukang ojek dan penarik becak Pengemudi bajaj Pemulung Tantangan Penghitungan Potensi Pajak Dalam hal potensi penerimaan pajak dari UGE, Prianto menegaskan bahwa penghitungannya sangat kompleks. “Untuk illegal economy, otoritas pajak biasanya tidak sampai mengenakan pajak karena sudah ditangani aparat penegak hukum yang akan menyita barang bukti termasuk hasil transaksinya,” jelasnya. Untuk kategori UGE lainnya, penghitungan potensi pajak menggunakan pendekatan moneter. “Logika dasarnya adalah pelaku UGE umumnya menggunakan transaksi tunai. Kita perlu mengestimasi jumlah uang kartal di masyarakat dan menganalisis berapa bagian yang digunakan dalam official economy,” tambahnya. Solusi Teknologi dan Kebijakan Pemerintah telah mengambil langkah strategis dengan menerapkan Core Tax Administration System (CTAS). “CTAS merupakan terobosan yang tepat karena menggunakan enam jenis Artificial Intelligence berbeda untuk mendeteksi transaksi. Sistem ini sangat powerful untuk mengidentifikasi transaksi UGE, kecuali illegal economy,” ungkap Prianto. Bank Indonesia juga berperan aktif dengan mendorong gerakan transaksi nontunai, terutama di sektor informal. Prianto menambahkan, “Kombinasi CTAS dan dorongan transaksi nontunai akan sangat efektif dalam mengawasi dan mengelola aktivitas ekonomi informal.” Pembagian Wewenang Penanganan Dalam penanganan UGE, terdapat pembagian wewenang yang jelas: • Illegal economy ditangani oleh aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, dan KPK) • Transaksi ekonomi lainnya menjadi domain otoritas pajak • Pelaku UGE memiliki hak untuk upaya hukum hingga Mahkamah Agung • Bank Indonesia fokus pada kebijakan transaksi nontunai “Yang perlu digarisbawahi, penanganan illegal economy mengutamakan hukum pidana dibanding hukum administrasi pajak sesuai asas premium remedium. Sementara untuk jenis UGE lainnya, pemerintah terus melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pajak,” tutup Prianto. Fenomena underground economy terus menjadi perhatian serius pemerintah mengingat potensi kerugian negara yang signifikan. Kombinasi pendekatan teknologi, regulasi, dan penegakan hukum diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang selama ini berada di bawah radar.

Read More »

Kenaikan PPN 2025 Sudah Sesuai Regulasi, Pemerintah Perlu Siapkan Insentif

Jakarta, 18 November 2024 – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menuai berbagai tanggapan. Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai kebijakan kenaikan tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang ada dan memiliki tujuan strategis untuk meningkatkan rasio pajak nasional. “Kenaikan tarif PPN menjadi 12% sudah sesuai regulasi yaitu diatur dalam Pasal 7 UU PPN hasil revisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Ini artinya sudah ada kesepakatan antara rakyat, melalui wakilnya di DPR, dengan pemerintah,” jelas Prianto. Menurut Prianto, kebijakan ini memiliki tujuan utama untuk meningkatkan rasio pajak. “Jika rasio pajak bisa mencapai 15%, akan ada keleluasaan bagi pemerintah untuk mendistribusikan pajak tersebut kembali ke masyarakat,” ujarnya. Menanggapi kekhawatiran terkait dampak kenaikan PPN di tengah kondisi ekonomi yang menantang, Prianto menyarankan pemerintah untuk tetap menjalankan amanat UU PPN tersebut sambil menyiapkan berbagai program insentif untuk masyarakat. “Pemerintah dapat mengambil dua pendekatan kebijakan belanja. Pertama, kebijakan langsung seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk masyarakat terdampak. Kedua, kebijakan tidak langsung melalui program Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor industri tertentu seperti properti atau tekstil,” jelasnya. Terkait prospek ekonomi tahun 2025, Prianto tetap optimis namun realistis. “Kondisi warga Indonesia di 2025 akan lebih baik dari sekarang. Namun, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat, khususnya yang terdampak kondisi perekonomian, juga harus proaktif untuk keluar dari kondisi sulit,” tegasnya. Sekilas Tentang Kenaikan PPN • Kenaikan PPN dari 11% ke 12% akan berlaku mulai tahun 2025 • Kebijakan ini merupakan bagian dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan • Target rasio pajak nasional adalah 15% • Pemerintah berencana menyiapkan program kompensasi untuk masyarakat terdampak Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan rencana kenaikan PPN ini sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat basis perpajakan nasional sekaligus memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah untuk program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Read More »

Optimalisasi Penerimaan Pajak di Tahun 2025

Penerimaan pajak merupakan salah satu elemen kunci dalam mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai sumber pendapatan negara, pajak memegang peranan vital dalam pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik. Menyongsong tahun 2025, pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan, sejalan dengan kompleksitas dinamika ekonomi domestik maupun global. Dengan merujuk pada data realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2024, berbagai sektor telah menunjukkan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian target. Berdasarkan proyeksi dan analisis, peluang optimalisasi penerimaan pajak di tahun 2025 berpotensi menjanjikan, terutama dari sektor-sektor utama yang selama ini menjadi tulang punggung penerimaan pajak. Namun, untuk mencapai target yang diharapkan, diperlukan strategi yang tepat, dukungan teknologi, serta kebijakan yang adaptif terhadap tantangan yang mungkin muncul. Sektor-Sektor Utama Penyumbang Pajak Menurut data Kementerian Keuangan, tiga sektor utama penyumbang penerimaan pajak periode Januari hingga Oktober 2024 adalah: Sektor Industri Pengolahan: Sektor ini menyumbang sekitar 25,8% dari total penerimaan pajak, yang setara dengan Rp 369,72 triliun. Pajak di sektor ini didominasi oleh pajak dalam rangka impor, terutama PPN Impor sebesar 14,7% (Rp 223,08 triliun) dan PPh 22 Impor sebesar 4,1% (Rp 61,87 triliun). Sektor Perdagangan: Sektor ini menyumbang 25,5% atau sekitar Rp 365,28 triliun. Kontribusi utama datang dari PPN Dalam Negeri, yang mencapai 24,6% atau sebesar Rp 373,34 triliun dari total penerimaan pajak. Sektor Keuangan dan Asuransi: Sektor ini memberikan kontribusi sebesar 13,5% (Rp 193,12 triliun). Jenis Pajak yang Menjadi Penopang Utama Berdasarkan jenis pajak, PPN (dalam negeri dan impor) menjadi penyumbang terbesar dengan total kontribusi 39,3% dari penerimaan pajak. Selain itu, PPh Badan dan PPh Pasal 21 juga memberikan kontribusi signifikan, masing-masing sebesar 17,3% dan 13,6%. Dengan melihat komposisi ini, fokus penerimaan pajak di tahun 2025 dapat diarahkan pada pengoptimalan penerimaan dari ketiga sektor utama tersebut. Dari sisi jenis pajak, PPN (dalam negeri dan impor), PPh Badan, dan PPh Pasal 21 perlu menjadi prioritas. Langkah-Langkah untuk Mencapai Target Penerimaan Pajak 2025 Untuk memastikan tercapainya target penerimaan pajak, pemerintah akan mulai menerapkan Core Tax Administration System (CTAS) pada tahun 2025. Sistem CTAS ini didukung oleh teknologi informasi canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI), yang dirancang untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi, dan keadilan dalam pengawasan kepatuhan pajak. Penggunaan teknologi ini diharapkan dapat mempercepat proses administrasi dan meningkatkan kualitas data yang dapat digunakan untuk memonitor kepatuhan wajib pajak. Selain itu, pemerintah akan menerapkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak: Intensifikasi pajak adalah upaya untuk menggali potensi pajak dari wajib pajak yang sudah ada melalui peningkatan kepatuhan dan pengawasan. Ekstensifikasi pajak berfokus pada perluasan basis pajak, terutama dengan menarik subjek pajak yang masih berada dalam ekonomi bawah tanah atau underground economy agar tercatat dan memenuhi kewajiban perpajakan. Tantangan yang Dihadapi Meskipun prospek penerimaan pajak pada tahun 2025 terlihat positif, beberapa tantangan perlu diwaspadai, antara lain: Kepatuhan Wajib Pajak: Meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah tantangan besar, terutama dengan adanya underground economy yang sulit diawasi. Implementasi Teknologi Baru: Penggunaan CTAS dengan dukungan teknologi canggih seperti AI memerlukan adaptasi dan kesiapan infrastruktur yang baik agar sistem dapat berjalan dengan efektif. Perubahan Ekonomi Global: Perkembangan ekonomi global, seperti fluktuasi harga bahan baku dan dampak geopolitik, bisa mempengaruhi penerimaan pajak, terutama dari sektor-sektor industri pengolahan dan perdagangan yang sangat bergantung pada impor bahan baku. Dengan demikian, penerimaan pajak 2025 dapat dioptimalisasi melalui langkah-langkah strategis dan upaya adaptasi di area penting seperti infrastruktur administrasi perpajakan. Dengan demikian, pemerintah dapat mendorong masyarakat untuk mendukung pembenahan sistem perpajakan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Read More »

Wacana Pembentukan BPN: Seberapa Mendesak?

Jakarta, 22 Oktober 2024 – Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) yang sempat mencuat pada era kepemimpinan Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan kembali menjadi sorotan. Namun, prospek implementasinya kembali dipertanyakan seiring dengan berlanjutnya kepemimpinan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan. Status Terkini Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute mengungkapkan bahwa wacana pembentukan BPN kemungkinan besar akan tetap menjadi wacana. “Berdasarkan pernyataan terbaru Menteri Keuangan Sri Mulyani setelah pertemuannya dengan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kemenkeu masih akan tetap satu kesatuan,” ujarnya. Prianto menjelaskan bahwa keputusan ini didasari pertimbangan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal, khususnya dari sisi penerimaan APBN. Landasan Hukum “Secara regulasi, otoritas kebijakan fiskal berada di tangan Menteri Keuangan yang mendapat kuasa dari presiden sesuai Pasal 6 UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,” jelasnya. Ditambah lagi, organisasi Kemenkeu saat ini mengacu pada Perpres No. 57/2020 tentang Kementerian Keuangan. “Selama dua aturan ini tidak diubah oleh pemerintahan baru, DJP dan DJBC akan tetap berada di bawah Kemenkeu,” tambahnya. Urgensi Pembentukan BPN Meski demikian, Prianto menekankan bahwa konsep BPN yang mengacu pada Semi-Autonomous Revenue Agency (SARA) memiliki beberapa urgensi mendasar: 1. Peningkatan Rasio Pajak “Urgensi paling mendasar adalah peningkatan tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB. Rasio ini menggambarkan kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya. 2. Fleksibilitas Anggaran Peningkatan rasio pajak akan memberikan pemerintah keleluasaan lebih besar dalam mengalokasikan belanja negara dan transfer ke daerah, mengurangi ketergantungan pada pinjaman untuk menutup defisit anggaran. 3. Otonomi Kelembagaan BPN berpotensi memberikan otonomi lebih besar dalam: • Pengelolaan sumber daya manusia • Perumusan kebijakan penerimaan • Koordinasi lintas kementerian dan lembaga Praktik Global Prianto mencontohkan beberapa negara yang telah menerapkan konsep serupa: • Singapura dengan IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore) • Amerika Serikat dengan IRS (Internal Revenue Service) • Australia dengan ATO (Australian Tax Office) • Malaysia dengan LHDN (Lembaga Hasil Dalam Negeri) “Model-model ini menunjukkan bahwa konsep SARA telah terbukti dapat diimplementasikan dengan berbagai tingkat otonomi yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara,” tutupnya.

Read More »

Analisis Kompleksitas Pajak dan Penghindaran Pajak oleh Perusahaan

Artikel ini menganalisis dan meninjau penelitian yang berjudul “Tax Complexity and Firm Tax Evasion: A Cross-Country Investigation“ oleh Prianto Budi Saptono et al (2024). Studi tersebut mengeksplorasi dampak kompleksitas sistem perpajakan terhadap kecenderungan perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak di berbagai negara, dengan memanfaatkan data dari lebih dari 46.000 perusahaan yang tersebar di 83 negara, melalui sumber survei World Bank Enterprise Survey (WBES) dan World Bank’s Doing Business (WBDB). Penghindaran Pajak Fenomena penghindaran pajak telah menjadi isu yang bersifat global, yang secara signifikan menurunkan kapasitas pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara dan mengalokasikan sumber daya secara efisien. Semakin kompleks sistem perpajakan, semakin besar pula peluang bagi perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah regulasi guna mengurangi beban pajak yang harus ditanggung. Studi ini secara empiris menyoroti hubungan antara tingkat kerumitan sistem pajak dengan intensitas dan insiden penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan. Kompleksitas Pajak dan Kaitannya dengan Tax Compliance Kompleksitas pajak (tax complexity) didefinisikan dalam penelitian ini melalui dua indikator utama, yaitu jumlah waktu yang diperlukan untuk mematuhi kewajiban perpajakan (tax time) dan frekuensi pembayaran pajak (tax payment). Temuan penelitian mengindikasikan bahwa peningkatan waktu yang diperlukan serta banyaknya frekuensi pembayaran berkorelasi positif dengan tingginya tingkat penghindaran pajak oleh perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan cenderung untuk menghindari kewajiban pajak ketika biaya kepatuhan meningkat, terutama di negara-negara dengan sistem perpajakan yang sangat rumit. Selain itu, hasil heterogenitas dari analisis menunjukkan bahwa pengaruh kompleksitas pajak terhadap penghindaran pajak lebih dominan pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, serta pada sektor industri primer. Implikasi Temuan terhadap Kebijakan Perpajakan Temuan pada penelitian ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pembuat kebijakan, terutama di negara-negara berkembang. Studi ini menyarankan bahwa penyederhanaan sistem perpajakan dapat menjadi langkah strategis yang efektif untuk mengurangi insentif bagi perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak. Selain itu, penyeragaman dan penyelarasan sistem perpajakan di tingkat regional atau internasional juga perlu dipertimbangkan untuk mengurangi disparitas regulasi yang sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk meminimalkan kewajiban pajak mereka. Penelitian ini juga menekankan pentingnya adopsi teknologi digital dalam proses administrasi perpajakan sebagai upaya untuk menyederhanakan prosedur dan meningkatkan transparansi, sehingga mampu menurunkan tingkat penghindaran pajak melalui pengurangan biaya kepatuhan. Tax Complexity dan Penghindaran Pajak Kompleksitas sistem perpajakan terbukti memiliki dampak signifikan terhadap kecenderungan penghindaran pajak oleh perusahaan. Reformasi kebijakan yang mengarah pada penyederhanaan dan harmonisasi peraturan perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan fiskal dan mengurangi kesenjangan yang terjadi akibat praktik penghindaran pajak. Oleh karena itu, studi ini memberikan landasan empiris bagi para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan reformasi struktural dalam sistem perpajakan guna menciptakan ekosistem bisnis yang lebih transparan dan berkeadilan. Artikel ini dirangkum dari hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Economies (2024) oleh Saptono et al., yang dapat diakses melalui: https://doi.org/10.3390/economies12050097

Read More »

Potensi Pajak Kripto Menanti Kejelasan Regulasi Pengawasan

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Optimalisasi penerimaan pajak dari perdagangan aset kripto masih menunggu kepastian pengalihan pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang ditargetkan rampung pada awal 2025. Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa potensi penerimaan pajak kripto akan sangat bergantung pada jenis dan tarif pajak yang akan ditetapkan setelah peralihan pengawasan tersebut. “Saat peralihan pengawasan ke OJK terjadi, akan muncul persoalan legalitas dan hierarki hukum yang perlu diperhatikan. Pasalnya, berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pengenaan pajak di Indonesia harus didasarkan pada undang-undang,” jelasnya. Skema Perpajakan Saat Ini Saat ini, perpajakan aset kripto mengacu pada UU PPh dan UU PPN dengan peraturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 (PMK 68/2022). Regulasi ini mengatur pengenaan PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto sebagai berikut: Pajak Pertambahan Nilai (PPN): 1. 1% dari nilai transaksi aset kripto yang diserahkan oleh penjual 2. 11% dari nilai jasa penyediaan sarana elektronik untuk transaksi perdagangan aset kripto 3. 1,1% atas nilai jasa verifikasi transaksi dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto Pajak Penghasilan (PPh): 1. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari nilai transaksi penjualan aset kripto 2. Tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh untuk penghasilan dari penyediaan sarana elektronik 3. PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari penghasilan penambangan aset kripto Tantangan Regulasi Prianto menekankan adanya potensi kendala regulasi dalam peralihan pengawasan ke OJK. “UU perpajakan yang berlaku saat ini memberikan amanat pengaturan teknisnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, bukan Peraturan OJK,” ujarnya. Optimalisasi Penerimaan Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor kripto, Prianto menyarankan agar otoritas yang nantinya berwenang dapat memastikan terciptanya ekosistem perdagangan aset kripto yang semarak, serupa dengan transaksi aset keuangan lainnya seperti saham atau surat utang. Langkah ini menjadi krusial mengingat potensi pertumbuhan pasar aset kripto di Indonesia yang terus berkembang. Kejelasan regulasi dan pengawasan yang efektif diharapkan dapat mendorong peningkatan volume transaksi sekaligus optimalisasi penerimaan pajak dari sektor ini.

Read More »

Menurunkan PPh Badan: Langkah Strategis Mendorong Investasi dan Kepatuhan Pajak

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Rencana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22% menjadi 20% yang dicanangkan oleh pemerintahan mendatang dinilai sebagai langkah strategis untuk meningkatkan investasi dan kepatuhan pajak. Kebijakan ini sejalan dengan tren global pengurangan tarif pajak korporasi dan tidak akan berbenturan dengan implementasi kebijakan pajak internasional. Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi Saptono yang juga merupakan pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute menjelaskan bahwa penurunan tarif PPh Badan ini sebenarnya telah direncanakan sejak Perppu 1/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 2/2020. “Rencana implementasi tarif 20% sempat akan diberlakukan pada tahun 2020, namun kemudian dibatalkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), sehingga tarif tetap bertahan di 22% hingga saat ini,” jelasnya. Menurut Prianto, logika di balik penurunan tarif ini adalah untuk mengurangi beban pajak wajib pajak badan. “Dengan tarif yang lebih rendah, diharapkan akan semakin banyak wajib pajak badan yang membayar pajak dengan tarif 20%. Pada akhirnya, hal ini justru berpotensi meningkatkan penerimaan pajak secara agregat,” ujarnya. Harmonisasi dengan Kebijakan Pajak Global Terkait dengan implementasi kebijakan Two Pillar Solution yang diinisiasi oleh G20 dan OECD, Prianto menegaskan bahwa penurunan tarif PPh Badan tidak akan menimbulkan masalah. “Pilar 2 tentang Global Minimum Tax (GMT) menetapkan tarif minimum 15%. Dengan demikian, tarif 20% masih berada di atas batas minimum tersebut,” jelasnya. Prospek Penerimaan Pajak Meski tarif diturunkan, pemerintah tetap optimis dapat mempertahankan tren positif penerimaan pajak. Dengan asumsi beban PPh badan per wajib pajak menurun namun jumlah wajib pajak meningkat, total penerimaan PPh badan secara agregat diproyeksikan tetap akan mengalami pertumbuhan. Data Kementerian Keuangan menunjukkan tren positif penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir, dengan realisasi penerimaan mencapai Rp 1.869,23 triliun pada tahun 2023 dan outlook 2024 sebesar Rp 1.921,90 triliun. Kebijakan penurunan tarif PPh Badan ini diharapkan dapat menjadi katalis untuk meningkatkan daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi, sekaligus mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik di kalangan pelaku usaha.

Read More »

Dilema Tax Holiday vs Global Minimum Tax: Indonesia di Persimpangan Kebijakan Pajak

Jakarta, 10 Oktober 2024 – Kebijakan perpajakan Indonesia sedang menghadapi transformasi fundamental, terutama terkait fasilitas tax holiday dan rencana implementasi Global Minimum Tax (GMT). Dalam wawancara eksklusif dengan Bisnis Indonesia, Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengungkapkan analisis komprehensif tentang perubahan signifikan dalam landasan hukum kebijakan perpajakan nasional. Evolusi Landasan Hukum Tax Holiday Perubahan Kerangka Hukum Prianto menjelaskan evolusi kerangka hukum tax holiday di Indonesia: • UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) yang menjadi landasan awal pemberian tax holiday • PP 94/2010 yang kemudian diubah dengan PP 45/2019 sebagai aturan pelaksana • PMK No. 130/PMK.010/2020 yang mengatur teknis pemberian fasilitas tax holiday • UU No. 6/2023 (UU Cipta Kerja 2023) yang mengubah UU PM sebelumnya Perubahan Fundamental dalam UU PM “Perubahan signifikan terjadi ketika Pasal 18 ayat (5) UU PM yang menjadi dasar pemberian tax holiday dicabut melalui UU Cipta Kerja 2023,” ungkap Prianto. Pasal tersebut sebelumnya mengatur pemberian pembebasan atau pengurangan PPh badan untuk industri pionir. Pengalihan ke UU PPh Sekarang, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU PM yang baru, fasilitas perpajakan harus mengacu pada UU PPh. Prianto merinci empat fasilitas yang diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU PPh: • Pengurangan penghasilan neto hingga 30% dari nilai investasi • Penyusutan dan amortisasi dipercepat • Kompensasi kerugian hingga 10 tahun • PPh atas dividen 10% untuk investor asing Global Minimum Tax: Era Baru Perpajakan Sementara itu, Indonesia juga bersiap mengimplementasikan Global Minimum Tax sebagai bagian dari kesepakatan internasional. “GMT merupakan bagian dari consensus-based tax policies di Pilar Dua dan Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules,” jelas Prianto. Implementasi GMT di Indonesia telah memiliki landasan hukum melalui Pasal 32A UU PPh dan PP 55/2022, meskipun PMK teknisnya belum terbit. Ketentuan GMT akan berlaku untuk grup usaha dengan pendapatan konsolidasi minimal €750 juta (sekitar Rp12,75 triliun). Mencari Keseimbangan Optimal Dalam menghadapi situasi ini, Prianto menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana Indonesia dapat mengoptimalkan kedua instrumen kebijakan: 1. Tax Holiday untuk Investasi Menengah: “Tax holiday masih dapat diberikan untuk investasi dengan dua syarat,” ujar Prianto. Syarat tersebut meliputi pembenahan regulasi untuk kepastian hukum dan pembatasan pada perusahaan dengan pendapatan gabungan di bawah €750 juta. 2. GMT untuk Perusahaan Besar: Untuk perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta, GMT menjadi instrumen yang lebih relevan. Dampak terhadap Penerimaan Negara Dari sisi penerimaan negara, Prianto menegaskan bahwa kedua instrumen memiliki tujuan berbeda: 1. GMT berpotensi memberikan tambahan penerimaan pajak melalui top-up tax 2. Tax holiday lebih fokus pada penarikan investasi asing (FDI) daripada penerimaan pajak Langkah ke Depan Menghadapi situasi ini, beberapa langkah krusial perlu diambil: 1. Memberikan kepastian hukum untuk tax holiday yang sudah diberikan 2. Menghentikan pemberian tax holiday baru karena tidak ada dasar hukumnya 3. Menggantinya dengan fasilitas investment allowance sesuai Pasal 31A UU PPh 4. Menerbitkan PMK tentang implementasi GMT Kesimpulan Indonesia berada di persimpangan penting dalam kebijakan perpajakan. Keputusan yang diambil dalam mengatur tax holiday dan implementasi GMT akan mempengaruhi daya saing investasi dan penerimaan negara. Diperlukan kebijakan yang cermat untuk memastikan Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari kedua instrumen ini sambil tetap menjaga daya tarik investasi dan kepatuhan terhadap standar perpajakan global.

Read More »