Kebocoran Data 6 Juta NPWP: Ancaman Serius bagi Kepercayaan Publik dan Sistem Perpajakan Indonesia

Jakarta, 23 September 2024 – Dugaan kebocoran 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang diperjualbelikan seharga Rp150 juta telah mengguncang sistem perpajakan Indonesia. Insiden ini tidak hanya mengancam keamanan data pribadi wajib pajak, tetapi juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap otoritas pajak dan berdampak pada penerimaan negara.

Prianto Budi, selaku Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) serta seorang pengamat ekonomi, praktisi, akademisi, dan peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute, dalam wawancara eksklusif mengungkapkan analisis mendalam tentang implikasi jangka panjang dari insiden ini.

Ancaman terhadap Kepercayaan Publik

“Salah satu tantangan utama bagi Indonesia saat ini adalah membangun dan mempertahankan kepercayaan publik (public trust),” ujar Prianto. “Dalam konteks perpajakan, kepercayaan wajib pajak menjadi sangat esensial untuk menciptakan voluntary compliance (kepatuhan sukarela), bahkan cooperative compliance (kepatuhan kooperatif).”

Prianto menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang menggalakkan kebijakan cooperative compliance, di mana wajib pajak diharapkan tidak hanya patuh tetapi juga kooperatif dalam membayar pajak. “Paradigma yang dibangun dari model kepatuhan ini adalah paradigma pelayanan (service) dan kepercayaan (trust),” tambahnya.

Dampak Hukum dan Kepatuhan

Prianto menekankan bahwa kebocoran data wajib pajak merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). “Pasal 41 UU KUP secara khusus menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain,” jelasnya. “Tujuannya adalah agar wajib pajak tidak ragu-ragu dalam memberikan data dan keterangan sebagai bentuk kepatuhan terhadap Undang-Undang Perpajakan.”

Lebih lanjut, Prianto mengingatkan bahwa UU KUP memungkinkan sanksi pidana diberikan kepada pejabat yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut, baik karena kesengajaan maupun kelalaian.

Potensi Kerugian Negara

Meskipun belum ada perhitungan pasti mengenai kerugian negara akibat insiden ini, Prianto memperkirakan dampaknya bisa signifikan. “Kerugian negara berkaitan dengan kepercayaan yang mungkin menurun. Sebagai konsekuensinya, potensi penurunan penerimaan dapat terjadi,” jelasnya.

Prianto menambahkan, “Kebocoran data wajib pajak bisa membuat pemungutan pajak ke depannya akan menurun atau semakin menantang. Alasannya adalah karena distrust (ketidakpercayaan) wajib pajak kepada otoritas pajak.”

Langkah-langkah yang Harus Diambil Pemerintah

Menghadapi situasi ini, Prianto menekankan pentingnya tindakan cepat dan tegas dari pemerintah. “Pemerintah harus segera menuntaskan investigasi kebocoran data wajib pajak tersebut secepat mungkin sebelum peluncuran Core Tax Administration System (CTAS),” sarannya.

CTAS, yang dijadwalkan akan diluncurkan pada akhir Desember 2024, merupakan sistem administrasi perpajakan baru yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan pengelolaan data perpajakan.

“Tujuannya adalah agar ada perbaikan segera untuk keamanan siber yang ada di CTAS. Ini penting untuk mencegah insiden serupa di masa depan dan memulihkan kepercayaan wajib pajak,” tegas Prianto.

Insiden kebocoran data ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keamanan data dan transparansi dalam penanganan informasi sensitif wajib pajak. Pemulihan kepercayaan publik akan menjadi kunci dalam mempertahankan kepatuhan pajak dan menjamin stabilitas penerimaan negara di masa mendatang. Prianto menyimpulkan bahwa tanpa kepercayaan publik yang kuat, sistem perpajakan kita akan menghadapi tantangan besar, “Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk memulihkan kepercayaan ini dan memastikan keamanan data wajib pajak di masa depan.” tegas Prianto.