Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kini memudahkan kegiatan manusia termasuk dalam mencari penghasilan. Seiring perkembangan teknologi digital, setiap orang dapat melakukan pekerjaan secara daring menggunakan gadget tanpa perlu keluar rumah, atau tempat lainya yang kondusif. Tren bekerja dirumah atau tempat lainya sering disebut dengan Work From Anywhere (WFA) sangat diminati oleh banyak orang karena memberikan kebebasan orang untuk dapat bekerja dimana saja. Pemberi kerja pun hanya berorientasi pada hasil pekerjaan, sehingga tidak mempedulikan dimana tempat karyawan nya bekerja.
Fenomena WFA ini memberikan peluang bagi pengembara digital (Digital Nomad). Pengembara digital adalah seseorang yang menggunakan teknologi digital nirkabel untuk bekerja dari lokasi yang mereka pilih. Digital nomad bisa mendapatkan penghasilan dari pekerjaan bebas (independent services) dari mana saja dan bahkan saat bepergian ke lokasi tertentu yang mereka sukai.
Sehubungan dengan trending WFA, pengembara digital dapat bekerja di mana pun mereka mau menggunakan teknologi informasi nirkabel. Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, sekarang ada banyak pasar tenaga kerja yang menyediakan proyek dan posisi bagi mereka yang memenuhi syarat dan tertarik pada subjek tertentu. Mitra atau entitas yang menyediakan tenaga kerja atau proyek akan membayar individu yang berhasil menyelesaikannya (Cook, D. ,2022).
Pada awal tahun 2021, seorang Digital nomad asal Amerika Serikat, Kristen Gray, mempromosikan Bali sebagai salah satu tempat ternyaman bagi rekan-rekan Digital Nomad untuk bersinggah sekaligus bekerja disana. Kristen mengklaim dalam sebuah tweet bahwa Indonesia, khususnya Bali, memiliki lingkungan yang indah, tenteram, dan ramah. Dibandingkan dengan kebanyakan negara maju di dunia, biaya hidup di Indonesia juga relatif murah.
Namun perhatian tidak tertuju pada Digital Nomad asal Amerika Serikat, melainkan pada penyalahgunaan visa (visa violation) yang dilakukan oleh pengembara digital bahwa mereka menggunakan visa wisatawan asing untuk bekerja di Indonesia. Jika diilustrasikan, seorang web designer sedang liburan bersama keluarga dan menginap selama 14 hari di Bali, tetapi dia juga sambil menyelesaikan pekerjaan dari klien yang berasal dari pemilik toko baju di Singapura. Kemudian timbul pertanyaan, penghasilan yang diterima oleh seorang web designer tersebut dikenakan pajak di Indonesia atau Singapura?
Awal April 2023, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyarankan agar pengunjung asing dipungut pajak untuk menaikkan kaliber pengunjung. Proposal tersebut muncul saat publik fokus pada berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh wisatawan internasional.
Menko Kemaritiman menyampaikan bahwa negara-negara yang melaksanakan pariwisata berkualitas mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih baik dari pengeluaran yang lebih tinggi oleh pengunjung asing terkait dengan studi Travel & Tourism Development Index 2021. Meskipun saat ini tidak ada informasi kebijakan yang komprehensif tentang “pajak turis asing”, sejumlah perubahan terbaru dalam industri pariwisata sebenarnya sangat terkait dengan masalah perpajakan.
Menurut survei yang sama, industri pariwisata sedang mengalami perubahan signifikan karena faktor-faktor seperti tren Digital Nomad, menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), adalah cara hidup yang memanfaatkan kemajuan teknis untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada tempat tinggal seseorang untuk beberapa aktivitas, terutama untuk bekerja.
Selain itu, Digital Nomad ini berdalih karena tidak pernah mendapatkan uang rupiah, maka dirinya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Belakangan, kejadian ini memicu perdebatan komunal. Kewajaran pemungutan pajak penghasilan (PPh) pada perantau digital ditentang oleh banyak kalangan. Ingat bahwa menurut The Four Maxim Taxation karya Adam Smith, pengumpulan pajak harus mengikuti gagasan ekuitas, yang mengharuskan dilakukan secara adil dan tanpa bias.
Ketentuan Perpajakan Terhadap Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 s.t.d.t.d Peraturan Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 (“UU PPh”), penghasilan yang diperoleh seseorang yang berdomisili di Indonesia dapat dikenakan pajak penghasilan (PPh) di Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif Subjek Pajak Dalam Negeri (“SPDN”). Kondisi subyektif adalah orang atau badan usaha yang memenuhi syarat berdasarkan definisi hukum subjek pajak.Kemudian, kriteria obyektif adalah kriteria yang diperlukan subjek pajak untuk memperoleh atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak yang sah.
Status subyek pajak bagi pengembara digital dapat diklasifikasikan sebagai SPDN dan SPLN tergantung pada pemenuhan persyaratan subyektif dan obyektif. Selanjutnya, apakah kriteria subjektif dan objektif ini berlaku untuk digital nomad?
Pengembara digital dapat diklasifikasi sebagai SPDN jika telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif SPDN sesuai peraturan domestic Indonesia. Merujuk pada Pasal 2 ayat (3) UU PPh, syarat subjektif seorang SPDN adalah orang pribadi baik warga negara Indonesia (“WNI”) maupun warga negara asing (“WNA”) dapat dianggap sebagai subjek dalam negeri apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
(1) bertempat tinggal di Indonesia;
(2) berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau
(3) berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia sepanjang tahun pajak.
Namun, digital nomad dapat diklasifikasikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (“SPLN”) jika memenuhi persyaratan subjektif sesuai Pasal 2 ayat (4) UU PPh sebagai berikut :
(1) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
(2) warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
(3) Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta memenuhi persyaratan:
a) tempat tinggal;
b) pusat kegiatan utama;
c) tempat menjalankan kebiasaan;
d) status subjek pajak; dan/atau
e) persyaratan tertentu lainnya.
Adapun syarat objektif seseorang dapat menjadi SPDN dan SPLN adalah mendapatkan penghasilan yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh sebagai berikut:
(1) setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak;
(2) baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia;
(3) yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah para digital nomad yang sedang berliburan di Bali atau daerah lainya di Indonesia berwisata sambil bekerja freelance termasuk SPLN atau SPDN?
Seorang Digital Nomad memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai SPDN atau SPLN, maka Digital Nomad perlu mengikuti ketentuan perpajakan atas penghasilan yang diperoleh sesuai dengan ketentuan UU PPh sebagai ketentuan domestik Indonesia.
Namun ketika Digital Nomad diklasifikasikan sebagai SPLN, mereka dapat memilih mengikuti prosedur pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh melalui ketentuan domestik atau memanfaatkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (“P3B”). Merujuk pada Pasal 2 PER-25/2018, Wajib Pajak Luar Negeri (“WPLN”) yang menerima penghasilan dari Indonesia dapat memanfaatkan P3B sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku.
Sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generali, kita harus memperhatikan ketentuan P3B ketika mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak dengan melintasi batas negara atau yurisdiksi perpajakan (international tax issues). Jika seorang Digital Nomad memanfaatkan fasilitas P3B Indonesia dengan negara mitra, maka kewajiban seorang Digital Nomad mengikuti ketentuan perpajakan domestik telah gugur.
Ketentuan perjanjian pajak antara Indonesia dan Amerika Serikat digunakan di sini sebagai contoh. Apabila seseorang berdomisili di negara yang bersangkutan, maka dapat ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri berdasarkan P3B dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
(1) memiliki tempat tinggal tetap;
(2) tempat melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk urusan pribadi dan profesional (kegiatan sehari-hari); dan
(3) tempat menjalankan kebiasaan/hobi (place of habitual residence)
Sepanjang orang pribadi tersebut bertempat tinggal dan/atau bertempat tinggal di Indonesia, ketentuan P3B Indonesia-Amerika Serikat dapat digunakan untuk mengklasifikasikan orang pribadi tersebut sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia.